Jakarta (ANTARA) - Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut telah berakhir pada 17 Juli 2019. Namun, hingga kini belum diketahui arah keberlangsungan dan kepastian masa depan hutan Indonesia.
Pasalnya, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan atau regulasi seperti apa yang akan diterapkan untuk menyelamatkan 66 hingga 67 juta hektare (ha) hutan alam Indonesia. Keberadaan hutan tentunya diperlukan untuk menghasilkan oksigen sekaligus menjadikan Indonesia sebagai paru-paru dunia.
Peraturan terkait moratorium pertama kali dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011 melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 mengenai penundaan izin-izin baru pembukaan hutan primer dan lahan gambut.
Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut hingga saat ini, tercatat sudah empat kali perpanjangan secara resmi oleh pemerintah yang hanya berlaku setiap dua tahun sekali. Pada awal diterbitkannya Inpres tersebut, setidaknya tercatat sekitar 64 juta ha kawasan hutan di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, luasan hutan di Tanah Air semakin mengkhawatirkan. Hal itu dibuktikan dengan penyusutan kawasan hutan di berbagai provinsi yang digunakan untuk berbagai kepentingan di antaranya sebagai lahan perkebunan kelapa sawit.
Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Inpres tentang moratorium hutan primer dan lahan gambut. Lalu, pertanyaannya ialah kenapa luasan hutan Indonesia masih terus berkurang meskipun Inpres telah diterbitkan.
Tentunya hal itu menjadi pertanyaan utama yang harus harus dijawab oleh pemerintah terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikomandoi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sekitar 18 juta ha izin telah diterbitkan pemerintah sejak ditebitkannnya Inpres pertama oleh Presiden SBY hingga 2019, meskipun sudah ada moratorium hutan primer dan lahan gambut.
Semua pihak tentu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Termasuk pula mempertanyakan apakah upaya yang dilakukan hanya sebatas pertemuan beberapa menteri untuk menandatangani Inpres tersebut, kemudian mengabaikannya.
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan dari 18 juta ha lahan yang diberikan izin tersebut, sejumlah daerah yakni Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua merupakan kawasan yang paling dominan digarap untuk kepentingan korporasi.
"Umumnya diperuntukkan bagi lahan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan hak pengusahaan hutan serta tambang," ujar dia.
Peraturan tentang penyelamatan hutan di Tanah Air pada dasarnya telah banyak diterbitkan pemerintah, hanya saja dalam praktiknya terdapat celah yang diduga dilanggar, tertentu demi kepentingan bisnis.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Walhi, ia mengatakan salah satu penyebab utama masih banyaknya lahan atau hutan di Indonesia diberikan izin ialah terdapatnya kebijakan kontradiktif dengan semangat moratorium.
Sebagai contoh ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 tahun 2015 yakni perubahan atas PP Nomor 10 tahun 2010. Akibatnya, hutan Indonesia seluas sembilan juta ha dilepaskan selama moratorium.
Kedua, PP Nomor 6 Tahun 2007 junto PP Nomor 03 Tahun 2008 yang berelasi dengan penerbitan izin sejak 2009 hingga 2019 seluas 11 juta ha yang meliputi hutan tanaman industri, ujar Zenzi.
Pajale-Geotermal pengecualian
Pemerintah dengan tegas menyatakan masih memberikan celah dan ruang untuk izin penanaman padi jagung dan kedelai (Pajale) serta geotermal. Hal itu diberikan pengecualian karena dianggap sebagai proyek strategis nasional.
Pengecualian itu dilakukan karena pemerintah menganggap Pajale dan eksplorasi geotermal perlu dilakukan demi kepentingan nasional. Bahkan, hingga kini KLHK mengaku masih memberikan izin baru untuk eksplorasi geotermal.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman yang mengatakan hal itu merujuk pada Inpres tentang moratorium hutan primer dan lahan gambut.
"Kita tidak menutup semua kemungkinan tapi kita masih memberikan pengecualian apabila itu diperlukan untuk pembangunan nasional," kata dia.
Ia mengklaim berdasarkan Inpres yang diperbaharui setiap dua tahun sekali dan review peta per enam bulan, luas 66 juta ha hutan di Tanah Air sudah mulai stabil.
Hingga kini moratorium hutan primer dan lahan gambut tersebut masih dalam proses diskusi antara kementerian terkait dengan Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara.
Perjelas pasal pengecualian
Pasal pengecualian yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait moratorium hutan primer dan lahan gambut ditanggapi oleh pakar sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Bambang Hero.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat indikator dan kriteria jelas terkait pengecualian moratorium hutan primer dan lahan gambut yang akan dipermanenkan.
Hal tersebut diperlukan untuk menghindari adanya gesekan kepentingan di kemudian hari.
"Pengecualian ini harus ada indikator yang jelas serta jangan menimbulkan multitafsir dan harus tegas," kata dia.
Ia menerangkan jika kriteria atau indikator yang dikeluarkan pemerintah masih multitafsir, maka masih ada celah bagi pihak tertentu dalam mengakali moratorium hutan primer dan gambut tersebut.
Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan diminta menyusun secara baik agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari. Sebagai contoh kasus PT HIP di Buol Sulawesi Tengah.
Pada kasus itu, ia menilai kurangnya sinkronisasi komunikasi pemerintah pusat dengan daerah sehingga menimbulkan masalah baru. Padahal, masalah itu dapat diatasi jika pemerintah saling terbuka.
Pernyataan lebih tegas dilontarkan oleh Zenzi Suhadi yang menyatakan pemerintah harus mencabut pasal pengecualian demi melindungi kawasan hutan di Indonesia.
"Semestinya dicabut atau dihilangkan karena ini yang mengikat KLHK dan ESDM untuk tetap menerbitkan status izin," kata dia.
Selama ini pemerintah masih membuka celah seperti pasal pengecualian terhadap peningkatan status perizinan sehingga semangat atau cita-cita dari moratorium hutan primer dan lahan gambut belum maksimal.
Selain itu, pasal pengecualian Pajale disarankan juga untuk segera dicabut atau dihilangkan.
Namun, pengecualian dapat dimunculkan terhadap perhutanan sosial atau tanah objek reforma agraria.
Jika pemerintah berdalih Pajale untuk kepentingan ketahanan pangan, menurut dia, maka yang harus dilakukan yaitu izin perhutanan sosial atau tanah objek reforma agraria agar menguntungkan masyarakat.
Aturan tegas
Untuk menyelamatkan hutan di Tanah Air, sepertinya tidak ada pilihan lain selain menetapkan peraturan yang tegas dan bersifat mengikat semua pihak baik pemerintah maupun korporasi. Inpres yang telah diterbitkan selama delapan tahun terakhir dinilai tidak bisa menjamin keberlangsungan hutan Indonesia.
Pegiat lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat dan pihak terkait hingga kini masih menunggu pemerintah terkait moratorium Nomor 6 tahun 2017 yang sudah berakhir pada 17 Juli 2019. Berbagai masukan disampaikan dalam diskusi terbuka, salah satunya meminta pemerintah minimal menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut.
Jika masih mengandalkan dan mengacu kepada Inpres, maka komitmen pemerintah terhadap keberlangsungan hutan primer maupun lahan gambut masih dianggap abu-abu.
Zenzi mengatakan jika pemerintah serius dan ingin menyelamatkan hutan di Tanah Air, maka moratorium tersebut tidak cukup hanya dengan inpres. Melainkan harus pula memiliki regulasi hukum yang kuat dan mengikat minimal Perpres.
"Jadi, dia tidak hanya bisa mengikat internal pemerintahan tapi juga bisa dijadikan payung hukum dalam proses penegakan hukum," katanya.
Selain itu, Walhi juga menyarankan agar pemerintah segera merevisi dua peraturan yang berbenturan dengan semangat moratorium tersebut yaitu PP 104 Tahun 2005 dan PP Nomor 6 Tahun 2007.
Kemudian, tindakan serupa untuk persoalan Perpu terhadap Undang-Undang nomor 41 tentang Kehutanan terutama terhadap perubahan pasal 19 dan pasal 22 yang dianggap menjadi landasan maraknya penerbitan izin setelah reformasi.
Pasalnya, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan atau regulasi seperti apa yang akan diterapkan untuk menyelamatkan 66 hingga 67 juta hektare (ha) hutan alam Indonesia. Keberadaan hutan tentunya diperlukan untuk menghasilkan oksigen sekaligus menjadikan Indonesia sebagai paru-paru dunia.
Peraturan terkait moratorium pertama kali dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011 melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 mengenai penundaan izin-izin baru pembukaan hutan primer dan lahan gambut.
Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut hingga saat ini, tercatat sudah empat kali perpanjangan secara resmi oleh pemerintah yang hanya berlaku setiap dua tahun sekali. Pada awal diterbitkannya Inpres tersebut, setidaknya tercatat sekitar 64 juta ha kawasan hutan di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, luasan hutan di Tanah Air semakin mengkhawatirkan. Hal itu dibuktikan dengan penyusutan kawasan hutan di berbagai provinsi yang digunakan untuk berbagai kepentingan di antaranya sebagai lahan perkebunan kelapa sawit.
Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Inpres tentang moratorium hutan primer dan lahan gambut. Lalu, pertanyaannya ialah kenapa luasan hutan Indonesia masih terus berkurang meskipun Inpres telah diterbitkan.
Tentunya hal itu menjadi pertanyaan utama yang harus harus dijawab oleh pemerintah terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikomandoi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sekitar 18 juta ha izin telah diterbitkan pemerintah sejak ditebitkannnya Inpres pertama oleh Presiden SBY hingga 2019, meskipun sudah ada moratorium hutan primer dan lahan gambut.
Semua pihak tentu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Termasuk pula mempertanyakan apakah upaya yang dilakukan hanya sebatas pertemuan beberapa menteri untuk menandatangani Inpres tersebut, kemudian mengabaikannya.
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan dari 18 juta ha lahan yang diberikan izin tersebut, sejumlah daerah yakni Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua merupakan kawasan yang paling dominan digarap untuk kepentingan korporasi.
"Umumnya diperuntukkan bagi lahan kelapa sawit, hutan tanaman industri dan hak pengusahaan hutan serta tambang," ujar dia.
Peraturan tentang penyelamatan hutan di Tanah Air pada dasarnya telah banyak diterbitkan pemerintah, hanya saja dalam praktiknya terdapat celah yang diduga dilanggar, tertentu demi kepentingan bisnis.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Walhi, ia mengatakan salah satu penyebab utama masih banyaknya lahan atau hutan di Indonesia diberikan izin ialah terdapatnya kebijakan kontradiktif dengan semangat moratorium.
Sebagai contoh ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 tahun 2015 yakni perubahan atas PP Nomor 10 tahun 2010. Akibatnya, hutan Indonesia seluas sembilan juta ha dilepaskan selama moratorium.
Kedua, PP Nomor 6 Tahun 2007 junto PP Nomor 03 Tahun 2008 yang berelasi dengan penerbitan izin sejak 2009 hingga 2019 seluas 11 juta ha yang meliputi hutan tanaman industri, ujar Zenzi.
Pajale-Geotermal pengecualian
Pemerintah dengan tegas menyatakan masih memberikan celah dan ruang untuk izin penanaman padi jagung dan kedelai (Pajale) serta geotermal. Hal itu diberikan pengecualian karena dianggap sebagai proyek strategis nasional.
Pengecualian itu dilakukan karena pemerintah menganggap Pajale dan eksplorasi geotermal perlu dilakukan demi kepentingan nasional. Bahkan, hingga kini KLHK mengaku masih memberikan izin baru untuk eksplorasi geotermal.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman yang mengatakan hal itu merujuk pada Inpres tentang moratorium hutan primer dan lahan gambut.
"Kita tidak menutup semua kemungkinan tapi kita masih memberikan pengecualian apabila itu diperlukan untuk pembangunan nasional," kata dia.
Ia mengklaim berdasarkan Inpres yang diperbaharui setiap dua tahun sekali dan review peta per enam bulan, luas 66 juta ha hutan di Tanah Air sudah mulai stabil.
Hingga kini moratorium hutan primer dan lahan gambut tersebut masih dalam proses diskusi antara kementerian terkait dengan Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara.
Perjelas pasal pengecualian
Pasal pengecualian yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait moratorium hutan primer dan lahan gambut ditanggapi oleh pakar sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Bambang Hero.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat indikator dan kriteria jelas terkait pengecualian moratorium hutan primer dan lahan gambut yang akan dipermanenkan.
Hal tersebut diperlukan untuk menghindari adanya gesekan kepentingan di kemudian hari.
"Pengecualian ini harus ada indikator yang jelas serta jangan menimbulkan multitafsir dan harus tegas," kata dia.
Ia menerangkan jika kriteria atau indikator yang dikeluarkan pemerintah masih multitafsir, maka masih ada celah bagi pihak tertentu dalam mengakali moratorium hutan primer dan gambut tersebut.
Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan diminta menyusun secara baik agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari. Sebagai contoh kasus PT HIP di Buol Sulawesi Tengah.
Pada kasus itu, ia menilai kurangnya sinkronisasi komunikasi pemerintah pusat dengan daerah sehingga menimbulkan masalah baru. Padahal, masalah itu dapat diatasi jika pemerintah saling terbuka.
Pernyataan lebih tegas dilontarkan oleh Zenzi Suhadi yang menyatakan pemerintah harus mencabut pasal pengecualian demi melindungi kawasan hutan di Indonesia.
"Semestinya dicabut atau dihilangkan karena ini yang mengikat KLHK dan ESDM untuk tetap menerbitkan status izin," kata dia.
Selama ini pemerintah masih membuka celah seperti pasal pengecualian terhadap peningkatan status perizinan sehingga semangat atau cita-cita dari moratorium hutan primer dan lahan gambut belum maksimal.
Selain itu, pasal pengecualian Pajale disarankan juga untuk segera dicabut atau dihilangkan.
Namun, pengecualian dapat dimunculkan terhadap perhutanan sosial atau tanah objek reforma agraria.
Jika pemerintah berdalih Pajale untuk kepentingan ketahanan pangan, menurut dia, maka yang harus dilakukan yaitu izin perhutanan sosial atau tanah objek reforma agraria agar menguntungkan masyarakat.
Aturan tegas
Untuk menyelamatkan hutan di Tanah Air, sepertinya tidak ada pilihan lain selain menetapkan peraturan yang tegas dan bersifat mengikat semua pihak baik pemerintah maupun korporasi. Inpres yang telah diterbitkan selama delapan tahun terakhir dinilai tidak bisa menjamin keberlangsungan hutan Indonesia.
Pegiat lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat dan pihak terkait hingga kini masih menunggu pemerintah terkait moratorium Nomor 6 tahun 2017 yang sudah berakhir pada 17 Juli 2019. Berbagai masukan disampaikan dalam diskusi terbuka, salah satunya meminta pemerintah minimal menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut.
Jika masih mengandalkan dan mengacu kepada Inpres, maka komitmen pemerintah terhadap keberlangsungan hutan primer maupun lahan gambut masih dianggap abu-abu.
Zenzi mengatakan jika pemerintah serius dan ingin menyelamatkan hutan di Tanah Air, maka moratorium tersebut tidak cukup hanya dengan inpres. Melainkan harus pula memiliki regulasi hukum yang kuat dan mengikat minimal Perpres.
"Jadi, dia tidak hanya bisa mengikat internal pemerintahan tapi juga bisa dijadikan payung hukum dalam proses penegakan hukum," katanya.
Selain itu, Walhi juga menyarankan agar pemerintah segera merevisi dua peraturan yang berbenturan dengan semangat moratorium tersebut yaitu PP 104 Tahun 2005 dan PP Nomor 6 Tahun 2007.
Kemudian, tindakan serupa untuk persoalan Perpu terhadap Undang-Undang nomor 41 tentang Kehutanan terutama terhadap perubahan pasal 19 dan pasal 22 yang dianggap menjadi landasan maraknya penerbitan izin setelah reformasi.