Jakarta (ANTARA) - Wakil Bupati (Wabup) Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, Pieter Gusbager meminta pemerintah pusat agar segera menyerahkan pengelolaan hutan berkelanjutan di daerah itu kepada kelompok masyarakat adat.

"Masyarakat adat sudah terbukti bertahun-tahun menjaga hutannya sendiri," kata dia saat lokakarya efektivitas penerapan community logging, pengelolaan hutan berkelanjutan dan pemanfaatanya bagi masyarakat adat Papua di Jakarta, Kamis.

Selain itu, pemerintah pusat juga diminta agar tidak perlu meragukan pengelolaan konservasi dan sumber daya jika diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat Papua dengan bekal kearifan lokal yang dimiliki.

Lebih jauh dari itu, jika pengelolaan hutan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat adat setempat, maka angka kemiskinan dapat ditekan dengan penebangan hutan secara prinsip ekonomi atau sistem koperasi.

"Mereka bisa menebang, bisa membuat papan balok untuk dijual, serta membangun rumah mereka. Hal itu bisa dilakukan dengan prinsip berkelanjutan," ujarnya.

Pieter Gusbager mengemukakan hal itu akan jauh lebih baik dilakukan pemerintah jika dibandingkan memberikan izin kepada perusahaan yang mengambil keuntungan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Bahkan, selama ini korporasi yang mendapatkan HPK tersebut dinilainya lebih cenderung merusak dan membabat hutan hingga berdampak pada ekosistem di hutan Papua.

"Banyak yang terdampak, lingkungan pun akan rusak. Oleh karena itu HPH ini harus dievaluasi," tambahnya.

Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Institute for Civil Strengthening atau lembaga penguatan masyarakat sipil, Yusak Elisa Reba mengatakan persoalan hutan di Papua sudah cukup kompleks.

Setidaknya, terdapat dua hal pokok yang menjadi masalah utama hutan di Tanah Papua. Pertama, terkait pihak yang berwenang memberikan izin pengelolaan dan kedua pengakuan negara terhadap status petani yang bersifat khusus.

Benturan Peraturan daerah khusus (Perdasus) Papua nomor 21 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan dengan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menjadi polemik utama.

Otomatis sembilan turunan dari Perdasus yang salah satunya Peraturan Gubernur nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) di Papua tidak bisa diterapkan.

"Namun hingga kini belum ada pengadilan yang menyatakan Perdasus 21 tahun 2008 bertentangan dengan seluruh undang-undang," katanya.

Pewarta : Muhammad Zulfikar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024