Asmat (ANTARA) - 'Kopi Bakau', deretan kedai kopi kecil yang bernuansa alam menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung Festival Asmat Pokman ke-34 tahun 2019 di Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Fasilitas sederhana itu jaraknya sekitar 30 meter dari lokasi hajatan festival budaya Asmat. Berlokasi di hutan bakau dengan susasana yang asri, deretan kedai kopi ini sangat diminati para wisatawan pesta budaya.
Tidak hanya itu, di lokasi kopi bakau, para pengggas membangun miniatur rumah pohon suku Korowai. Mereka juga menyediakan bangku taman serta memajang puluhan foto dan lukisan yang menggambarkan aktivitas masyarakat dan kondisi wilayah setempat.
Tak pelak, ornamen-ornamen yang disediakan itu menjadi obyek bagi para wisatawan. Cukup banyak pengunjung yang mendatangi lokasi kopi bakau hanya sekedar berfoto serta rekreasi sambil menikmati berbagai menu minuman dan makanan.
Salah seorang pengelola kopi bakau, Nasrianto mengatakan bahwa gagasan kopi bakau datang dari komunitas fotografi Asmat, yang kemudian membangun deretan kedai kopi sederhana dengan nuansa alam.
“Teman-teman dari komunitas fotografi juga membangun minuatur rumah pohon dan memajang lukisan serta foto. Suasananya begitu asri di bawah rerimbunan pohon, sehingga sangat diminati pengunjung,” kata Nasri di Agats, Selasa (26/11).
Nasri mengaku sangat banyak pengunjung yang mendatangi lokasi tersebut. Terutama di siang hari, para pengunjung melepas penat serta menghindari terik matahari sambil menikmati kopi di alam terbuka.
“Siang lebih banyak pengunjung, karena panas, mereka cari tempat berteduh. Nah kopi bakau menjadi tempat yang pas, mereka minum kopi sambil menikmati situasi sekitar,” ujarnya.
Berdampak Ekonomi
Nasrianto menjelaskan kehadiran kedai kopi bakau sudah tentu berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Momen festival budaya menjadi sarana bagi warga setempat untuk menjual berbagai kebutuhan pengunjung.
“Saya punya warung kopi dan sehari yang terjual sekitar 50 gelas. Tapi di kedai kopi bakau ini, sehari bisa terjual 200 gelas. Padahal itu dibuka dari jam 10 pagi sampai 7 malam,” kata dia.
Ia berharap kepada Pemkab Asmat dan Keuskupan Agats tetap menyelenggarakan festival budaya Asmat setiap tahunnya, sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan ekonomi mereka dari event tersebut.
“Kami menyajikan berbagai menu kopi, seperti kopi bakau, es kopi bakau, lemon tea, cappuccino dan berbagai makanan ringan. Kami sangat senang karena pengunjung datang minum kopi di sela-sela menikmati pesta budaya,” ujarnya.
Melestarikan Budaya
Salah anggota komunitas fotografi Asmat, Yoseph Rehawarin mengatakan gagasan kopi bakau dilatarbelakangi oleh keinginan komunitas fotografi Asmat untuk ikut melestarikan budaya masyarakat setempat.
“Karenanya kami membangun miniatur rumah pohon suku Korowai serta memajang sejumlah patung, foto dan lukisan. Hal ini mau mendorong masyarakat untuk tetap mencintai budaya daerah,” kata Yoseph.
Ia menambahkan kehadiran fasilitas kopi bakau itu selain mengedukasi masyarakat agar melestarikan budaya lokal, juga membantu warga untuk menumbuhkan perekonomian mereka dalam kesempatan acara budaya.
“Ya tentunya dari aspek ekonomi ini membantu masyarakat. Mereka bisa menjual berbagai produknya, entah itu makanan, minuman maupun karya tangan,” ujar dia.
Herman Rante, salah satu pengunjung Festival Asmat Pokman 2019, mengaku ia paling sering menyempatkan diri ke kopi bakau untuk berekreasi dan berfoto sambil menikmati kopi di alam terbuka.
“Suasananya sangat nyaman dan asri. Kita juga bisa foto-foto dengan miniatur-miniatur yang disediakan. Saya harapkan agar di tahun depan, fasilitas seperti ini (kopi bakau) lebih menarik lagi,” kata Herman. (*/adv)
Fasilitas sederhana itu jaraknya sekitar 30 meter dari lokasi hajatan festival budaya Asmat. Berlokasi di hutan bakau dengan susasana yang asri, deretan kedai kopi ini sangat diminati para wisatawan pesta budaya.
Tidak hanya itu, di lokasi kopi bakau, para pengggas membangun miniatur rumah pohon suku Korowai. Mereka juga menyediakan bangku taman serta memajang puluhan foto dan lukisan yang menggambarkan aktivitas masyarakat dan kondisi wilayah setempat.
Tak pelak, ornamen-ornamen yang disediakan itu menjadi obyek bagi para wisatawan. Cukup banyak pengunjung yang mendatangi lokasi kopi bakau hanya sekedar berfoto serta rekreasi sambil menikmati berbagai menu minuman dan makanan.
Salah seorang pengelola kopi bakau, Nasrianto mengatakan bahwa gagasan kopi bakau datang dari komunitas fotografi Asmat, yang kemudian membangun deretan kedai kopi sederhana dengan nuansa alam.
“Teman-teman dari komunitas fotografi juga membangun minuatur rumah pohon dan memajang lukisan serta foto. Suasananya begitu asri di bawah rerimbunan pohon, sehingga sangat diminati pengunjung,” kata Nasri di Agats, Selasa (26/11).
Nasri mengaku sangat banyak pengunjung yang mendatangi lokasi tersebut. Terutama di siang hari, para pengunjung melepas penat serta menghindari terik matahari sambil menikmati kopi di alam terbuka.
“Siang lebih banyak pengunjung, karena panas, mereka cari tempat berteduh. Nah kopi bakau menjadi tempat yang pas, mereka minum kopi sambil menikmati situasi sekitar,” ujarnya.
Berdampak Ekonomi
Nasrianto menjelaskan kehadiran kedai kopi bakau sudah tentu berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Momen festival budaya menjadi sarana bagi warga setempat untuk menjual berbagai kebutuhan pengunjung.
“Saya punya warung kopi dan sehari yang terjual sekitar 50 gelas. Tapi di kedai kopi bakau ini, sehari bisa terjual 200 gelas. Padahal itu dibuka dari jam 10 pagi sampai 7 malam,” kata dia.
Ia berharap kepada Pemkab Asmat dan Keuskupan Agats tetap menyelenggarakan festival budaya Asmat setiap tahunnya, sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan ekonomi mereka dari event tersebut.
“Kami menyajikan berbagai menu kopi, seperti kopi bakau, es kopi bakau, lemon tea, cappuccino dan berbagai makanan ringan. Kami sangat senang karena pengunjung datang minum kopi di sela-sela menikmati pesta budaya,” ujarnya.
Melestarikan Budaya
Salah anggota komunitas fotografi Asmat, Yoseph Rehawarin mengatakan gagasan kopi bakau dilatarbelakangi oleh keinginan komunitas fotografi Asmat untuk ikut melestarikan budaya masyarakat setempat.
“Karenanya kami membangun miniatur rumah pohon suku Korowai serta memajang sejumlah patung, foto dan lukisan. Hal ini mau mendorong masyarakat untuk tetap mencintai budaya daerah,” kata Yoseph.
Ia menambahkan kehadiran fasilitas kopi bakau itu selain mengedukasi masyarakat agar melestarikan budaya lokal, juga membantu warga untuk menumbuhkan perekonomian mereka dalam kesempatan acara budaya.
“Ya tentunya dari aspek ekonomi ini membantu masyarakat. Mereka bisa menjual berbagai produknya, entah itu makanan, minuman maupun karya tangan,” ujar dia.
Herman Rante, salah satu pengunjung Festival Asmat Pokman 2019, mengaku ia paling sering menyempatkan diri ke kopi bakau untuk berekreasi dan berfoto sambil menikmati kopi di alam terbuka.
“Suasananya sangat nyaman dan asri. Kita juga bisa foto-foto dengan miniatur-miniatur yang disediakan. Saya harapkan agar di tahun depan, fasilitas seperti ini (kopi bakau) lebih menarik lagi,” kata Herman. (*/adv)