Jakarta (ANTARA) - Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kadin, Handito Joewono meminta pemerintah mengantisipasi penurunan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai dampak dari anjloknya harga minyak dunia.
"Kalau (harga) minyak turun memang dampak berikutnya komoditas akan jatuh. Saya rasa yang harus diantisipasi adalah CPO, turun harganya, padahal CPO adalah ekspor utama kita," kata Handito ditemui setelah Dialog Nasional Perdagangan di Jakarta, Rabu.
Handito menilai bahwa jatuhnya harga minyak dunia pada Senin (10/3) hampir 25 persen tersebut menjadi kondisi yang menguntungkan bagi Indonesia sebagai importir minyak.
Namun di sisi lain, komoditas ekspor nonmigas juga mengalami koreksi harga antara lain pada CPO dan batubara.
Menurut dia, Indonesia dapat memaksimalkan pasar dalam negeri untuk menyerap CPO melalui program B30 pada tahun 2020 ini.
"Kalau CPO kena (dampak), Presiden sudah meresmikan B30, jadi serap saja pasar dalam negeri. BBM juga 'crude oil' nya kita masih ada yang ekspor, tapi lebih banyak impornya," kata Handito.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menjelaskan bahwa dampak turunnya harga minyak ini akan berdampak pada ekspor nonmigas, khususnya pada tiga komoditas, yakni kelapa sawit, karet dan batubara.
"Harga minyak yang kini setengahnya dari harga umum, paling tidak akan menggerus ekspor nonmigas kita. Kita tahu ada tiga komoditas, kelapa sawit, karet, dan batubara merupakan kontribusi 67 persen dari ekspor nonmigas," kata Roy.
Sebelumnya harga minyak mentah mengalami penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991 pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), ketika produsen utama Arab Saudi dan Rusia memulai perang harga yang mengancam akan membanjiri pasokan pasar minyak global.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei merosot 10,91 dolar AS atau 24,1 persen, menjadi menetap di 34,36 dolar AS per barel. Kontrak turun sebanyak 31 persen pada awal sesi menjadi 31,02 dolar AS, tingkat terendah sejak 12 Februari 2016.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April jatuh 10,15 dolar AS atau 24,6 persen, menjadi ditutup di 31,13 dolar AS per barel. WTI sebelumnya anjlok 33 persen menjadi 27,34, juga yang terendah sejak 12 Februari 2016.
Kemerosotan hampir 25 persen dalam harga minyak memicu penjualan panik dan kerugian besar pada indeks saham utama Wall Street ketika penyebaran cepat virus corona memperkuat kekhawatiran akan resesi global.
Namun pada Rabu (11/3) pagi, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei naik 2,86 dolar AS atau 8,32 persen, menjadi ditutup pada 37,22 dolar AS per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April naik 3,23 dolar AS atau 10,38 persen, menjadi 34,36 dolar AS per barel.
Minyak anjlok sekitar 25 persen pada perdagangan Senin (9/3). Minyak rebound pada Selasa (10/3) bersama dengan ekuitas dan pasar keuangan lainnya.
"Kalau (harga) minyak turun memang dampak berikutnya komoditas akan jatuh. Saya rasa yang harus diantisipasi adalah CPO, turun harganya, padahal CPO adalah ekspor utama kita," kata Handito ditemui setelah Dialog Nasional Perdagangan di Jakarta, Rabu.
Handito menilai bahwa jatuhnya harga minyak dunia pada Senin (10/3) hampir 25 persen tersebut menjadi kondisi yang menguntungkan bagi Indonesia sebagai importir minyak.
Namun di sisi lain, komoditas ekspor nonmigas juga mengalami koreksi harga antara lain pada CPO dan batubara.
Menurut dia, Indonesia dapat memaksimalkan pasar dalam negeri untuk menyerap CPO melalui program B30 pada tahun 2020 ini.
"Kalau CPO kena (dampak), Presiden sudah meresmikan B30, jadi serap saja pasar dalam negeri. BBM juga 'crude oil' nya kita masih ada yang ekspor, tapi lebih banyak impornya," kata Handito.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menjelaskan bahwa dampak turunnya harga minyak ini akan berdampak pada ekspor nonmigas, khususnya pada tiga komoditas, yakni kelapa sawit, karet dan batubara.
"Harga minyak yang kini setengahnya dari harga umum, paling tidak akan menggerus ekspor nonmigas kita. Kita tahu ada tiga komoditas, kelapa sawit, karet, dan batubara merupakan kontribusi 67 persen dari ekspor nonmigas," kata Roy.
Sebelumnya harga minyak mentah mengalami penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991 pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), ketika produsen utama Arab Saudi dan Rusia memulai perang harga yang mengancam akan membanjiri pasokan pasar minyak global.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei merosot 10,91 dolar AS atau 24,1 persen, menjadi menetap di 34,36 dolar AS per barel. Kontrak turun sebanyak 31 persen pada awal sesi menjadi 31,02 dolar AS, tingkat terendah sejak 12 Februari 2016.
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April jatuh 10,15 dolar AS atau 24,6 persen, menjadi ditutup di 31,13 dolar AS per barel. WTI sebelumnya anjlok 33 persen menjadi 27,34, juga yang terendah sejak 12 Februari 2016.
Kemerosotan hampir 25 persen dalam harga minyak memicu penjualan panik dan kerugian besar pada indeks saham utama Wall Street ketika penyebaran cepat virus corona memperkuat kekhawatiran akan resesi global.
Namun pada Rabu (11/3) pagi, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei naik 2,86 dolar AS atau 8,32 persen, menjadi ditutup pada 37,22 dolar AS per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April naik 3,23 dolar AS atau 10,38 persen, menjadi 34,36 dolar AS per barel.
Minyak anjlok sekitar 25 persen pada perdagangan Senin (9/3). Minyak rebound pada Selasa (10/3) bersama dengan ekuitas dan pasar keuangan lainnya.