Jayapura (ANTARA) - Sekelompok pemuda Papua yang mempunyai beragam latar belakang berkumpul dan bersepakat  membentuk serta mendeklarasikan Perhimpunan Peduli Kopi Papua (P2KP) sebagai salah satu cara untuk mengatasi konflik di Bumi Cenderawasih.

"Menyadari bahwa penyelesaian konflik Papua adalah tanggungjawab pemuda, maka kami mencoba jalan-jalan baru penyelesaian konflik adalah sebuah optimisme. Termasuk menggunakan kopi sebagai alat resolusi konflik Papua," kata inisiator P2KP Habelino Sawaki di Jayapura, Papua, Jumat

"Karena itu kami bersepakat untuk berhimpun di dalam sebuah organisasi yang kami sebut Perhimpunan Peduli Kopi Papua (PPKP) yang bertujuan mendorong kopi sebagai alat resolusi konflik Papua," sambungnya. 

Konflik Papua merupakan konflik yang kompleks dan berkepanjangan dari sejarah masa lalu dan berbagai ketidakadilan serta marginalisasi yang dirasakan oleh orang Papua sehingga muncul berbagai konflik sosial. 

Berbagai upaya dan berbagai pendekatan telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua, lanjutnya, namun eskalasi konflik  tidak kunjung surut, bahkan cenderung meningkat. 

"Hal ini menunjukan bahwa berbagai upaya dan pendekatan yang dilakukan belum menyentuh akar permasalahan konflik Papua. Persoalan marginalisasi orang Papua hampir menjadi isu utama yang kini sedang mengemuka. Globalisasi yang merasuki seluruh sendi kehidupan, menjadikan isu marginalisasi orang Papua laksana benang kusut atau kami biasa sebut "talingkar"," katanya.

Karena itu, lanjut alumnus Universitas Pertahanan itu, identifikasi akar persoalan adalah hal yang mendasar untuk dilakukan. Sebab tanpa identifikasi akar persoalan, solusi yang tepat sulit diperoleh. Bahkan, bisa memunculkan persoalan baru.

Dua Faktor

"Ada dua faktor yang menyebabkan Orang Papua menjadi termarginalkan di atas tanah leluhurnya yaitu, faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam adalah menyangkut kesiapan SDM dari orang Papua sendiri dan hal-hal yang sifatnya karakter seperti ketekunan, keuletan, kejujuran, kedisiplinan dan lain-lain," katanya.

Faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar adalah menyangkut kebijakan pemerintah terhadap orang Papua di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain bidang hidup.

"Tugas dan tanggung jawab orang muda adalah mendorong forum-forum serta diskusi-diskusi yang terbuka dan meluas untuk membahas akar persoalan marginalisasi orang Papua secara tuntas serta melalui jalan-jalan mana saja solusi yang telah didiskusikan dapat dikerjakan," katanya.

Jika hal ini dilakukan secara terus menerus dan terpadu serta melibatkan stakeholder yang kompeten di bidangnya, dapat memunculkan sebuah optimisme baru yakni orang Papua dapat benar-benar menjadi “tuan di atas negerinya sendiri”.

Marginalisasi orang Papua tidak boleh dipercayakan di atas pundak individu atau kelompok yang selama ini hanya menjadikan Pembangunan Orang Papua sebagai lips service semata.

Tanggung jawab ini,menurut Habelino,memiliki dampak yang sangat berat jika tidak dikerjakan segera, dapat menambah rumitnya persoalan. 

"Karena itu, kita tidak boleh main-main dengan persoalan marginalisasi orang Papua. Marginalisasi yang tidak segera ditangani dengan baik dapat menimbulkan letupan. Apapun paradigma dan idiologi yang dianut, memuliakan orang asli Papua adalah sebuah keharusan," katanya.

Memuliakan orang Papua, kata dia, jangan direduksi menjadi pembangunan Papua semata. Membangun orang Papua dan membangun Papua adalah dua hal yang berbeda. Konflik Papua tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi lahir sebagai akibat struktur politik dan struktur ekonomi yang dirasakan tidak adil. 

"Tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan Papua kecuali dengan kesungguhan hati. Perdamaian memang penting, tetapi keadilan jauh lebih penting. Berapa lama konflik Papua dapat berlangsung sangat ditentukan oleh bagaimana seluruh pihak termasuk negara bersikap terhadap orang Papua," katanya.

Berbicara soal P2KP, kata dia, Papua memiliki potensi penghasil kopi berkualitas yang belum dikelola secara serius.

Luas lahan Papua yang sangat luas, masyarakat Papua yang mayoritas petani serta kualitas kopi Papua yang baik, adalah potensi yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi sarana untuk menyelesaikan permasalahan marginalisasi di Papua.

"Menyelesaikan konflik Papua artinya mengatasi marginalisasi dan menguatkan orang Papua sehingga benar-benar merasa sebagai warga negara. Di sinilah pentingnya hadirnya negara," katanya. 

Persoalan Papua cukup pelik dan rumit karena melibatkan berbagai bidang hidup namun seperti kata para bijak, mengerjakan perkara besar haruslah dimulai dengan mengerjakan perkara- perkara kecil.

Karena rumitnya persoalan Papua maka pendekatan yang tepat sangat penting sehingga tidak menambah kusutnya persoalan Papua.

"Dalam kesempatan ini, kami menawarkan sebuah metode, pendekatan bahkan gerakan baru yakni dengan menggunakan kopi Papua sebagai pintu masuk penyelesaian persoalan Papua secara mikroskopik," katanya.

"Melalui Kopi kita dapat berharap ada secercah optimisme untuk menuntaskan persoalan Papua. Namun mendorong pertumbuhan Papua melalui kopi dapat menjadi solusi marginalisasi jika dibarengi dengan keterlibatan Orang Papua," katanya panjang lebar.

Adapun nama-nama pemuda Papua yang berkumpul dan membentuk P2KP yakni Decky Djini mewakili barista, Else Yarona, Nancy Yoafifi dan Syahril mewakili pemilik kedai, Hermawati Koencariani latar belakang advokat senior yang akan menjadi kuasa hukum P2KP.

Lalu, Mukti mewakili komunitas peduli petani kopi, Anshar sebagai pemerhati kopi sekaligus akan jadi tim advokat P2KP, Ema Duwiri mewakili kelompok perempuan dan anak Papua.

Selanjutnya, Deradus Hunam mewakili event organizer yang akan menjadi tim untuk melakukan kampanye kopi melalui festival-festival, Richard Jakson Mayor mewakili kelompok jurnalis yang akan bergabung dengan tim humas P2KP, Rabiawal, Guntur dan Pilatus Netep mewakili kelompok pemuda dan Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Jayapura mewakili pemerintah.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024