Jakarta (ANTARA) - Tokoh sepuh Papua Freddy Numberi menyebutkan kasus kekerasan terhadap George Floyd, pria kulit hitam asal Minneapolis, Amerika Serikat, berbeda dengan persoalan rasisme di Papua.
"Dua kasus itu sebenarnya berbeda. Namun, ada persinggungan begitu dikaitkan dengan ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat Papua dibandingkan dengan daerah lain," kata Freddy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Dalam sejarah AS, kata mantan Menteri Perhubungan ini, rasisme tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didesain untuk kepentingan politik maupun ekonomi.
Dapat dilihat juga di beberapa belahan dunia lain, seperti di Afrika Selatan. Nelson Mandela berjuang melawan perbedaan perlakuan atas dasar ras atau politik warna kulit.
"Nelson Mandela yang sempat menjadi Presiden Afrika Selatan ini telah menjadi inspirasi bagi kebangkitan orang-orang yang tertindas. Sejarah kekerasan sudah terjadi berabad-abad lamanya di AS," katanya.
George Floyd, kata Freddy, adalah pemantik atas nama solidaritas diskriminasi warna kulit, baik di Amerika maupun di dunia. Minneapolis dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana rasisme terus menggerus AS. Unjuk rasa mendapat simpati baik di AS maupun belahan dunia lainnya.
Kematian George Floyd telah memicu gelombang protes di Amerika Serikat, melepaskan kemarahan lama yang membara atas bias rasial dalam sistem peradilan pidana AS.
Mantan Gubernur Papua ini mengatakan bahwa kasus George Floyd tentu ikut mendapat simpati di hati masyarakat Indonesia, khususnya di Papua. Hal ini diviralkan melalui media sosial tentang rasisme di AS maupun "korban rasis" terhadap orang Papua.
Namun, pertanyaannya apakah perlakuan terhadap orang Papua juga tergolong rasisme di Indonesia? Menurut Freddy, itu adalah masalah perspektif dan perlakuan yang semena-mena ketika pendekatannya sejak awal adalah represif (kekerasan).
"Ada unsur ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat yang terabaikan sejak awal integrasi dan pendekatan represif pemerintah yang silih berganti terus berlangsung," katanya.
Menurut Freddy, butuh kepemimpinan yang kuat untuk mengubah sistem yang ada agar pendekatannya lebih manusiawi dan hak-hak demokrasi orang Papua harus dijunjung tinggi dalam negara Indonesia yang demokratis berasaskan Pancasila.
Ia menekankan, "Butuh payung regulasi yang kukuh dalam hal tersebut serta pengawasan yang ketat dalam setiap bidang kehidupan di Papua, terutama terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM)."
Oleh karena itu, dia meminta Presiden Jokowi untuk mengubah perspektif pemerintahannya dalam menyelesaikan Papua.
"Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan represif pemerintah selama ini berpotensi mengobarkan konflik yang berkepanjangan dan berujung pada kebencian terhadap pemerintah, apalagi mendapat dukungan 'angin sorga' dari luar Papua," katanya menandaskan.
Freddy juga meminta penasihat Presiden Jokowi harus meyakinkan kepala negara bahwa pendekatan keamanan dan pemberangusan hak-hak sipil orang Papua tidak akan menyelesaikan masalah Papua secara tuntas.
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, rezim pemerintah yang ada harus memulai kembali komitmennya untuk menjamin Papua yang lebih aman, damai, sejahtera, dan demokratis tanpa diskriminasi
"Jokowi harus meninggalkan legacy dengan mengubah memoria passionis (ingatan penderitaan) dengan memoria felicitas (ingatan kebahagiaan) di Tanah Papua," kata Freddy Numberi.
"Dua kasus itu sebenarnya berbeda. Namun, ada persinggungan begitu dikaitkan dengan ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat Papua dibandingkan dengan daerah lain," kata Freddy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Dalam sejarah AS, kata mantan Menteri Perhubungan ini, rasisme tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didesain untuk kepentingan politik maupun ekonomi.
Dapat dilihat juga di beberapa belahan dunia lain, seperti di Afrika Selatan. Nelson Mandela berjuang melawan perbedaan perlakuan atas dasar ras atau politik warna kulit.
"Nelson Mandela yang sempat menjadi Presiden Afrika Selatan ini telah menjadi inspirasi bagi kebangkitan orang-orang yang tertindas. Sejarah kekerasan sudah terjadi berabad-abad lamanya di AS," katanya.
George Floyd, kata Freddy, adalah pemantik atas nama solidaritas diskriminasi warna kulit, baik di Amerika maupun di dunia. Minneapolis dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana rasisme terus menggerus AS. Unjuk rasa mendapat simpati baik di AS maupun belahan dunia lainnya.
Kematian George Floyd telah memicu gelombang protes di Amerika Serikat, melepaskan kemarahan lama yang membara atas bias rasial dalam sistem peradilan pidana AS.
Mantan Gubernur Papua ini mengatakan bahwa kasus George Floyd tentu ikut mendapat simpati di hati masyarakat Indonesia, khususnya di Papua. Hal ini diviralkan melalui media sosial tentang rasisme di AS maupun "korban rasis" terhadap orang Papua.
Namun, pertanyaannya apakah perlakuan terhadap orang Papua juga tergolong rasisme di Indonesia? Menurut Freddy, itu adalah masalah perspektif dan perlakuan yang semena-mena ketika pendekatannya sejak awal adalah represif (kekerasan).
"Ada unsur ketidakadilan, kesejahteraan, dan hak-hak masyarakat yang terabaikan sejak awal integrasi dan pendekatan represif pemerintah yang silih berganti terus berlangsung," katanya.
Menurut Freddy, butuh kepemimpinan yang kuat untuk mengubah sistem yang ada agar pendekatannya lebih manusiawi dan hak-hak demokrasi orang Papua harus dijunjung tinggi dalam negara Indonesia yang demokratis berasaskan Pancasila.
Ia menekankan, "Butuh payung regulasi yang kukuh dalam hal tersebut serta pengawasan yang ketat dalam setiap bidang kehidupan di Papua, terutama terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM)."
Oleh karena itu, dia meminta Presiden Jokowi untuk mengubah perspektif pemerintahannya dalam menyelesaikan Papua.
"Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan represif pemerintah selama ini berpotensi mengobarkan konflik yang berkepanjangan dan berujung pada kebencian terhadap pemerintah, apalagi mendapat dukungan 'angin sorga' dari luar Papua," katanya menandaskan.
Freddy juga meminta penasihat Presiden Jokowi harus meyakinkan kepala negara bahwa pendekatan keamanan dan pemberangusan hak-hak sipil orang Papua tidak akan menyelesaikan masalah Papua secara tuntas.
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, rezim pemerintah yang ada harus memulai kembali komitmennya untuk menjamin Papua yang lebih aman, damai, sejahtera, dan demokratis tanpa diskriminasi
"Jokowi harus meninggalkan legacy dengan mengubah memoria passionis (ingatan penderitaan) dengan memoria felicitas (ingatan kebahagiaan) di Tanah Papua," kata Freddy Numberi.