Timika (ANTARA) - Aktivis HAM yang juga Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation, Haris Azhar menduga ada pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki ribuan warga Kampung Banti dan Opitawak, Distrik Tembagapura kembali ke kampung mereka sehingga sampai sekarang masih terkatung-katung di Timika.

"Saya mencurigai ada siasat jahat untuk membiarkan masyarakat tidak bisa kembali ke kampungnya, padahal mereka turun dari Tembagapura ke Timika beberapa bulan lalu itu atas kerelaan mereka sendiri, bukan karena diusir," kata Haris Azhar di Timika, Selasa.

Haris Azhar yang menjadi kuasa hukum Forum Pemilik Hak Sulung Tsinga, Waa-Banti, Aroanop (FPHS Tsingwarop) berjanji untuk memperjuangkan pengembalian sekitar 1.800 jiwa warga Banti dan Opitawak yang diungsikan sementara ke Timika sejak awal Maret.

Ribuan warga Banti dan Opitawak mengungsi sementara ke Timika karena situasi di kampung mereka tidak aman setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terlibat konflik bersenjata dengan aparat TNI dan Polri.

"Kami akan proaktif datang ke mereka (pejabat dan instansi terkait) untuk minta dibuka jalan karena masyarakat ini mau balik ke kampungnya. Misalnya tidak dibuka jalannya lalu tidak ada bus yang mau mengangkut, yah masyarakat ini akan jalan kaki dari Timika sampai di Banti dan Opitawak," kata Haris.

Pada Senin (26/10), Haris Azhar menemui warga Banti dan Opitawak yang bermukim di keluarga mereka di sejumlah tempat di Timika seperti SP2, Kwamki Baru, Mile 32 dan lainnya.

Haris mendengarkan secara langsung aspirasi warga Tembagapura yang menginginkan segera kembali ke kampung halaman mereka agar bisa merayakan Natal di kampungnya pada Desember nanti.

Haris yang pernah menjadi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2010-2016 itu mengatakan selama tujuh bulan terakhir warga Banti dan Opitawak dibiarkan keleleran di Timika tanpa ada pihak yang memperhatikan nasib mereka.

"Ini kan sudah tujuh bulan. Mestinya TNI-Polri, Pemda, Pemerintah Pusat membuat tim untuk mengurus nasib mereka ini. Seharusnya negara malu ada warganya 1.800 orang punya inisiatif mengamankan diri, jadi bukan aparat keamanan yang mengamankan mereka. Sebetulnya mereka ini bukan pengungsi, tapi mengevakuasi diri," katanya.

Warga Banti dan Opitawak rela meninggalkan rumah dan harta benda mereka di kampung pada awal Maret karena situasi keamanan yang terganggu akibat kehadiran KKB.

"Masyarakat memberikan waktu supaya negara masuk mengamankan kampung mereka, nanti setelah aman masyarakat balik lagi. Kan tujuan pembentukan TNI dan Polri untuk itu. Tapi kalau TNI dan Polri tidak mengamankan warganya, lalu dia mau mengamankan siapa," kata Haris. Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation Haris Azhar bersama warga Banti-Opitawak.(ANTARA/Evarianus Supar)
Ia menilai penanganan ribuan warga Banti dan Opitawak di Timika selama tujuh bulan itu amburadul, bahkan terkesan dibiarkan begitu saja.

"Dalam kasus ini, seharusnya disusun rencana penanganannya seperti apa. Kalau situasi kampung sudah aman, ayo balik lagi. Pemda siapkan peralatan yang mereka butuhkan, perusahaan (PT Freeport Indonesia) buka akses jalan sehingga semua bisa kembali ke kampung. Tapi yang terjadi, koq seperti ada yang menikmati situasi ini," tutur Haris.

Dia menuding ada pihak-pihak tertentu yang sangat menikmati situasi dimana ribuan warga Banti, Opitawak dan Kimbeli tidak berada di kampung halaman mereka yang sangat dekat jaraknya dengan kota pertambangan Freeport di Tembagapura itu.

"Ini ada siasat jahat apa? Kalau memang tidak ada siasat jahat, mestinya mereka segera dijemput untuk balik ke kampung. Kalau mereka di Timika terus tentu jadi masalah. Banyak warga yang sakit kena malaria, sudah delapan orang meninggal, banyak yang stres karena tidak punya uang untuk membayar sewa rumah kontrakan. Padahal kalau mereka ada di kampungnya, mereka sehat-sehat semua," kata Haris.
 

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024