Jakarta (ANTARA) -
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Kamis, menilai pemerintah harus menindak tegas Benny Wenda dan pengikutnya atas deklarasi kemerdekaan Papua Barat.
Ia mengatakan Wenda dan para pengikutnya dengan sangat jelas telah melakukan tindakan makar, karenanya pemerintah harus mengambil tindakan penegakan hukum yang tegas.
Soesatyo menegaskan klaim deklarasi kemerdekaan Papua Barat yang dikemukakan Wenda yang mengatasnamakan Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat, serta penunjukan dirinya sebagai presiden sementara Papua Barat, merupakan tindakan agitasi dan propaganda yang tak lain bertujuan memecah-belah bangsa Indonesia.
Soesatyo juga mempersilahkan pemerintah menggunakan alat negara dan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk mengambil tindakan tegas dan terukur untuk mengamankan kedaulatan NKRI dan marwah bangsa Indonesia.
"Benny Wenda tak lagi berstatus warga negara Indonesia. Ia tidak memiliki kewarganegaraan. Ia hanya memiliki izin tinggal dari pemerintah Inggris," kata dia.
Aktivitas separatis Wenda, menurut dia, dijalankan dari Oxford, Inggris. Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia harus segera memanggil duta besar Inggris untuk Indonesia.
"Untuk menjelaskan posisi pemerintahan Inggris terkait isu Papua dan aktivitas Benny Wenda di Inggris," kata dia, dalam konferensi pers bersama Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, TNI-Polri, dan Badan Intelijen Negara, di Kantor Kementerian Koordinator bidang Polhukam.
Turut hadir antara lain Menteri Koordinator bidang Polhukam, Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian, Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Wakil Kepala Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Gatot Eddy, Wakil Kepala BIN, Letnan Jenderal TNI (Purn) Teddy Lhaksmana Widya, dan Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi MPR untuk Papua, Yorrys Raweyai.
Soesatyo menjelaskan UUD 1945 sebagai hukum dasar/konstitusi negara menegaskan, negara Indonesia berbentuk Negara Kesatuan.
Hal itu, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (1), pasal 18 ayat (1), pasal 18b ayat (2), pasal 25a, dan pasal 37 ayat (5) UUD 1945. Segala bentuk pernyataan yang merongrong dan menegasikan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pengingkaran terhadap amanat konstitusi.
Menurut pasal 106 KUHP, lanjut dia, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara selama lamanya dua puluh tahun.
"Pasal 87 KUHP menegaskan, dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan," ucap dia.
Mahfud MD menerangkan, tindakan Wenda itu tidak memiliki dasar hukum internasional. Antara lain, kata Mahfud tidak memiliki rakyat yang mengakui, bahkan masyarakat di Papua Barat saja menolak klaim kemerdekaan Wenda itu.
Selain itu, juga tak memiliki wilayah, karena dunia internasional hanya mengakui daerah Papua berada dalam bingkai NKRI. Serta tidak adanya pengakuan dari negara lain.
"Benny Wenda hanya menciptakan negara ilusi. Berdasarkan Referendum pada 1969, yang kemudian disahkan PBB, daerah Papua merupakan bagian dari NKRI," kata Mahfud.
PBB, kata dia, juga tidak memasukan Papua dalam daftar Special Committee on Decolonization (C-24), sebagai wilayah yang berhak membangun pemerintahan baru atau merdeka.
Sementara itu Eddy memastikan institusi kepolisian akan menindak tegas siapapun dan dari kelompok manapun yang berbuat makar maupun mengganggu kondusifitas sosial dan keamanan di Papua. Penindakan hukum akan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Siapapun, kelompok manapun yang mengikuti Benny Wenda ingin memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kita akan melakukan tindakan tegas. Siapapun dia, kelompok apapun dia, kami tidak pandang bulu. Kami ingin menunjukkan bahwa negara kita ini adalah negara hukum dan Papua adalah Indonesia," kata dia.