Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendukung langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerapkan keadilan restoratif khususnya dalam perkara ringan dan tidak meresahkan masyarakat.
Langkah itu menurut dia agar sebuah perkara tidak perlu sampai ke persidangan atau bahkan sampai ke pemidanaan yang menambah berat beban lembaga pemasyarakatan (Lapas).
"Penerapan keadilan restoratif antara lain mengacu kepada Surat Edaran Kapolri Nomor 8/VII/2018, yang ditujukan untuk penanganan perkara yang tidak menimbulkan keresahan dan tidak ada penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, serta tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat," kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya, di Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakan Bamsoet usai bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, di Mabes Polri, Selasa (8/3).
Polri mencatat, sepanjang tahun 2021 telah menyelesaikan perkara dengan pendekatan restorative justice mencapai 11.811 perkara, terdiri dari 11.755 perkara di Polda dan 56 perkara di Bareskrim.
Bamsoet mengatakan, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 2/II/2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menginstruksikan agar penyidik Polri mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara yang berhubungan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dia juga mendorong agar penerapan restorative justice bisa dilakukan dalam menangani perkara ekonomi digital, yang beberapa diantaranya masih memiliki kekosongan hukum, sehingga rawan disalahartikan aparat penegak hukum maupun antar sesama kalangan masyarakat sendiri.
"Hal itu bisa terjadi karena belum adanya peraturan Initial Coin Offering (ICO) atau Initial Token Sales (ITS) serta belum adanya Regulatory Sandbox yang bisa mempertemukan para pemain ekonomi digital yang telah mendunia tersebut dengan regulator seperti Bappebti di Kementerian Perdagangan, OJK dan Bank Indonesia," ujarnya.
Dia mengatakan, dalam menyikapi keberadaan perdagangan digital di sektor komoditas, baik dari sisi mekanisme penjualan, transaksi, distribusi dan lain-lain yang hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang jelas.
Bamsoet menjelaskan, perkembangan inovasi perdagangan digital yang belum diikuti dengan kecepatan regulasi dan belum terbangunnya infrastruktur perdagangan komoditas digital dalam negeri seperti Bursa Kripto, broker dan exchanger yang kuat, menyebabkan masyarakat menggunakan berbagai platform perdagangan digital luar negeri.
"Kekosongan regulasi yang mengatur transaksi perdagangan berjangka komoditi itu pada akhirnya membuka peluang masuknya para broker digital trading luar negeri yang berpotensi melakukan praktik penipuan berkedok investasi ilegal atau bodong," katanya.
Menurut dia, jangan sampai geliat anak-anak muda dan investor milenial yang mulai aktif turun ke bursa perdagangan komoditi, perdagangan aset kripto, maupun berbagai fenomena ekonomi digital lainnya menjadi terhambat lantaran kecemasan mereka terkait situasi aturan hukum yang belum jelas.
Dia menilai, penerapan restorative justice sebaiknya juga bisa dilakukan terhadap berbagai kasus ekonomi digital, namun tentu saja dengan catatan bukan terhadap kasus besar yang menimbulkan kerugian sangat besar di masyarakat seperti investasi bodong, skema ponzi, judi dan penipuan lainnya.
Bamsoet juga menyampaikan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait usulan dari berbagai pihak seperti Indonesian Crypto Consumer Association (ICCA), Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Asosiasi Perusahaan Penjualan Langsung Indonesia (AP2LI), hingga Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga yang mendorong agar Indonesia segera membentuk Bursa Kripto Indonesia.
"Selain memberikan kepastian usaha, kepastian hukum, dan perlindungan investor dan konsumen kripto di Indonesia, kehadiran Bursa Kripto juga sangat penting untuk mengawasi perdagangan kripto sekaligus memperkuat posisi Indonesia menjadi pusat ekonomi digital dunia, khususnya untuk wilayah Asia dan Asia Tenggara," katanya.