Timika (ANTARA) - Manajemen PT Freeport Indonesia membuka peluang kerja sama dengan pihak manapun untuk memanfaatkan pasir sisa tambang atau yang populer dikenal dengan istilah tailing guna mendukung pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan lainnya.
Direktur PT Freeport Indonesia Claus Wamafma di Timika, Minggu, mengatakan dengan mulai digunakannya pasir sisa tambang untuk mendukung pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Papua dan Papua Barat saat ini maka pasir sisa tambang itu tidak lagi dianggap hanya sebagai sampah, namun memiliki nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan.
"Kami berterima kasih kepada Bapak Wakil Menteri PUPR (John Wempi Wetipo) yang secara konsisten terus mendorong bagaimana pasir sisa tambang ini menjadi bagian dari upaya mempercepat akselerasi pembangunan infrastruktur di Papua. Beberapa kali kami sudah mengirim ke Merauke dan akan dikirim lagi ke Sorong dan tempat-tempat lainnya," kata Claus.
Ia menyebut PT Freeport memiliki spirit yang sama dengan pemerintah untuk memanfaatkan pasir sisa tambang yang kini diendapkan di wilayah dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, dalam jumlah yang sangat besar untuk kepentingan mendorong kemajuan pembangunan di Bumi Cenderawasih.
"Kita semua menginginkan Papua lebih baik, lebih maju. Untuk menuju ke arah sana, kita harus bekerja bersama-sama, tidak bisa lagi kita bekerja sendiri-sendiri. Volume pasir sisa tambang yang ada saat ini cukup besar," jelas Claus.
Menurut dia, tidak ada masalah jika ada pihak-pihak tertentu baik kalangan pemerintah maupun swasta yang ingin memanfaatkan pasir sisa tambang Freeport itu.
"Tentu ada proses dan mekanismenya. Tidak ada masalah, pasti kami akan memberikan respons. Kami tidak memilah-milah," ujarnya.
Dalam hal kerja sama pemanfaatan pasir sisa tambang itu, kata Claus, Freeport tentu tidak akan bertindak sendirian, tetapi bersama-sama dengan pemerintah, termasuk Pemkab Mimika.
"Ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri PUPR, Menteri BUMN, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang melandasi pemanfaatan tailing ini. Tentu Pemkab Mimika pasti terlibat," ujarnya.
Dalam waktu dekat ini, Freeport akan mengirimkan pasir sisa tambang ke wilayah Distrik Mimika Timur Jauh untuk mendukung pembangunan fasilitas infrastruktur di wilayah itu.
Claus mengemukakan bahwa pilihan Freeport untuk menggunakan jalur Sungai Aijkwa atau yang dalam bahasa warga lokal menyebut 'Kali Kabur' sebagai sarana mengalirkan material tailing dari pabrik pengolahan di Mile 74, Distrik Tembagapura ke wilayah dataran rendah Mimika sejak awal operasinya sudah melalui berbagai kajian mendalam dan mempertimbangkan banyak aspek.
Hal itu dikelola secara konsisten dan kontinyu selama puluhan tahun.
"Setiap saat kami mengambil sampling untuk mengukur semua proses geofisika, proses kimiawi yang ada di kawasan pengendapan tailing. Itu semua dilaporkan secara reguler kepada pemerintah sebagai regulator," katanya.
Sebelum keluar SKB tiga menteri, tailing yang dihasilkan Freeport dimasukkan dalam status Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Claus menegaskan tailing dikategorikan sebagai limbah berbahaya bukan karena kandungannya, tetapi lebih karena volumenya yang sangat besar.
"Tailing itu dikategorikan sebagai B3 bukan karena kandungannya karena proses pemisahan biji tembaga, emas dan perak serta mineral ikutan lainnya dengan kandungan yang tidak memiliki nilai ekonomi yang disebut tailing itu tidak ada menggunakan bahan-bahan yang berbahaya. Kami konsisten melaksanakan itu selama puluhan tahun," ujar Claus.
Direktur PT Freeport Indonesia Claus Wamafma di Timika, Minggu, mengatakan dengan mulai digunakannya pasir sisa tambang untuk mendukung pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Papua dan Papua Barat saat ini maka pasir sisa tambang itu tidak lagi dianggap hanya sebagai sampah, namun memiliki nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan.
"Kami berterima kasih kepada Bapak Wakil Menteri PUPR (John Wempi Wetipo) yang secara konsisten terus mendorong bagaimana pasir sisa tambang ini menjadi bagian dari upaya mempercepat akselerasi pembangunan infrastruktur di Papua. Beberapa kali kami sudah mengirim ke Merauke dan akan dikirim lagi ke Sorong dan tempat-tempat lainnya," kata Claus.
Ia menyebut PT Freeport memiliki spirit yang sama dengan pemerintah untuk memanfaatkan pasir sisa tambang yang kini diendapkan di wilayah dataran rendah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, dalam jumlah yang sangat besar untuk kepentingan mendorong kemajuan pembangunan di Bumi Cenderawasih.
"Kita semua menginginkan Papua lebih baik, lebih maju. Untuk menuju ke arah sana, kita harus bekerja bersama-sama, tidak bisa lagi kita bekerja sendiri-sendiri. Volume pasir sisa tambang yang ada saat ini cukup besar," jelas Claus.
Menurut dia, tidak ada masalah jika ada pihak-pihak tertentu baik kalangan pemerintah maupun swasta yang ingin memanfaatkan pasir sisa tambang Freeport itu.
"Tentu ada proses dan mekanismenya. Tidak ada masalah, pasti kami akan memberikan respons. Kami tidak memilah-milah," ujarnya.
Dalam hal kerja sama pemanfaatan pasir sisa tambang itu, kata Claus, Freeport tentu tidak akan bertindak sendirian, tetapi bersama-sama dengan pemerintah, termasuk Pemkab Mimika.
"Ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri PUPR, Menteri BUMN, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang melandasi pemanfaatan tailing ini. Tentu Pemkab Mimika pasti terlibat," ujarnya.
Dalam waktu dekat ini, Freeport akan mengirimkan pasir sisa tambang ke wilayah Distrik Mimika Timur Jauh untuk mendukung pembangunan fasilitas infrastruktur di wilayah itu.
Claus mengemukakan bahwa pilihan Freeport untuk menggunakan jalur Sungai Aijkwa atau yang dalam bahasa warga lokal menyebut 'Kali Kabur' sebagai sarana mengalirkan material tailing dari pabrik pengolahan di Mile 74, Distrik Tembagapura ke wilayah dataran rendah Mimika sejak awal operasinya sudah melalui berbagai kajian mendalam dan mempertimbangkan banyak aspek.
Hal itu dikelola secara konsisten dan kontinyu selama puluhan tahun.
"Setiap saat kami mengambil sampling untuk mengukur semua proses geofisika, proses kimiawi yang ada di kawasan pengendapan tailing. Itu semua dilaporkan secara reguler kepada pemerintah sebagai regulator," katanya.
Sebelum keluar SKB tiga menteri, tailing yang dihasilkan Freeport dimasukkan dalam status Limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Claus menegaskan tailing dikategorikan sebagai limbah berbahaya bukan karena kandungannya, tetapi lebih karena volumenya yang sangat besar.
"Tailing itu dikategorikan sebagai B3 bukan karena kandungannya karena proses pemisahan biji tembaga, emas dan perak serta mineral ikutan lainnya dengan kandungan yang tidak memiliki nilai ekonomi yang disebut tailing itu tidak ada menggunakan bahan-bahan yang berbahaya. Kami konsisten melaksanakan itu selama puluhan tahun," ujar Claus.