Jakarta (ANTARA) - Pakar pendidikan Prof Arief Rachman mengatakan tidak semua orang bisa mendapatkan gelar honoris causa atau gelar tinggi kehormatan.

"Gelar Doktor Honoris causa merupakan penghargaan yang diberikan kepada seseorang dengan sederet kualifikasi," ujar Arief Rahman dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Dia menambahkan pada umumnya untuk mendapatkan gelar Doktor honoris causa harus tetap memenuhi syarat keilmuan, syarat keinsinyuran dan syarat dari pengabdian kepada bangsa dan negara.

"Doktor honoris causa enggak usah ikut kuliah. Ini penghargaan, lebih dari penghargaan atas penelitian dan pengabdian," tambah dia.

Tak heran jika banyak orang memperdebatkan gelar Doktor honoris causa sebab, penerima penghargaan tersebut dianggap tak bersusah payah kuliah dan melakukan sejumlah penelitian mendalam.

Sementara itu, dijelaskan lagi oleh Arief, untuk meraih Doktor lewat gelar S3 di perguruan tinggi memang lebih menguras energi. Mereka harus menjadi mahasiswa yang ikut kuliah dan membuat penelitian.

"Lalu penelitiannya bisa diterapkan untuk pengabdian masyarakat kan ada Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi penelitian, kedalaman ilmu dan pengabdian masyarakat," imbuhnya.

Menurut dia, jelas timbul perdebatan karena penerima Doktor honoris causa tidak duduk serta melihat peneltian yang dia lakukan.

Arief mencontohkan bahwa Ir Soekarno mendapat gelar honoris causa dari banyak negara, seperti Belanda, Jerman, juga Jepang.

"Pemberi penghargaan ini melihat pengabdian dia itu tinggi banget. Kalau kayak saya Doktor didapat dengan mengadakan penelitian tentang bahasa dan perdebatkan ilmiah di kampus," terang dia.

Sementara Sekjen PMI Sudirman Said yang juga menempuh pendidikan doktoral (S3) mengakui bahwa menyelesaikan studi S3 memang tidak mudah.

Dengan tugas jurnal, makalah, penterjemahan, proposal yang berjenjang dari pengajuan judul, prakualifikasi, kualifikasi, presentasi alat ukur, mencari data, presentasi hasil, sampai tahap akhir ujian tertutup dan ujian terbuka. Namun hal itu mengasyikan dan penuh perjuangan.

“Menjalani pendidikan doktor adalah tantangan, sekaligus kenikmatan tersendiri. Karena itu wajar bila gelar Doktor Kehormatan hanya layak diberikan kepada figur yang benar-benar memiliki sumbangsih pada ilmu pengetahuan atau kemasyarakatan," jelas Sudirman.

Menurut Sudirman, kepada siapa gelar Doktor Kehormatan diberikan, juga menentukan reputasi suatu perguruan tinggi.
 

Pewarta : Indriani
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024