London (ANTARA) - Bagi Muslim Indonesia yang bermukim di Inggris, berpuasa di musim semi memiliki tantangan tersendiri.
Berbeda dengan situasi di Indonesia, yakni warga Muslim berpuasa sekitar 13 jam, umat Islam di Inggris harus berpuasa hingga 18 jam.
Suwondo, mahasiswa magister yang kuliah di Universitas Southampton, Inggris, menuturkan bahwa berpuasa di negeri yang berbeda dengan tanah air memang memiliki tantangan tersendiri.
“Saya berpuasa di Inggris ini dalam situasi yang cukup menantang. Kebetulan saya kuliah master selama dua tahun, jadi sudah hampir dua tahun ini tinggal di UK. Nah, tahun lalu, puasa pertama saya di Inggris, situasinya sedang pandemi masa awal, jadi lockdown total, nggak bisa kemana-mana. Sekarang ini, situasinya lumayan baik, sudah bisa beribadah bersama," kata Suwondo, kepada ANTARA London, Jumat (23/04).
Menurut Suwondo, ia mengaku merasakan perbedaan tradisi antara Muslim Indonesia dan Muslim Inggris yang cukup kentara pada bulan Ramadhan.
“Nah, kalau di Indonesia, ketika Ramadhan tiba, kita bisa bayangkan betapa ramainya. Masjid dan surau, juga aneka kuliner yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan atau pasar. Kita bisa cari menu apa saja yang kita mau,” ujar Suwondo, yang merupakan pegawai di Direktorat Pajak Kementerian Keuangan.
“Namun, kalau di Inggris, tidak ada yang jualan di pinggir jalan. Tidak bisa menemukan tukang bakso, mie ayam, atau es degan menjelang berbuka puasa. Karena peraturan untuk berjualan sangat ketat dan semua diatur oleh hukum negara. Jadi, situasinya memang berbeda,” katanya.
Lebih lanjut, Suwondo mengakui waktu berpuasa yang panjang harus diatur secara baik agar tidak membosankan, terutama untuk anak-anak.
“Saya terbiasa mengajak anak-anak pada sore hari berkunjung ke taman-taman. Ada banyak taman di kota tempat saya tinggal, misalnya di Daisy Dip Park, Common Park, Bitterne Park, ataupun di Riverside Park. Pemerintah Inggris membangun taman-taman kota di berbagai kawasan."
Berbeda dengan Suwondo, Badriyah, seorang Muslimah asal Indonesia yang bermukim di Inggris, mengakui bahwa dirinya lebih senang jalan-jalan pada sore hari, terutama di jalan-jalan kecil di desa-desa terpencil Inggris.
“Iya, saya biasanya jalan-jalan ketika Ramadhan di sore ini bersama anak-anak. Jadi kan sudah seharian bekerja, terus memanfaatkan waktu sore hari untuk jalan-jalan sebentar. Kadang juga, mengendarai mobil menelusuri jalan-jalan kecil di desa-desa Inggris. Situasinya yang tenang bikin segar, bikin bahagia,” katanya.
Pengajar di Universitas London itu mengatakan salah satu kegemarannya adalah mencari kedai teh atau kopi yang dikelola warga pedesaan Inggris untuk mempelajari budaya lokal.
Suasana taman kota di Inggris saat Ramadhan. (ANTARA/Munawir Aziz)
Sementara itu, Mohammad Abu Yusuh, warga Muslim Thailand yang bermukim di Inggris, mengatakan dirinya senang melewatkan sore pada bulan Ramadhan di taman kota.
“Anak saya suka main di taman. Jadi saya ke sini untuk melewatkan waktu, agar nanti anak-anak tidak merasa capek dan haus berpuasa. Kalau bermain, kan mereka senang,” papar Abu.
Menurut Abu, di Thailand Selatan, tempat asalnya, tidak ada tradisi ngabuburit seperti di Indonesia.
“Kami tidak punya tradisi ngabuburit, atau jalan-jalan jelang ifthar. Tidak punya itu, malah saya baru dengar dari orang Indonesia, itu unik sekali. Tapi, kalau saling antar makanan sehabis tarawih, ada di tempat kami di Thailand,” jelas Abu, yang fasih berbahasa Melayu.
Bagi komunitas Muslim Indonesia di Inggris, tradisi ngabuburit berubah menjadi jalan-jalan ataupun bermain di taman-taman kota, untuk menghibur anak-anak di bulan Ramadhan.
Berbeda dengan situasi di Indonesia, yakni warga Muslim berpuasa sekitar 13 jam, umat Islam di Inggris harus berpuasa hingga 18 jam.
Suwondo, mahasiswa magister yang kuliah di Universitas Southampton, Inggris, menuturkan bahwa berpuasa di negeri yang berbeda dengan tanah air memang memiliki tantangan tersendiri.
“Saya berpuasa di Inggris ini dalam situasi yang cukup menantang. Kebetulan saya kuliah master selama dua tahun, jadi sudah hampir dua tahun ini tinggal di UK. Nah, tahun lalu, puasa pertama saya di Inggris, situasinya sedang pandemi masa awal, jadi lockdown total, nggak bisa kemana-mana. Sekarang ini, situasinya lumayan baik, sudah bisa beribadah bersama," kata Suwondo, kepada ANTARA London, Jumat (23/04).
Menurut Suwondo, ia mengaku merasakan perbedaan tradisi antara Muslim Indonesia dan Muslim Inggris yang cukup kentara pada bulan Ramadhan.
“Nah, kalau di Indonesia, ketika Ramadhan tiba, kita bisa bayangkan betapa ramainya. Masjid dan surau, juga aneka kuliner yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan atau pasar. Kita bisa cari menu apa saja yang kita mau,” ujar Suwondo, yang merupakan pegawai di Direktorat Pajak Kementerian Keuangan.
“Namun, kalau di Inggris, tidak ada yang jualan di pinggir jalan. Tidak bisa menemukan tukang bakso, mie ayam, atau es degan menjelang berbuka puasa. Karena peraturan untuk berjualan sangat ketat dan semua diatur oleh hukum negara. Jadi, situasinya memang berbeda,” katanya.
Lebih lanjut, Suwondo mengakui waktu berpuasa yang panjang harus diatur secara baik agar tidak membosankan, terutama untuk anak-anak.
“Saya terbiasa mengajak anak-anak pada sore hari berkunjung ke taman-taman. Ada banyak taman di kota tempat saya tinggal, misalnya di Daisy Dip Park, Common Park, Bitterne Park, ataupun di Riverside Park. Pemerintah Inggris membangun taman-taman kota di berbagai kawasan."
Berbeda dengan Suwondo, Badriyah, seorang Muslimah asal Indonesia yang bermukim di Inggris, mengakui bahwa dirinya lebih senang jalan-jalan pada sore hari, terutama di jalan-jalan kecil di desa-desa terpencil Inggris.
“Iya, saya biasanya jalan-jalan ketika Ramadhan di sore ini bersama anak-anak. Jadi kan sudah seharian bekerja, terus memanfaatkan waktu sore hari untuk jalan-jalan sebentar. Kadang juga, mengendarai mobil menelusuri jalan-jalan kecil di desa-desa Inggris. Situasinya yang tenang bikin segar, bikin bahagia,” katanya.
Pengajar di Universitas London itu mengatakan salah satu kegemarannya adalah mencari kedai teh atau kopi yang dikelola warga pedesaan Inggris untuk mempelajari budaya lokal.
Sementara itu, Mohammad Abu Yusuh, warga Muslim Thailand yang bermukim di Inggris, mengatakan dirinya senang melewatkan sore pada bulan Ramadhan di taman kota.
“Anak saya suka main di taman. Jadi saya ke sini untuk melewatkan waktu, agar nanti anak-anak tidak merasa capek dan haus berpuasa. Kalau bermain, kan mereka senang,” papar Abu.
Menurut Abu, di Thailand Selatan, tempat asalnya, tidak ada tradisi ngabuburit seperti di Indonesia.
“Kami tidak punya tradisi ngabuburit, atau jalan-jalan jelang ifthar. Tidak punya itu, malah saya baru dengar dari orang Indonesia, itu unik sekali. Tapi, kalau saling antar makanan sehabis tarawih, ada di tempat kami di Thailand,” jelas Abu, yang fasih berbahasa Melayu.
Bagi komunitas Muslim Indonesia di Inggris, tradisi ngabuburit berubah menjadi jalan-jalan ataupun bermain di taman-taman kota, untuk menghibur anak-anak di bulan Ramadhan.