Jakarta (ANTARA) - Nyata dan tak terbantahkan bahwa penularan virus corona yang tak terdeteksi menjadi ancaman bagi semua orang, karena ragam varian virus corona itu tidak mengenal sekat.
Agar tidak terpapar, semua orang, termasuk pelajar sekalipun, didorong membatasi kegiatan dan mobilitasnya. Maka, ketika ada komunitas yang lebih mengedepankan ego kelompok dengan melanggar ketentuan tentang pembatasan kegiatan masyarakat di tengah pandemi, mereka otomatis menjadi ancaman bagi orang lain di sekitarnya, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Siapa saja yang beraktivitas di luar rumah dengan tidak mematuhi protokol kesehatan (prokes), dia berpotensi menjadi sumber klaster keluarga ketika kembali ke rumah. Dan, sudah ada banyak contoh kasus yang berkisah tentang akibat fatal karena mereka yang tidak peduli pada prokes semasa Pandemi COVID-19 sekarang ini. Patut untuk disadari bahwa ketidakpedulian pada prokes justru menjadi ancaman mematikan anggota keluarga.
Di Jakarta, pada pekan kedua Juni 2021, seorang bayi usia 29 hari terpapar COVID-19 dan meninggal. Bayi mungil itu terpapar setelah dikunjungi keluarga besarnya. Di Sukabumi, bayi perempuan yang dilahirkan 8 Juli 2021 meninggal dunia pada 9 Juli 2021 setelah terkonfirmasi positif COVID-19, karena tertular dari ibunya yang pasien positif COVID-19. Dua contoh kasus ini sudah lebih dari cukup untuk mewakili kisah pilu lainnya yang nyaris sama dan telah terjadi di banyak tempat.
Di Kabupaten Blitar misalnya, ada 10 bayi yang lahir di RSUD Ngudi Waluyo kehilangan ibu mereka yang meninggal karena terinfeksi COVID-19. Dalam kurun Januari-Juli 2021, sebanyak 15 ibu hamil meninggal karena COVID-19 saat dirawat di RSUD Ngudi Waluyo.
Pertengahan Juni 2021, Satgas Penanganan COVID-19 mengungkap fakta bahwa 1,2 persen anak usia di bawah 18 tahun di Indonesia meninggal akibat virus corona. Jika mengacu pada data kumulatif kasus kematian saat itu, 1,2 persen itu ekivalen 630 anak Indonesia. Rinciannya 0,6 persen kelompok usia 0-5 tahun dan 0,6 persen lainnya kelompok usia 5-18 tahun. Data ini menjelaskan bahwa angka kematian balita terpapar COVID-19 lebih tinggi dari anak usia lain. Hingga pekan pertama Agustus 2021 ini, total kematian akibat COVID-19 (semua kelompok usia) sudah menembus jumlah 100.000. Kementerian Kesehatan per Rabu (4/8) mencatat total kematian menjadi 100.636.
Kisah kematian bayi dan ibu hamil, plus data tentang total kematian itu, mestinya memberi pemahaman yang lebih tentang urgensi kepatuhan pada prokes. Ancaman COVID-19 itu nyata, dan cara menghindarinya hanya patuh dan melaksanakan prokes. Bayi dan ibu hamil selalu berdiam di rumah. Siapa yang paling potensial menularkan COVID-19 kepada mereka? Sudah pasti mereka yang datang atau kembali ke rumah setelah beraktivitas di luar dengan tidak mematuhi prokes.
Sejak Pandemi COVID-19 gelombang pertama hingga kini, prokes di Indonesia tidak pernah diatur melalui kebijakan penguncian total atau lockdown, melainkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Dan, yang terkini adalah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Dalam konteks memerangi penularan virus yang tidak terdeteksi mata manusia, kebijakan PPKM itu masuk kategori pendekatan lunak. Beda dengan lockdown yang dirasakan sangat ekstrem.
Kini, setelah begitu banyak kisah tentang tragedi kematian akibat COVID-19 di dalam negeri, masih ada komunitas yang bersuara lantang menentang atau menolak PPKM. Ada komunitas terpelajar yang ingin berdemonstrasi di Istana Negara menentang PPKM. Ada pula komunitas pekerja yang juga berniat melakukan unjuk rasa menolak PPKM.
Kegiatan unjuk rasa memang tidak diharamkan. Namun, ketika unjuk rasa dilakukan di tengah pandemi yang mengharuskan semua orang melaksanakan prokes, apakah kegiatan seperti itu masuk akal sehat? Karena unjuk rasa itu sudah diniatkan, berarti kelompok atau komunitas pengunjuk rasa itu memiliki persepsi yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan tentang ancaman pandemi COVID-19. Bagaimana penjelasan mereka tentang kematian lebih dari 100.000 jiwa akibat terinfeksi COVID-19?
Kalau para pengunjuk rasa menolak PPKM, idealnya mereka menyiapkan dan menyodorkan rekomendasi tentang strategi lain yang efektif untuk menekan dan memutus rantai penularan COVID-19. Sayangnya, sejauh yang diketahui publik, mereka hanya menolak PPKM tapi tidak memberi solusi. Bagi pihak lain yang antusias merekomendasikan kebijakan lockdown, seharusnya rekomendasi itu juga disertai kalkulasi dampak negatif atau ekses dari lockdown.
Memang nyata dan tak terbantahkan juga bahwa PPKM menyebabkan sebagian masyarakat merasa dirugikan, karena kegiatan produktif mereka harus dihentikan atau dikurangi. Namun, PPKM dan prokes di tengah krisis kesehatan sekarang harus diterapkan demi keselamatan semua orang dan semua keluarga.
Dan, demi keselamatan semua orang itulah ego kelompok, ego komunitas, ego sektoral atau ego oposisi untuk menolak PPKM dengan kegiatan unjuk rasa di ruang publik tidak bisa diterima. Silakan bersikap dan bersuara menolak PPKM, tetapi penolakan itu tidak harus diwujudkan dalam bentuk kerumunan orang atau pengerahan massa.
Jutaan orang dan keluarga saat ini menderita karena kematian dan ancaman COVID-19. Mereka yang menderita lebih memerlukan empati dan pertolongan ala kadarnya. Mereka dan semua elemen masyarakat lainnya tidak ingin penderitaan saat ini dimanfaatkan sebagai sarana memperjuangkan ego kelompok dengan argumen basa-basi menolak PPKM.
Pada pekan pertama Agustus 2021, Satuan Tugas Penanganan COVID-19, melaporkan bahwa tingkat keterisian tempat tidur isolasi atau bed occupancy ratio (BOR) menurun. Ini menjadi indikator turunnya kasus positif COVID-19 di dalam negeri. Penurunan BOR dan kasus aktif secara bersamaan terjadi di 14 provinsi, antara lain Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Dalam skala nasional, BOR per minggu sempat mencapai 77,07 persen pada 11 Juli 2021. Namun, pada pekan terakhir, BOR turun menjadi 61,95 persen. Kecenderungan itu sejalan dengan penurunan kasus aktif. Saat meresmikan Rumah Sakit Modular Pertamina di Jakarta pada Jumat (6/8), Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa data resmi telah menunjukkan pandemi COVID-19 di Jawa dan di Bali mulai menunjukkan kecenderungan menurun.
Keberhasilan menekan jumlah kasus di Jawa-Bali itu tak lepas dari keberanian pemerintah menerapkan kebijakan PPKM. Memang, PPKM itu kebijakan populis yang pastinya tidak popular untuk semua kalangan. Namun, kebijakan populis yang tidak popular ini harus diambil demi keselamatan semua orang dan semua keluarga.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Universitas Terbuka
Agar tidak terpapar, semua orang, termasuk pelajar sekalipun, didorong membatasi kegiatan dan mobilitasnya. Maka, ketika ada komunitas yang lebih mengedepankan ego kelompok dengan melanggar ketentuan tentang pembatasan kegiatan masyarakat di tengah pandemi, mereka otomatis menjadi ancaman bagi orang lain di sekitarnya, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Siapa saja yang beraktivitas di luar rumah dengan tidak mematuhi protokol kesehatan (prokes), dia berpotensi menjadi sumber klaster keluarga ketika kembali ke rumah. Dan, sudah ada banyak contoh kasus yang berkisah tentang akibat fatal karena mereka yang tidak peduli pada prokes semasa Pandemi COVID-19 sekarang ini. Patut untuk disadari bahwa ketidakpedulian pada prokes justru menjadi ancaman mematikan anggota keluarga.
Di Jakarta, pada pekan kedua Juni 2021, seorang bayi usia 29 hari terpapar COVID-19 dan meninggal. Bayi mungil itu terpapar setelah dikunjungi keluarga besarnya. Di Sukabumi, bayi perempuan yang dilahirkan 8 Juli 2021 meninggal dunia pada 9 Juli 2021 setelah terkonfirmasi positif COVID-19, karena tertular dari ibunya yang pasien positif COVID-19. Dua contoh kasus ini sudah lebih dari cukup untuk mewakili kisah pilu lainnya yang nyaris sama dan telah terjadi di banyak tempat.
Di Kabupaten Blitar misalnya, ada 10 bayi yang lahir di RSUD Ngudi Waluyo kehilangan ibu mereka yang meninggal karena terinfeksi COVID-19. Dalam kurun Januari-Juli 2021, sebanyak 15 ibu hamil meninggal karena COVID-19 saat dirawat di RSUD Ngudi Waluyo.
Pertengahan Juni 2021, Satgas Penanganan COVID-19 mengungkap fakta bahwa 1,2 persen anak usia di bawah 18 tahun di Indonesia meninggal akibat virus corona. Jika mengacu pada data kumulatif kasus kematian saat itu, 1,2 persen itu ekivalen 630 anak Indonesia. Rinciannya 0,6 persen kelompok usia 0-5 tahun dan 0,6 persen lainnya kelompok usia 5-18 tahun. Data ini menjelaskan bahwa angka kematian balita terpapar COVID-19 lebih tinggi dari anak usia lain. Hingga pekan pertama Agustus 2021 ini, total kematian akibat COVID-19 (semua kelompok usia) sudah menembus jumlah 100.000. Kementerian Kesehatan per Rabu (4/8) mencatat total kematian menjadi 100.636.
Kisah kematian bayi dan ibu hamil, plus data tentang total kematian itu, mestinya memberi pemahaman yang lebih tentang urgensi kepatuhan pada prokes. Ancaman COVID-19 itu nyata, dan cara menghindarinya hanya patuh dan melaksanakan prokes. Bayi dan ibu hamil selalu berdiam di rumah. Siapa yang paling potensial menularkan COVID-19 kepada mereka? Sudah pasti mereka yang datang atau kembali ke rumah setelah beraktivitas di luar dengan tidak mematuhi prokes.
Sejak Pandemi COVID-19 gelombang pertama hingga kini, prokes di Indonesia tidak pernah diatur melalui kebijakan penguncian total atau lockdown, melainkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Dan, yang terkini adalah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Dalam konteks memerangi penularan virus yang tidak terdeteksi mata manusia, kebijakan PPKM itu masuk kategori pendekatan lunak. Beda dengan lockdown yang dirasakan sangat ekstrem.
Kini, setelah begitu banyak kisah tentang tragedi kematian akibat COVID-19 di dalam negeri, masih ada komunitas yang bersuara lantang menentang atau menolak PPKM. Ada komunitas terpelajar yang ingin berdemonstrasi di Istana Negara menentang PPKM. Ada pula komunitas pekerja yang juga berniat melakukan unjuk rasa menolak PPKM.
Kegiatan unjuk rasa memang tidak diharamkan. Namun, ketika unjuk rasa dilakukan di tengah pandemi yang mengharuskan semua orang melaksanakan prokes, apakah kegiatan seperti itu masuk akal sehat? Karena unjuk rasa itu sudah diniatkan, berarti kelompok atau komunitas pengunjuk rasa itu memiliki persepsi yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan tentang ancaman pandemi COVID-19. Bagaimana penjelasan mereka tentang kematian lebih dari 100.000 jiwa akibat terinfeksi COVID-19?
Kalau para pengunjuk rasa menolak PPKM, idealnya mereka menyiapkan dan menyodorkan rekomendasi tentang strategi lain yang efektif untuk menekan dan memutus rantai penularan COVID-19. Sayangnya, sejauh yang diketahui publik, mereka hanya menolak PPKM tapi tidak memberi solusi. Bagi pihak lain yang antusias merekomendasikan kebijakan lockdown, seharusnya rekomendasi itu juga disertai kalkulasi dampak negatif atau ekses dari lockdown.
Memang nyata dan tak terbantahkan juga bahwa PPKM menyebabkan sebagian masyarakat merasa dirugikan, karena kegiatan produktif mereka harus dihentikan atau dikurangi. Namun, PPKM dan prokes di tengah krisis kesehatan sekarang harus diterapkan demi keselamatan semua orang dan semua keluarga.
Dan, demi keselamatan semua orang itulah ego kelompok, ego komunitas, ego sektoral atau ego oposisi untuk menolak PPKM dengan kegiatan unjuk rasa di ruang publik tidak bisa diterima. Silakan bersikap dan bersuara menolak PPKM, tetapi penolakan itu tidak harus diwujudkan dalam bentuk kerumunan orang atau pengerahan massa.
Jutaan orang dan keluarga saat ini menderita karena kematian dan ancaman COVID-19. Mereka yang menderita lebih memerlukan empati dan pertolongan ala kadarnya. Mereka dan semua elemen masyarakat lainnya tidak ingin penderitaan saat ini dimanfaatkan sebagai sarana memperjuangkan ego kelompok dengan argumen basa-basi menolak PPKM.
Pada pekan pertama Agustus 2021, Satuan Tugas Penanganan COVID-19, melaporkan bahwa tingkat keterisian tempat tidur isolasi atau bed occupancy ratio (BOR) menurun. Ini menjadi indikator turunnya kasus positif COVID-19 di dalam negeri. Penurunan BOR dan kasus aktif secara bersamaan terjadi di 14 provinsi, antara lain Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Dalam skala nasional, BOR per minggu sempat mencapai 77,07 persen pada 11 Juli 2021. Namun, pada pekan terakhir, BOR turun menjadi 61,95 persen. Kecenderungan itu sejalan dengan penurunan kasus aktif. Saat meresmikan Rumah Sakit Modular Pertamina di Jakarta pada Jumat (6/8), Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa data resmi telah menunjukkan pandemi COVID-19 di Jawa dan di Bali mulai menunjukkan kecenderungan menurun.
Keberhasilan menekan jumlah kasus di Jawa-Bali itu tak lepas dari keberanian pemerintah menerapkan kebijakan PPKM. Memang, PPKM itu kebijakan populis yang pastinya tidak popular untuk semua kalangan. Namun, kebijakan populis yang tidak popular ini harus diambil demi keselamatan semua orang dan semua keluarga.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Universitas Terbuka