Jayapura (ANTARA) - Pagi itu, Rabu (13/10) langit tampak berawan, lama kelamaan terlihat mendung, udara dingin pun serasa menusuk sukma. Jam di tangan menunjukkan baru pukul 05.58 waktu Papua.

Setelah menembus dinginnya angin pagi di Kota Jayapura dengan menggunakan kendaraan roda dua, sekitar 25 menit tibalah penulis di titik pendaratan  cabang olahraga paralayang yang berada di kawasan Kolam Buaya Entrop.

Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua khususnya untuk arena cabang olahraga paralayang berada di dua lokasi yakni tempat "take off" yang berada di Kampung Buton dan mendarat atau "landing" di kawasan Kolam Buaya Entrop.

Pada tempat mendarat, tenda-tenda putih yang sehari sebelumnya ramai dengan panitia penyelenggara, ofisial dan atlet paralayang, pagi itu kosong dan sepi. Cabang paralayang memang telah menyelesaikan seluruh pertandingan.

Rasa was-was juga menghampiri penulis mengingat kondisi sepi dan masih pagi, beruntung sesekali warga yang tinggal di sekitar arena paralayang menyapa dengan ramah.

"Selamat pagi kaka, permisi sa ambil kantong ini buat minyak tanah eee," kata Ida, salah satu warga sekitar arena paralayang, sembari menunjukkan bungkusan plastik yang dipungutnya.

Setelah berbincang hampir sekitar lima menit, Ida pun bergegas pulang dengan bawaannya dan penulis akhirnya mencoba duduk di salah satu tenda dengan kursi yang terbuka menunggu beberapa rekan wartawan yang rencananya akan "terbang" bersama salah satu atlet paralayang berlisensi.

Adrenalin mulai naik

Setelah menunggu hingga pukul 09.14 waktu Papua dan mengamati keadaan cuaca yang tadinya mendung berawan, akhirnya berangsur cerah dengan kemunculan angin "tipis-tipis".

Yang ditunggu penulis pun tiba, selain beberapa rekan wartawan, Ketua Paralayang Indonesia Wahyu Yudha tiba dengan mobil double cabin Hilux hantarannya.

Bertegur sapa sambil bersama-sama mengecek kondisi angin dengan melihat petunjuk berupa alat yang dikibarkan di ujung pohon, penulis bersiap-siap untuk melakukan "terbang" perdana.

Suasana angin "tipis-tipis" pun tiba-tiba terasa panas, adrenalin penulis nampaknya mulai naik. Degupan jantung yang tadinya "biasa saja", kini menjadi kencang seperti usai berlari jarak jauh.

Sesekali harus menarik nafas panjang ketika "Hilux" yang ditumpangi penulis mulai menanjak jalan menuju tempat "take off" yang berada di atas Kampung Buton.

Iya, kondisi jalan yang menanjak dan masih berupa tanah serta pasir membuat perjalanan menuju "terbang" semakin terasa menegangkan.

"Ayo mulai diatur nafasnya dan disiapkan tubuhnya supaya tidak kaget," ujar Wahyu Yudha sambil tersenyum di dalam kendaraan roda empat yang ditumpangi penulis.

Sesampainya di lokasi "take off", setelah turun dari kendaraan roda empat, penulis masih harus mendaki sekitar 20 anak tangga menuju puncaknya di bukit.

Angin dan panas matahari mulai menyapa tanpa jeda, rasanya adrenalin itu sudah berada di ujung ubun-ubun.

Namun, hamparan perumahan, indahnya Jembatan Holtekamp, Kampung Tobati Enggros yang terlihat dari puncak bukit tempat "take off" tersebut tak kalah menciptakan senyum bahagia di raut muka penulis yang awalnya sempat merasa takut untuk "terbang".

Kemudian, penulis mulai dipakaikan perlengkapan "terbang" oleh salah satu atlet yang menunggu rekan sejawatnya dalam perjalanan ke tempat "take off".

Keindahan alam dari atas pun, tiba-tiba tergantikan dengan pemandangan landasan "take off" berkarpet putih yang menukik ke bawah, di mana ada jurang di sana.

"Nanti lari saja terus, jangan berhenti, angin akan mengangkat pelan-pelan dengan sendirinya," ujar Wahyu lagi.

Dan ... aarrrrggghhh ... setelah puas berteriak sambil berlari, penulis baru menyadari kalau sepasang kakinya sudah tidak lagi menyentuh tanah.

Sepasang kaki tersebut telah tergantung di atas angin bersama instruktur yang juga atlet paralayang berlisensi. Di bawahnya Kota Jayapura nampak semakin indah.

Penulis masih merasa takjub dengan pengalaman terbang perdana menggunakan parasut paralayang. Rasa ketakutan terkalahkan dengan pemandangan elok nan cantik dan segarnya angin yang menerpa kulit.

Akhirnya benar-benar terbang

Dibutuhkan waktu sekitar satu menit untuk dapat kembali "normal" dari serangan panik ketika berlari menukik dari tempat "take off".

Dan kala itu, penulis mulai membiasakan diri dengan tubuh yang tergantung sepenuhnya pada seorang instruktur berlisensi dan parasut paralayang.

Tangan yang tadinya berpegangan kencang dan kaku pada tali parasut, kini sudah dapat agak lemas. Perlahan penulis membuka tas yang berada di bagian depannya untuk mengeluarkan kamera telepon seluler.

Cekrak cekrek .. penulis mulai mengabadikan momen "terbang"nya dengan foto dan video sambil sesekali mengajak berbincang sang instruktur.

Wahyu Yudha yang telah 3000 kali melakukan terbang tandem sejak 1995 kali ini membawa penulis benar-benar "terbang".

Wahyu yang memulai karier sebagai atlet paralayang dimulai sejak 1991, saat ini memegang lisensi  bernomor 003.

Parasut tandem sendiri dimulai pada 1995. Kala itu, para atlet hanya mengajak keluarga dan teman saja untuk terbang bersama.

Semakin lama, akhirnya banyak masyarakat umum yang juga diajak terbang tandem dengan parasut paralayang tersebut.

Dari sekian banyak langit yang pernah dicobainya terbang, Wahyu menyebut milik Papua adalah yang teristimewa.

Pasalnya, sejak pukul 09.00 waktu Papua, thermal untuk terbang sudah ada dengan kecepatan angin berkisar 5-15 kilo meter per jam di mana ini adalah angin ideal untuk paralayang.

"Di tempat lain, pukul 12.00 atau 13.00 baru thermalnya keluar sehingga atlet mulai terbang," katanya.

Apalagi arena paralayang di Kota Jayapura-Papua sangat bagus dengan ketinggian 370 meter. Hal ini menjadikan lokasi tersebut semakin ideal untuk dijadikan salah satu spot pariwisata.

Jika arenanya ke depan diperbaiki maka bisa jadi, lokasi tersebut mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kota Jayapura bahkan Papua.


 

Pewarta : Hendrina Dian Kandipi
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024