Jayapura (ANTARA) - Kantor Staf Presiden (KSP) menggelar bincang-bincang dengan media massa di Papua terkait komitmen Presiden Joko Widodo untuk membangun sumber daya manusia (SDM) penyandang disabilitas Bumi Cenderawasih.
Selain awak media di Papua, bincang-bincang tersebut dihadiri Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, Wakil Sekretaris Jenderal NPC Indonesia Rima Ferdianto, Tenaga Ahli Utama KSP Widiarsi Agustina dan Tenaga Ahli Tim Hukum dan HAM KSP Sunarman Sukamto.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani di Jayapura, Rabu, mengatakan dalam diskusi ini ada "sharing" terkait isu disabilitas dan berkaitan dengan pelaksanaan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI.
"Ada banyak sekali narasi, diksi, pilihan kata yang penting untuk diketahui rekan-rekan jurnalis apakah boleh atau tidak, bisa atau tidak digunakan," katanya.
Menurut Jaleswari, dengan adanya isu disabilitas maka ada hal-hal yang tidak bisa digeneralisir atau disamakan ukuran-ukuran bakunya tentang peliputan non disabilitas.
"Hal-hal inilah yang membuat Peparnas ini menjadi unik dan kemudian membedakan dengan PON di mana tidak hanya bicara soal prestasi serta aksesibilitas namun humanity atau kemanusiaan juga kepedulian," ujarnya.
Dia menjelaskan sehingga dengan adanya ini, sensitivitas jurnalis perlu diperhatikan juga baik dalam peliputan maupun penulisan berita.
Sementara itu, Tenaga Ahli Tim Hukum dan HAM KSP Sunarman Sukamto mengatakan terkait etika berinteraksi dengan penyandang disabilitas, untuk penyebutan, jurnalis agar menggunakan penyebutan yang tepat yakni penyandang disabilitas sesuai UU Nomor 8 Tahun 2016 atau difabel yang lebih mengedepankan perbedaan kemampuan (bukan fokus ketidakmampuan).
Demikian pula dengan penyebutan ragam disabilitas yakni Disabilitas Fisik, Disabilitas Sensorik, Disabilitas Mental, dan Disabilitas Intelektual.
"Untuk menyebut orang yang bukan penyandang disabilitas gunakan terminologi non disabilitas atau non difabel, hindari menggunakan terminologi orang normal, orang sehat, orang tidak berkekurangan," kata Sunarman yang akrab disapa Maman.
Dia menambahkan untuk memberitakan penyandang disabilitas hindari menyatakan "meskipun penyandang disabilitas, tetapimampu berprestasi", pasalnya, ini terkesan yang bisa berprestasi hanya non penyandang disabilitas.
"Padahal atlet penyandang disabilitas bisa berprestasi dan patut diapresiasi yang sama dengan non penyandang disabiiitas sehingga tidak perlu bandingkan," ujarnya.
Sementara itu, salah satu jurnalis dari media lokal di Papua Qadri Pratiwi mengatakan bincang-bincang seperti ini memberikan banyak pengetahuan baru, khususnya terkait peliputan atlet penyandang disabilitas dalam ajang Peparnas XVI Papua.
"Dengan tukar pendapat dan sharing yang dilakukan, ada hal-hal baru yang diperoleh sehingga dalam peliputan Peparnas dapat lebih memantapkan kualitas yang dimiliki masing-masing jurnalis," katanya.
Selain awak media di Papua, bincang-bincang tersebut dihadiri Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, Wakil Sekretaris Jenderal NPC Indonesia Rima Ferdianto, Tenaga Ahli Utama KSP Widiarsi Agustina dan Tenaga Ahli Tim Hukum dan HAM KSP Sunarman Sukamto.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani di Jayapura, Rabu, mengatakan dalam diskusi ini ada "sharing" terkait isu disabilitas dan berkaitan dengan pelaksanaan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI.
"Ada banyak sekali narasi, diksi, pilihan kata yang penting untuk diketahui rekan-rekan jurnalis apakah boleh atau tidak, bisa atau tidak digunakan," katanya.
Menurut Jaleswari, dengan adanya isu disabilitas maka ada hal-hal yang tidak bisa digeneralisir atau disamakan ukuran-ukuran bakunya tentang peliputan non disabilitas.
"Hal-hal inilah yang membuat Peparnas ini menjadi unik dan kemudian membedakan dengan PON di mana tidak hanya bicara soal prestasi serta aksesibilitas namun humanity atau kemanusiaan juga kepedulian," ujarnya.
Dia menjelaskan sehingga dengan adanya ini, sensitivitas jurnalis perlu diperhatikan juga baik dalam peliputan maupun penulisan berita.
Sementara itu, Tenaga Ahli Tim Hukum dan HAM KSP Sunarman Sukamto mengatakan terkait etika berinteraksi dengan penyandang disabilitas, untuk penyebutan, jurnalis agar menggunakan penyebutan yang tepat yakni penyandang disabilitas sesuai UU Nomor 8 Tahun 2016 atau difabel yang lebih mengedepankan perbedaan kemampuan (bukan fokus ketidakmampuan).
Demikian pula dengan penyebutan ragam disabilitas yakni Disabilitas Fisik, Disabilitas Sensorik, Disabilitas Mental, dan Disabilitas Intelektual.
"Untuk menyebut orang yang bukan penyandang disabilitas gunakan terminologi non disabilitas atau non difabel, hindari menggunakan terminologi orang normal, orang sehat, orang tidak berkekurangan," kata Sunarman yang akrab disapa Maman.
Dia menambahkan untuk memberitakan penyandang disabilitas hindari menyatakan "meskipun penyandang disabilitas, tetapimampu berprestasi", pasalnya, ini terkesan yang bisa berprestasi hanya non penyandang disabilitas.
"Padahal atlet penyandang disabilitas bisa berprestasi dan patut diapresiasi yang sama dengan non penyandang disabiiitas sehingga tidak perlu bandingkan," ujarnya.
Sementara itu, salah satu jurnalis dari media lokal di Papua Qadri Pratiwi mengatakan bincang-bincang seperti ini memberikan banyak pengetahuan baru, khususnya terkait peliputan atlet penyandang disabilitas dalam ajang Peparnas XVI Papua.
"Dengan tukar pendapat dan sharing yang dilakukan, ada hal-hal baru yang diperoleh sehingga dalam peliputan Peparnas dapat lebih memantapkan kualitas yang dimiliki masing-masing jurnalis," katanya.