Jayapura (ANTARA) - Boven Digoel, salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang memiliki banyak potensi sumber daya alam, mulai dari hasil sungai hingga hutannya. Ibu Kotanya terletak di Tanah Merah, dengan jumlah penduduk yakni 64.524 jiwa.

Sebagai wilayah baru, daerah baru yang dibentuk dengan UU RI Nomor 26/2002, sebagai hasil pemekaran dari Merauke, bersamaan dengan sejumlah kabupaten lain di bagian selatan, yakni Asmat dan Mappi pada 25 Oktober 2002.

Kabupaten ini sebagian besar wilayahnya berada pada ketinggian 25–100 meter di atas permukaan laut.

Boven Digoel berbatasan dengan Asmat di utara, lalu Pegunungan Bintang di timur, kemudian negara Papua Nugini (PNG) dan Merauke di selatan selanjutnya Mappi di barat.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kabupaten Boven Digoel dikenal dengan sebutan "Digul Atas" yang terletak di tepi Sungai Digul Hilir.

Daerah seluas 10.000 hektare itu berawa-rawa, berhutan lebat dan sama sekali terasing. Satu-satunya akses ialah menggunakan kapal motor melalui Sungai Digoel.

Yowakim Mukri, juru mudi "speedboat" di Sungai Digoel mengatakan Tanah Tinggi merupakan salah satu tempat yang dilewati jika hendak menuju Kouh, distrik yang kini menjadi lokasi pembuatan minyak lawang.

"Banyak cerita yang bisa kami ceritakan kepada tamu dari luar Boven Digoel jika melintas di Sungai Digoel melewati Tanah Tinggi," katanya sambil mengemudikan speedboat sambil ditemani anak keempatnya Paskalis Mukri.

Bagi Yowakim, Sungai Digoel merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarganya karena dapat mengais rejeki melalui pekerjaannya sebagai seorang juru mudi speedboat.

Selain itu, jalur Sungai Digoel merupakan salah satu rute perjalanan yang harus digunakan oleh warga untuk dapat tiba di tempat tujuannya masing-masing.

Untuk dapat tiba di Distrik Kouh, hanya bisa ditempuh menggunakan speedboat, longboat atau ketinting selama kurang lebih delapan jam perjalanan pulang dan pergi.

Kali atau Sungai Digoel diperkirakan memiliki panjang 180 kilo meter, lebar mencapai 300-900 meter, dengan kedalaman bervariasi antara enam hingga 28 meter.

Potensi kayu lawang

Di Distrik Kouh, Kabupaten Boven Digoel terdapat tiga kampung yakni Mandobo, Kouh dan Jair. Pada salah satu kampung ini, warga setempat yang tergabung dalam Kelompok Tani Fina Fenandi berhasil memroduksi minyak lawang khas Boven Digoel.

Kelompok Tani Fina Fenandi ini merupakan masyarakat yang dibina dan didampingi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit 53 Boven Digoel bekerja sama dengan Yayasan EcoNusa Indonesia.

KPHP sebagai salah satu UPTD Dinas Kehutanan Provinsi Papua memberikan pendampingan bagi masyarakat untuk mengelola potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di wilayah setempat.

Kepala KPHK 53 Boven Digoel Ade John Moesieri mengatakan pihaknya memprioritaskan pengelolaan hutan bersama masyarakat melalui program pemberdayaan di dalam dan sekitar kawasan hutan guna mengelola potensi HHBK yang salah satunya kini sedang didampingi yakni produksi minyak lawang Fina Fenandi di Distrik Kouh.

Menurut John, masih banyak hal yang perlu dibenahi dan tingkatkan dalam proses dan mekanisme produksi minyak kayu lawang, agar dapat memenuhi standarisasi produksi maupun pemasaran yang telah diwajibkan oleh regulasi atau perizinan produk di Indonesia.

KPHP Unit 53 Boven Digoel dalam perencanaan program dan kegiatan ke depan, mengupayakan pemantapan, peningkatan sarana prasarana produksi, perizinan atau legalitas produk pada pasar modern dan budidaya jenis kayu lawang atau yang dikenal dengan nama ilmiah "cinnamomum cullilawang" serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok, untuk mengelola serta memproduksi juga memasarkan produk tersebut secara profesional.

"Artinya jika ada produk maka kami juga harus siap pasar, dan itu menjadi tugas tanggung jawab pemerintah sebagai drive perencanaan kebijakan serta pelaksana program pemberdayaan masyarakat," kata John.

Sebagaimana umumnya dalam kegiatan produksi minyak kayu lawang tersebut, KPHP 53 Boven Digoel bermitra dengan Yayasan EcoNusa Indonesia untuk memfasilitasi Kelompok Tani Hutan Fina Fenandi mengelola potensi HHBK yang dimiliki.

Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Hutan Fina Fenandi Fayaho Kwanimba mengatakan produksi minyak lawang yang dibuat oleh masyarakat di Distrik Kouh awalnya menggunakan alat-alat tradisional seadanya.

Beberapa hal yang melatarbelakangi dirinya bersama anggota kelompoknya memproduksi minyak lawang adalah besarnya potensi hutan di Boven Digoel namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Di mana, ternyata setelah dapat memproduksi dapat memunculkan inovasi-inovasi lainnya dalam memanfaatkan hasil hutan di sekitarnya.

"Dulu awalnya jika hendak produksi minyak lawang harus menebang pohon dari kayu lawang tersebut, kini kami hanya perlu mengiris kulit pohonnya saja atau melukai kambiumnya sehingga masih dapat hidup tanamannya," kata Fayaho sembari menunjukkan jenis kayu lawang yang digunakan untuk menghasilkan minyak.

Fayaho dan masyarakat lain memperoleh pembinaan dan pendampingan dari KPHP Boven Digoel terkait cara memanfaatkan hasil hutan bukan kayu yang ada di wilayah sekitarnya. Untuk proses pembuatan, pengemasan hingga pemasaran selain KPHP, EcoNusa juga turut mendukung dengan memberikan peralatan modern misalnya mesin cacah kayu atau contoh desain kemasannya.

"Kami memilih kayu lawang untuk dijadikan minyak karena di wilayah Distrik Kouh banyak ditumbuhi pohonnya, selain itu, warga sekitar juga sudah mengenal dengan baik kegunaan dari minyak lawang yang diproduksi," katanya.

Minyak lawang adalah jenis obatan luar yang dihasilkan dari kandungan minyak pada kulit kayu lawang (cinnamomum cullilawang) yang berkhasiat untuk meredakan rematik, pegal-pegal, asam urat, mempercepat penyembuhan luka luar, sakit perut, keseleo dan lain sebagainya. Di mana minyak ini dihasilkan dari penyulingan secara tradisional oleh masyarakat di kampung.

"Minyak lawang khas Boven Digoel milik kami ini sudah sempat kami coba pasarkan ketika pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Kabupaten Merauke dan ternyata peminatnya banyak," katanya.

Dengan adanya kemitraan antara KPHP dan EcoNusa akhirnya dapat mendukung semakin berkembangnya produksi minyak lawang dengan tetap mempertahankan hutan di sekitarnya namun juga memberikan kesejahteraan bagi warga setempat.

Meskipun masih terkendala rumah produksi minyak lawang yang ideal, pihaknya tidak patah semangat dan tetap berusaha.


Memanfaatkan Sungai Digoel

Setelah minyak lawang, Boven Digoel masih memiliki potensi lain yakni ikan air tawar di Sungai atau Kali Digoel. Potensi agrofishery yang dilirik KPHP Boven Digoel ternyata jatuh pada ikan mujair (oreochromis mossambicus) dan ikan gabus (channa striata).

Dari potensi agrofishery ini, akhirnya KPHP kembali menjalin kerja sama dengan EcoNusa untuk memproduksi abon berbahan dasar ikan di Kampung Persatuan, Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel. Hadirlah produk Abon Ikan Wambon yang diproduksi oleh mama-mama di kampung setempat.

Kali ini, KPHP tidak hanya menggandeng EcoNusa, ada kolaborasi dengan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, Peternakan dan Perikanan juga mitra binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat sebagai pendamping masyarakat dalam memproduksi abon ikan tersebut.

"Kami mulai menekuni produksi abon ikan secara bertahap dan puji Tuhan hasilnya kini sudah dapat dinikmati," kata Ketua Kelompok Abon Ikan Wambon Ida Ngolongat.

Bagi Ida, dapat memimpin kelompoknya untuk memproduksi abon ikan sangatlah berkesan. Banyak kendala dalam mengkoordinir mama-mama lainnya.

Ida dan mama-mama dari Distrik Mandobo telah mampu menjual abon ikan produksi rumah tersebut, bahkan dalam ajang PON XX di Kabupaten Merauke, telah terjual cukup banyak.

"Dengan bantuan KPHP, abon ikan produksi kami juga dapat dibeli di Jayapura pada galeri Dinas Kehutanan dan itu sangat membuat bangga," katanya.

Potensi hasil hutan bukan kayu berupa mujair serta gabus memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

"Ikan mujair dan gabus ini ada di wilayah Sungai Digoel sehingga kami mengkategorikan sebagai HHBK bernilai ekonomis tinggi," kata Ketua KPHP John.

Yayasan EcoNusa Indonesia pun memberikan apresiasi terhadap upaya masyarakat dalam mengembangkan produksi minyak lawang yang dilakukan Kelompok Tani Fina Fenandi di Distrik Kouh dan Abon Ikan Wambon di Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel.

Senior Manajer Komunikasi Yayasan EcoNusa Indonesia Nina Nuraisyiah mengatakan kehadirannya untuk mendukung inisiatif baik dari masyarakat dan bervisi memastikan yang tinggal di sekitar hutan bisa sejahtera.

"Jika bicara konservasi tapi memarjinalkan masyarakat itu tidak masuk akal jadi kami memastikan masyarakat sejahtera dulu," katanya.





 


Pewarta : Hendrina Dian Kandipi
Editor : Editor Papua
Copyright © ANTARA 2024