Jayapura (ANTARA) - Dewan Pers menyebut menyampaikan nilai Indeks Kebebasan Pers (IKP) 2021 Provinsi Papua berada dalam kategori "agak bebas" dengan nilai 68,87.
"Nilai IKP tersebut menempatkan Provinsi Papua di ranking ke-33 dari 34 provinsi, dan mengalami penurunan 1,16 poin dibandingkan pada 2020 yakni 70,04," ungkap anggota Dewan Pers M Agung Darmajaya pada diskusi publik masa depan kebebasan Pers di Papua, Sabtu (29/1).
"Pada tahun 2020 IKP Provinsi Papua untuk kali pertama berada dalam kategori 'cukup bebas'," kata anggota Dewan Pers M Agung Darmajaya.
Disebut juga Agung bahwa lingkungan fisik dan politik tahun 2021 memiliki nilai 69,47. Nilai tertinggi ditempati indikator kebebasan media alternatif sebesar 79,88.
Sementara nilai terendah, menurut Agung, kesetaraan akses bagi kelompok rentan dengan nilai 73,81 poin.
"Adapun faktor yang mempengaruhi di antaranya masih rendahnya koordinasi serta pelayanan Pemda kepada wartawan," ujarnya. Pemda juga, lanjut Agung, tidak menyediakan ruang khusus wartawan.
Ia menambahkan, informasi tidak terbuka dan masih adanya kekerasan terhadap wartawan baik berupa intimidasi, teror, perusakan dan perampasan alat atau data liputan maupun kekerasan fisik.
"Sisi baiknya tahun ini semakin banyak pelatihan untuk wartawan yang diselenggarakan organisasi wartawan bekerja sama dengan LSM lokal," ujar Agung.
Sedangkan hal lain yang juga mendapat perhatian, lanjutnya, masalah kondisi lingkungan fisik dan politik tahun ini mendapat kategori "agak bebas".
"Nilai tertinggi ditempati indikator kebebasan media alternatif sebesar 79,88," ungkapnya. Untuk kondisi lingkungan ekonomi, menurut Agung, dengan nilai 71,59.
Nilai ini menempatkan ke dalam kategori "cukup bebas" dan skor nilai tertinggi ditempati indikator keberagaman kepemilikan 82,75.
"Sementara nilai terendah adalah tata kelola perusahaan dengan nilai yang baik 62,58," ujarnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi meliputi masih kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan perusahaan pers.
Diakuinya, untuk kondisi lingkungan ekonomi, menurut Agung, memiliki nilai 71,59 menempatkan dalam kategori cukup bebas.
Sementara nilai terendah adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan nilai 65,19. Pada kondisi lingkungan hukum, menurut Iwan, memiliki nilai 65,19 dengan kategori "agak bebas"
Untuk nilai tertinggi ditempati indikator kriminalisasi dan intimidasi pers dengan nilai 76,98.
Sementara indikator terendah sekaligus menempati kategori "kurang bebas" adalah perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas 41,75.
Agung mengakui, faktor yang mempengaruhi nilai diantaranya masih adanya intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap wartawan.
"Contoh adanya pengusiran terhadap wartawan yang sedang meliput. Suatu sisi masih ditemukan adanya kesalahan dalam pemberitaan karena lemahnya profesionalisme media," ujarnya.
Agung mengatakan, akibatnya ada 27 media siber dilaporkan ke Dewan Pers atas keluhan pemberitaan yang keliru.
"Sementara minimnya media menyediakan berita yang mudah dicerna penyandang disabilitas, salah satunya karena kendala SDM penerjemah bahasa isyarat serta tak semua disabilitas di Papua memahami bahasa isyarat," ujarnya.
Diskusi publik masa depan kebebasan Pers di Papua juga mendapat respon positif dari organisasi wartawan AJI, Kantor Staf Presiden, Komnas HAM, Penerangan Korem 172/PWY, bidang Humas Polda Papua serta tokoh agama dan perwakilan media.
"Nilai IKP tersebut menempatkan Provinsi Papua di ranking ke-33 dari 34 provinsi, dan mengalami penurunan 1,16 poin dibandingkan pada 2020 yakni 70,04," ungkap anggota Dewan Pers M Agung Darmajaya pada diskusi publik masa depan kebebasan Pers di Papua, Sabtu (29/1).
"Pada tahun 2020 IKP Provinsi Papua untuk kali pertama berada dalam kategori 'cukup bebas'," kata anggota Dewan Pers M Agung Darmajaya.
Disebut juga Agung bahwa lingkungan fisik dan politik tahun 2021 memiliki nilai 69,47. Nilai tertinggi ditempati indikator kebebasan media alternatif sebesar 79,88.
Sementara nilai terendah, menurut Agung, kesetaraan akses bagi kelompok rentan dengan nilai 73,81 poin.
"Adapun faktor yang mempengaruhi di antaranya masih rendahnya koordinasi serta pelayanan Pemda kepada wartawan," ujarnya. Pemda juga, lanjut Agung, tidak menyediakan ruang khusus wartawan.
Ia menambahkan, informasi tidak terbuka dan masih adanya kekerasan terhadap wartawan baik berupa intimidasi, teror, perusakan dan perampasan alat atau data liputan maupun kekerasan fisik.
"Sisi baiknya tahun ini semakin banyak pelatihan untuk wartawan yang diselenggarakan organisasi wartawan bekerja sama dengan LSM lokal," ujar Agung.
Sedangkan hal lain yang juga mendapat perhatian, lanjutnya, masalah kondisi lingkungan fisik dan politik tahun ini mendapat kategori "agak bebas".
"Nilai tertinggi ditempati indikator kebebasan media alternatif sebesar 79,88," ungkapnya. Untuk kondisi lingkungan ekonomi, menurut Agung, dengan nilai 71,59.
Nilai ini menempatkan ke dalam kategori "cukup bebas" dan skor nilai tertinggi ditempati indikator keberagaman kepemilikan 82,75.
"Sementara nilai terendah adalah tata kelola perusahaan dengan nilai yang baik 62,58," ujarnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi meliputi masih kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan perusahaan pers.
Diakuinya, untuk kondisi lingkungan ekonomi, menurut Agung, memiliki nilai 71,59 menempatkan dalam kategori cukup bebas.
Sementara nilai terendah adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan nilai 65,19. Pada kondisi lingkungan hukum, menurut Iwan, memiliki nilai 65,19 dengan kategori "agak bebas"
Untuk nilai tertinggi ditempati indikator kriminalisasi dan intimidasi pers dengan nilai 76,98.
Sementara indikator terendah sekaligus menempati kategori "kurang bebas" adalah perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas 41,75.
Agung mengakui, faktor yang mempengaruhi nilai diantaranya masih adanya intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap wartawan.
"Contoh adanya pengusiran terhadap wartawan yang sedang meliput. Suatu sisi masih ditemukan adanya kesalahan dalam pemberitaan karena lemahnya profesionalisme media," ujarnya.
Agung mengatakan, akibatnya ada 27 media siber dilaporkan ke Dewan Pers atas keluhan pemberitaan yang keliru.
"Sementara minimnya media menyediakan berita yang mudah dicerna penyandang disabilitas, salah satunya karena kendala SDM penerjemah bahasa isyarat serta tak semua disabilitas di Papua memahami bahasa isyarat," ujarnya.
Diskusi publik masa depan kebebasan Pers di Papua juga mendapat respon positif dari organisasi wartawan AJI, Kantor Staf Presiden, Komnas HAM, Penerangan Korem 172/PWY, bidang Humas Polda Papua serta tokoh agama dan perwakilan media.