Jakarta (ANTARA) - Bekas luka baik yang terlihat ataupun tertutup, sering kali mempengaruhi kepercayaan diri. Akan tetapi, kini ada solusi terbaru yang dapat menyamarkan dan menghaluskan bekas luka.

Hansaplast, sebagai merek pertolongan pertama menghadirkan Plester Bekas Luka. Plester transparan berperekat ini terbuat dari polyurethane, serta telah yang terbukti secara klinis membantu menyamarkan, mencerahkan dan menghaluskan tampilan bekas luka dalam 8 minggu pemakaian, di mana hasil pertama dapat terlihat setelah 3-4 minggu.

"Hansaplast Plester Bekas Luka dirancang untuk membangun penghalang semi-oklusif yang meningkatkan hidrasi jaringan parut. Plester ini dapat meningkatkan suhu di jaringan parut, membantu mengaktifkan proses regenerasi kulit, dan mendukung pembentukan ulang bekas luka. Bekas luka menjadi lebih rata, lebih cerah dan lebih halus," ujar Alanna Alia Hannantyas, brand manager Hansaplast dalam peluncuran "Plester Bekas Luka", Jumat.

Setiap luka perlu dirawat dan membutuhkan kelembaban untuk mempercepat proses penyembuhannya. Dokter Spesialis Kulit, dr. Nadia Wirantari, SpKK mengatakan penyembuhan luka merupakan proses yang alami, ada fase dan waktu yang dibutuhkan tubuh.

Dalam perawatan luka sendiri harus dijaga bersih dan lembap. Dibantu dengan nutrisi yang baik agar pemulihan cepat dan dapat menggunakan plester bekas luka untuk memperbaiki tampilan bekasnya.

"Plester bekas luka yang digunakan harus sesuai peruntukannya dengan keadaan luka, menempel dengan baik, nyaman dipakai, dan tidak menyebabkan iritasi/alergi," kata dr. Nadia.

Sementara itu, bersamaan dengan peluncuran Hansaplast Plester Bekas Luka, Hansaplast mengadakan kampanye #SetiapLukaPunyaCerita untuk mengajak para wanita khususnya para ibu untuk membangun kasih sayang antara ibu dan support system-nya dengan menghilangkan stigma mengenai operasi sesar, yang seringkali berujung kepada mom-shaming.

Psikolog Grace Eugenia Sameve, M.A, M.Psi menjelaskan, mom-shaming kerap terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap cara asuh yang dianggap benar.

Meskipun kerap terjadi secara online seperti di forum diskusi pola asuh, sebenarnya mom-shaming lebih rentan terjadi di lingkungan keluarga dan kerabat sendiri, interaksi umumnya lebih intens dan tak terhindari.

"Mom-shaming tidak selalu hadir dalam bentuk komentar yang tidak menyenangkan, namun seringkali juga dari pertanyaan yang tidak sengaja telah menghakimi pilihan seorang ibu seperti mengapa tidak bisa bersalin secara alami? Padahal, seorang ibu baru justru sedang sangat membutuhkan dukungan dari support system mereka dalam menjalani fase baru kehidupannya," kata Grace.
 

Pewarta : Maria Cicilia
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024