Jayapura (ANTARA) - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Papua mengharapkan adanya kolaborasi semua pihak baik pemerintah daerah maupun pemangku kepentingan lainnya untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan di Bumi Cenderawasih tersebut.
Ketua FJPI Papua Kornelia Mudumi dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jayapura, Rabu, mengatakan angka kekerasan terhadap perempuan di Papua seperti di Kabupaten Jayapura semakin meningkat sehingga diharapkan perlu ada kolaborasi semua pihak untuk bisa mengatasi masalah tersebut.
"Kami sangat berharap semua pihak tingkatkan kolaborasi guna mengatasi masalah kekerasan kepada perempuan di Kabupaten Jayapura," katanya dalam acara ngobrol pintar (Ngopi) bareng FJPI dengan tema "Perempuan Tanpa Kekerasan" di Sentani, Selasa (7/2).
Sekda Kabupaten Jayapura Hana Hikoyabi mengatakan pihaknya justru melihat tren kekerasan yang terjadi saat ini pelakunya juga seorang perempuan.
Dengan demikian kata dia, untuk meminimalisir kekerasan perempuan pihaknya meminta adanya sosialisasi di rumah ibadah seperti masjid dan gereja untuk secara terus-menerus diingatkan tak boleh melakukan kekerasan di dalam rumah tangga termasuk kepada perempuan dan anak.
"Tetapi juga diberikan pendidikan dari kurikulum muatan lokal di sekolah tentang bagaimana meminimalisir kekerasan sehingga bisa menciptakan sekolah ramah anak," katanya.
Sementara itu, Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jayapura Aipda Fransiska mengatakan pihaknya menerima laporan kekerasan selama 2022 sebanyak 53 kasus dan 30 kasus di antaranya korbannya adalah perempuan.
"Sementara untuk KDRT sepanjang 2022 jumlahnya tiga kasus di mana kebanyakan kekerasan ataupun penganiayaan yang dialami perempuan dilatarbelakangi tidak memiliki hubungan status pernikahan yang sah sehingga berimbas perempuan sebagai korban tidak dinafkahi hingga mengakibatkan penganiayaan," katanya.
Dia menjelaskan kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga juga dilatarbelakangi masalah pendidikan yang minim dan ekonomi hingga terjadi penganiayaan kepada perempuan.
"Kasus KDRT di Kabupaten Jayapura ada yang sudah masuk ke meja hijau (pengadilan)," ujarnya.
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) Jayapura Nona Duwila menyebutkan perempuan dan laki-laki hanya dibedakan dengan jenis kelamin sementara peranan dalam kehidupan sama.
Namun tren saat ini kata dia, justru dilihat dari sisi budaya di mana perempuan tak boleh melebihi laki-laki dan selalu dianggap rendah.
"Budaya patriarki ini selalu menimbulkan kekerasan karena masih kurangnya pemahaman gender, ketika perempuan tidak berdaya, tidak memiliki pekerjaan dan hal lainnya sehingga dilihat sebagai makhluk lemah tetapi perempuan harus lebih berdaya," katanya.
Ketua FJPI Papua Kornelia Mudumi dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jayapura, Rabu, mengatakan angka kekerasan terhadap perempuan di Papua seperti di Kabupaten Jayapura semakin meningkat sehingga diharapkan perlu ada kolaborasi semua pihak untuk bisa mengatasi masalah tersebut.
"Kami sangat berharap semua pihak tingkatkan kolaborasi guna mengatasi masalah kekerasan kepada perempuan di Kabupaten Jayapura," katanya dalam acara ngobrol pintar (Ngopi) bareng FJPI dengan tema "Perempuan Tanpa Kekerasan" di Sentani, Selasa (7/2).
Sekda Kabupaten Jayapura Hana Hikoyabi mengatakan pihaknya justru melihat tren kekerasan yang terjadi saat ini pelakunya juga seorang perempuan.
Dengan demikian kata dia, untuk meminimalisir kekerasan perempuan pihaknya meminta adanya sosialisasi di rumah ibadah seperti masjid dan gereja untuk secara terus-menerus diingatkan tak boleh melakukan kekerasan di dalam rumah tangga termasuk kepada perempuan dan anak.
"Tetapi juga diberikan pendidikan dari kurikulum muatan lokal di sekolah tentang bagaimana meminimalisir kekerasan sehingga bisa menciptakan sekolah ramah anak," katanya.
Sementara itu, Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jayapura Aipda Fransiska mengatakan pihaknya menerima laporan kekerasan selama 2022 sebanyak 53 kasus dan 30 kasus di antaranya korbannya adalah perempuan.
"Sementara untuk KDRT sepanjang 2022 jumlahnya tiga kasus di mana kebanyakan kekerasan ataupun penganiayaan yang dialami perempuan dilatarbelakangi tidak memiliki hubungan status pernikahan yang sah sehingga berimbas perempuan sebagai korban tidak dinafkahi hingga mengakibatkan penganiayaan," katanya.
Dia menjelaskan kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga juga dilatarbelakangi masalah pendidikan yang minim dan ekonomi hingga terjadi penganiayaan kepada perempuan.
"Kasus KDRT di Kabupaten Jayapura ada yang sudah masuk ke meja hijau (pengadilan)," ujarnya.
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) Jayapura Nona Duwila menyebutkan perempuan dan laki-laki hanya dibedakan dengan jenis kelamin sementara peranan dalam kehidupan sama.
Namun tren saat ini kata dia, justru dilihat dari sisi budaya di mana perempuan tak boleh melebihi laki-laki dan selalu dianggap rendah.
"Budaya patriarki ini selalu menimbulkan kekerasan karena masih kurangnya pemahaman gender, ketika perempuan tidak berdaya, tidak memiliki pekerjaan dan hal lainnya sehingga dilihat sebagai makhluk lemah tetapi perempuan harus lebih berdaya," katanya.