Jayapura (ANTARA) - Persoalan dan konflik agraria di Indonesia--dan secara khusus di Papua--hingga kini masih terus terjadi, seperti aksi pemalangan yang dilakukan masyarakat adat terhadap perkantoran maupun lembaga pendidikan.

Pemalangan tersebut terjadi karena masyarakat adat menganggap bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat  namun masyarakat juga tidak diberikan kepastian hukum yang jelas untuk membuktikannya dengan diberikan sertifikat.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut maka Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah melakukan upaya konkret, salah satunya  melakukan penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat dengan memberikan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL).

Guna memberi kepastian, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto belum lama ini menyerahkan sertifikat HPL masyarakat hukum adat Sawoi Hnya di Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua.

Penyerahan satu sertifikat bagi masyarakat hukum adat Sawoi Hnya dengan luas tanah 6.997.700 meter persegi atau 699,7 hektare.

Pemberian sertifikat HPL kepada masyarakat hukum adat agar ke depan tidak ada lagi konflik atau sengketa pertanahan karena sejak dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, Kementerian ATR/BPN hanya mengurusi tanah hak dan tanah negara.

Hal itu menegaskan negara mengakui hak adat dan Pemerintah melindungi serta menjamin kepastian hukum hak atas tanah masyarakat hukum adat dan melindungi kelestarian tanah ulayat.

Penyerahan sertifikat tanah hak ulayat masyarakat adat di Papua merupakan yang ke dua setelah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Persoalan agraria yang terjadi sebelumnya, ketika dikeluarkan Hak Guna Usaha (HGU), itu menumpang di tanah adat dan ketika Undang-Undang HGU selesai maka tanah adat sudah menjadi tanah negara.

"Sertifikat yang diberikan itu juga supaya masyarakat adat tidak perlu takut karena selama tanah itu tanah adat maka tidak perlu membayar pajak," kata Hadi.

Di Papua sendiri ada satu lembaga yakni Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) yang terus memantau di mana lokasi tanah adat yang kemudian akan dikombinasikan dengan pemerintah daerah setempat sehingga bisa dikeluarkan surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (perda) dan selanjutnya Kementerian ATR/BPN akan mengukur dan memberikan sertifikat.

Oleh karena itu, gugus tugas masyarakat adat itu diminta terus bekerja mencari tanah adat untuk kemudian disertifikatkan, tentu dengan sinergi dari pemerintah daerah setempat.

Reforma agraria konteks Papua

Penjabat Gubernur Papua Ridwan Rumasukun menyatakan penyerahan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) masyarakat hukum adat sebagai wujud bahwa negara hadir dalam rangka pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta sebagai pintu masuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Bumi Cenderawasih itu.

Untuk itu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua terus mendorong percepatan semangat afirmasi pelaksanaan reforma agraria dengan mempertimbangkan konteks Papua sebagaimana yang telah diinstruksikan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam kunjungannya di Papua pada 11 Oktober 2023.

Selain itu pemerintah daerah setempat akan terus mendorong hukum hak atas tanah melalui sertifikat hak atas tanah pendaftaran tanah ulayat sesuai hasil inventarisasi masyarakat hukum adat dan tanah adat ulayat yang ditetapkan pemerintah daerah.

Penyerahan sertifikat HPL kepada masyarakat hukum adat di Kabupaten Jayapura oleh Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto itu sejalan dengan semangat reforma agraria konteks Papua yang memerlukan pemahaman akan pola penguasaan lahan di masa lalu yang kurang memperhatikan hukum adat, kondisi sosial dan budaya, serta hubungan masyarakat adat yang unik.

Sebab ungkapan bahwa 'kayu yang paling mahal ada di Papua yaitu kayu Palang' yang banyak dipahami dari ungkapan tersebut salah satunya bahwa klaim adat di atas klaim atas tanah di Papua adalah persoalan yang sangat besar dan membutuhkan perhatian khusus.

Karena, hampir seluruh isu pertanahan di Papua menyangkut klaim masyarakat hukum adat yang ditandai dengan pemalangan di lokasi perkantoran pemerintah, pengadaan tanah bagi kepentingan umum, pemukiman, ladang, dan transmigran.

Berdasarkan permasalahan itu maka Pemprov Papua bersama Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua berkolaborasi melalui perjanjian kerja sama di bidang pertanahan mencakup penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan, pendaftaran tanah ulayat, pemberdayaan tanah masyarakat, percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) pertanahan.

Perjanjian kerja sama tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan tim terpadu fasilitasi penyelesaian sengketa, konflik, dan aset tanah Pemerintah.

Pembentukan tim tersebut menunjukkan Pemprov Papua siap mendukung dan bekerja sama serta akan berkolaborasi secara aktif bersama Kanwil BPN setempat demi menyukseskan program strategis nasional melalui percepatan pendaftaran tanah sistematis lengkap di Papua.

Kepala Suku Adat Sawoi Hnya, Marinus Nasatekai mengakui proses penerbitan HPL tanah ulayat masyarakat hukum adat telah melalui tahapan cukup panjang.

Meski demikian, dengan adanya pemberian sertifikat oleh pemerintah maka keberadaan masyarakat adat telah diakui sekaligus negara melindungi hak-hak adat.

Salah tujuan sertifikat HPL yang diterima masyarakat adat juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga ke depan tinggal bagaimana tanah tersebut dikelola dengan benar supaya masyarakat juga bisa diberdayakan.

Selama ini masyarakat adat memenuhi segala kebutuhan dengan peralatan sederhana sesuai dengan kemampuan fisik yang terbatas.

Dengan adanya sertifikat tersebut, ke depan      masyarakat dapat memperbaiki ekonomi mereka melalui mata pencaharian sehari-hari di Kampung Sawoy, yakni peternakan dan pertanian.

Setelah sertifikat HPL digenggam, pemerintah daerah punya tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan melalui kebijakan-kebijakan yang promasyarakat adat.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kehadiran negara melindungi tanah ulayat di Papua

Pewarta : Ardiles Leloltery
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024