Jayapura (ANTARA) - Tanah Papua memiliki beragam kuliner lokal yang layak untuk dicicipi. Beberapa makanan tersebut diolah dari bahan pangan khas wilayah timur Indonesia seperti sagu dan sayur lilin.
Dari bahan pangan sagu yang bernilai gizi tinggi, masyarakat Papua mengenal beberapa olahan di antaranya papeda dan sinole atau sagu bakar. Papeda biasa disebut bubur sagu yang disajikan dengan ikan kuah kuning.
Ada juga sayur lilin, sayuran sejenis tebu yang bisa langsung dimakan. Bentuknya seperti batang sereh namun ukurannya lebih besar dan yang digunakan memasak adalah bagian dalamnya yang menyerupai lilin.
Selain itu ada ikan gabus kuah hitam, keladi tumbuk, dan ikan asar atau ikan yang dimasak dengan diasap sehingga tahan lama.
Namun berbagai kuliner lokal tersebut mulai jarang ditemui karena bahan baku yang semakin langka.
Keinginan untuk melestarikan makanan lokal inilah yang mendorong seorang perempuan Papua, Usilina Epa, membangun bisnis kuliner yang menyediakan makanan lokal.
Usilina awalnya mendirikan rumah makan "Dapur Mama" di Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua. Namun bisnis yang dimulainya pada 2015 tersebut hanya bertahan satu bulan.
Tidak patah semangat, pada 2017 ia membuka kafe yang juga menghadirkan makanan lokal bernama “Sunshine Cafe and Library”. Menu utama yang disajikan adalah asella atau lebih dikenal dengan nama sinole alias dadar sagu.
Saat Sunshine Cafe and Library berusia lima tahun, Usilina membuka kembali rumah makan bernama "Isasai Restaurant" pada 2022 di belakang Expo, Kota Jayapura.
Restoran ini fokus menjual makanan khas Sentani yang mulai hilang. Jadi selain ubi-ubian, sinole dan papeda bungkus, restoran ini juga menyajikan menu ikan gabus asar santan serta kuah hitam.
"Biasanya di pasar Sentani orang menjual ikan gabus sudah diasap lalu tinggal beli dan masak di rumah namun kini sudah jarang," kata perempuan asal Sentani itu.
Usilina mengaku, saat membuka restoran ini ia tidak tahu seperti apa kiranya nanti penerimaan masyarakat karena konsep bisnisnya dianggap tidak lumrah. Namun setelah berjalan beberapa waktu, terbukti semakin banyak pelanggan yang datang baik dari Jayapura maupun luar kota. Para pelanggan itu mengaku sangat senang bisa mendapatkan makanan khas Papua dengan lebih mudah.
Kesulitan mendapatkan bahan baku masih menjadi masalah utama bagi restoran tersebut. Menurut Usilina menu makanan khas Papua sederhana hanya saja bahan baku mulai jarang ditanam, sehingga harganya menjadi mahal.
Butuh kerja sama semua pihak mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, maupun tokoh adat, masyarakat serta instansi terkait untuk mempertahankan makanan tradisional tersebut.
"Bahan baku semakin sulit didapatkan kalaupun ada harus mengambilnya dari luar Kabupaten. Jika ada harganya lumayan tinggi dan ini menjadi tugas bersama agar bahan pangan lokal tetap di tanam agar dijual harga murah," katanya.
"Seperti sayur lilin di pasar Sentani harga mulai dari Rp70-100 ribu satu ikat dan harga lumayan tinggi bagi kami yang setiap hari menyajikan makanan itu. Belum lagi sagu, ikan gabus yang seharusnya mudah didapatkan namun karena kurangnya petani maka harga berkali lipat," tambah dia.
Meski demikian, kesulitan bahan baku itu tidak membuatnya patah semangat. Ia terus berupaya menghadirkan makanan lokal dan menyajikannya dengan cara kekinian untuk menarik minat konsumen muda.
"Tamu yang datang kebanyakan orang tua atau sudah berusia karena mengetahui kandungan gizi dan sehat," ujarnya lagi.
Usilina berharap dengan semakin banyaknya makanan tradisional itu dijual di pasar, akan mendorong petani untuk mengembangkan bahan bakunya di kebun mereka. Demikian juga, semakin banyak "mama-mama" Papua yang menjual bahan pangan lokal di pasar.
Ia ingin anak muda berani membuka usaha sejenis yang konsepnya sesuai di daerah masing-masing. Karena Papua memiliki makanan khas yang perlu dilestarikan oleh anak asli setempat.
Perempuan penjaga kuliner
Pengembangan pangan lokal juga tengah gencar dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Hortikultura Papua. Dengan mengganti pola konsumsi dari beras ke pangan lokal diharapkan dapat menjadi solusi alternatif warga dalam memenuhi kebutuhan kalori.
Pemerintah Provinsi Papua juga sedang gencar mendorong warga untuk memanfaatkan lahan mereka dengan menanam berbagai sumber pangan lokal.
Pengembangan pangan lokal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan setempat serta membantu meningkatkan perekonomian warga karena memiliki lahan yang bisa dimanfaatkan.
Pendiri Koki Hutan Papua Charles Toto mengatakan Papua membutuhkan lebih banyak perempuan penjaga kuliner karena banyak makanan khas Bumi Cendrawasih lainnya yang belum diperkenalkan kepada masyarakat luas.
Chef Toto yang juga seorang pemerhati makanan lokal berharap agar anak muda mau belajar mengolah makanan tradisional seperti yang dulu biasa diolah mama di dapur, sehingga cerita soal kuliner asal Papua semakin dikenal.
"Perempuan untuk melestarikan kuliner Papua masih kurang seperti di daerah pegunungan. Padahal masih banyak menu-menu lainnya yang bisa dilihat lagi di dapur," ujarnya.
Chef Toto mengakui tren makanan lokal sekarang ini mulai naik karena adanya promosi melalui media sosial sehingga banyak yang mencarinya seperti ubi, sinole, papeda bungkus dan ikan kuah kuning.
Selain itu kuliner khas Papua juga mulai dicari karena masyarakat semakin mengenal kandungan nutrisi yang terdapat pada bahan pangan lokal yang digunakan sebagai bahan baku.
Berbagai acara yang digelar masyarakat semakin banyak yang menyajikan menu makanan tradisional. Bahkan hotel-hotel pun menyajikan makanan tradisional, meski masih terbatas pada makanan dengan bahan baku yang relatif mudah didapat.
"Saya berharap ke depan anak-anak muda di Tanah Papua bisa melirik makanan lokal karena ini merupakan ciri khas yang perlu dipertahankan oleh generasi muda setempat," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Usilina Epa, perempuan penjaga kuliner Papua
Dari bahan pangan sagu yang bernilai gizi tinggi, masyarakat Papua mengenal beberapa olahan di antaranya papeda dan sinole atau sagu bakar. Papeda biasa disebut bubur sagu yang disajikan dengan ikan kuah kuning.
Ada juga sayur lilin, sayuran sejenis tebu yang bisa langsung dimakan. Bentuknya seperti batang sereh namun ukurannya lebih besar dan yang digunakan memasak adalah bagian dalamnya yang menyerupai lilin.
Selain itu ada ikan gabus kuah hitam, keladi tumbuk, dan ikan asar atau ikan yang dimasak dengan diasap sehingga tahan lama.
Namun berbagai kuliner lokal tersebut mulai jarang ditemui karena bahan baku yang semakin langka.
Keinginan untuk melestarikan makanan lokal inilah yang mendorong seorang perempuan Papua, Usilina Epa, membangun bisnis kuliner yang menyediakan makanan lokal.
Usilina awalnya mendirikan rumah makan "Dapur Mama" di Kampung Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua. Namun bisnis yang dimulainya pada 2015 tersebut hanya bertahan satu bulan.
Tidak patah semangat, pada 2017 ia membuka kafe yang juga menghadirkan makanan lokal bernama “Sunshine Cafe and Library”. Menu utama yang disajikan adalah asella atau lebih dikenal dengan nama sinole alias dadar sagu.
Saat Sunshine Cafe and Library berusia lima tahun, Usilina membuka kembali rumah makan bernama "Isasai Restaurant" pada 2022 di belakang Expo, Kota Jayapura.
Restoran ini fokus menjual makanan khas Sentani yang mulai hilang. Jadi selain ubi-ubian, sinole dan papeda bungkus, restoran ini juga menyajikan menu ikan gabus asar santan serta kuah hitam.
"Biasanya di pasar Sentani orang menjual ikan gabus sudah diasap lalu tinggal beli dan masak di rumah namun kini sudah jarang," kata perempuan asal Sentani itu.
Usilina mengaku, saat membuka restoran ini ia tidak tahu seperti apa kiranya nanti penerimaan masyarakat karena konsep bisnisnya dianggap tidak lumrah. Namun setelah berjalan beberapa waktu, terbukti semakin banyak pelanggan yang datang baik dari Jayapura maupun luar kota. Para pelanggan itu mengaku sangat senang bisa mendapatkan makanan khas Papua dengan lebih mudah.
Kesulitan mendapatkan bahan baku masih menjadi masalah utama bagi restoran tersebut. Menurut Usilina menu makanan khas Papua sederhana hanya saja bahan baku mulai jarang ditanam, sehingga harganya menjadi mahal.
Butuh kerja sama semua pihak mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, maupun tokoh adat, masyarakat serta instansi terkait untuk mempertahankan makanan tradisional tersebut.
"Bahan baku semakin sulit didapatkan kalaupun ada harus mengambilnya dari luar Kabupaten. Jika ada harganya lumayan tinggi dan ini menjadi tugas bersama agar bahan pangan lokal tetap di tanam agar dijual harga murah," katanya.
"Seperti sayur lilin di pasar Sentani harga mulai dari Rp70-100 ribu satu ikat dan harga lumayan tinggi bagi kami yang setiap hari menyajikan makanan itu. Belum lagi sagu, ikan gabus yang seharusnya mudah didapatkan namun karena kurangnya petani maka harga berkali lipat," tambah dia.
Meski demikian, kesulitan bahan baku itu tidak membuatnya patah semangat. Ia terus berupaya menghadirkan makanan lokal dan menyajikannya dengan cara kekinian untuk menarik minat konsumen muda.
"Tamu yang datang kebanyakan orang tua atau sudah berusia karena mengetahui kandungan gizi dan sehat," ujarnya lagi.
Usilina berharap dengan semakin banyaknya makanan tradisional itu dijual di pasar, akan mendorong petani untuk mengembangkan bahan bakunya di kebun mereka. Demikian juga, semakin banyak "mama-mama" Papua yang menjual bahan pangan lokal di pasar.
Ia ingin anak muda berani membuka usaha sejenis yang konsepnya sesuai di daerah masing-masing. Karena Papua memiliki makanan khas yang perlu dilestarikan oleh anak asli setempat.
Perempuan penjaga kuliner
Pengembangan pangan lokal juga tengah gencar dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Hortikultura Papua. Dengan mengganti pola konsumsi dari beras ke pangan lokal diharapkan dapat menjadi solusi alternatif warga dalam memenuhi kebutuhan kalori.
Pemerintah Provinsi Papua juga sedang gencar mendorong warga untuk memanfaatkan lahan mereka dengan menanam berbagai sumber pangan lokal.
Pengembangan pangan lokal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan setempat serta membantu meningkatkan perekonomian warga karena memiliki lahan yang bisa dimanfaatkan.
Pendiri Koki Hutan Papua Charles Toto mengatakan Papua membutuhkan lebih banyak perempuan penjaga kuliner karena banyak makanan khas Bumi Cendrawasih lainnya yang belum diperkenalkan kepada masyarakat luas.
Chef Toto yang juga seorang pemerhati makanan lokal berharap agar anak muda mau belajar mengolah makanan tradisional seperti yang dulu biasa diolah mama di dapur, sehingga cerita soal kuliner asal Papua semakin dikenal.
"Perempuan untuk melestarikan kuliner Papua masih kurang seperti di daerah pegunungan. Padahal masih banyak menu-menu lainnya yang bisa dilihat lagi di dapur," ujarnya.
Chef Toto mengakui tren makanan lokal sekarang ini mulai naik karena adanya promosi melalui media sosial sehingga banyak yang mencarinya seperti ubi, sinole, papeda bungkus dan ikan kuah kuning.
Selain itu kuliner khas Papua juga mulai dicari karena masyarakat semakin mengenal kandungan nutrisi yang terdapat pada bahan pangan lokal yang digunakan sebagai bahan baku.
Berbagai acara yang digelar masyarakat semakin banyak yang menyajikan menu makanan tradisional. Bahkan hotel-hotel pun menyajikan makanan tradisional, meski masih terbatas pada makanan dengan bahan baku yang relatif mudah didapat.
"Saya berharap ke depan anak-anak muda di Tanah Papua bisa melirik makanan lokal karena ini merupakan ciri khas yang perlu dipertahankan oleh generasi muda setempat," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Usilina Epa, perempuan penjaga kuliner Papua