Sentani (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura, Papua mengharapkan warga dapat mengatur jarak kelahiran anak supaya kesehatan ibu dan anak selalu terjaga.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kabupaten Jayapura Yos Levie Yoku di Sentani, Minggu, mengatakan pemerintah tidak membatasi setiap keluarga memiliki berapa anak, tetapi jaraknya harus diatur dengan baik.
“Hal ini kami lakukan untuk menekan risiko meninggalnya ibu dan anak karena jarak kelahiran yang tidak diatur baik sehingga membuat ibu susah untuk mengatur kesehatannya dengan baik,” katanya.
Menurut Yos, budaya Papua yang kental terkadang mengharuskan perempuan dalam hal ini ibu menjadi korban karena jarak kelahiran tidak mau diatur baik.
“Biasanya kalau pihak laki-laki sudah membayar mas kawin maka berapun banyak anak yang dilahirkan perempuan atau istri tetap harus mau tanpa memikirkan jarak kelahiran,” ujarnya.
Dia menjelaskan pendekatan kepada keluarga di kampung yang masih memegang teguh adat agak berat atau tidak menerima kedatangan dari pihak DP2KB.
“Kami biasanya mendapat penolakan di beberapa keluarga di kampung-kampung yang tidak mau mendengar arahan dari pemerintah mengenai mengatur jarak kelahiran, tetapi tetap pendekatan dan sosialisasi terus dilakukan,” katanya.
Dia menambahkan pendekatan dengan konsep kontrasepsi pun terus dilakukan kepada keluarga di 139 kampung untuk memberikan pemahaman mengenai jarak kelahiran.
“Jadi intinya itu kami tidak melarang ibu melahirkan tetapi bagaimana ibu dan bapak mau mengatur jarak supaya kesehatan mereka termasuk anaknya tetap sehat,” ujarnya.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kabupaten Jayapura Yos Levie Yoku di Sentani, Minggu, mengatakan pemerintah tidak membatasi setiap keluarga memiliki berapa anak, tetapi jaraknya harus diatur dengan baik.
“Hal ini kami lakukan untuk menekan risiko meninggalnya ibu dan anak karena jarak kelahiran yang tidak diatur baik sehingga membuat ibu susah untuk mengatur kesehatannya dengan baik,” katanya.
Menurut Yos, budaya Papua yang kental terkadang mengharuskan perempuan dalam hal ini ibu menjadi korban karena jarak kelahiran tidak mau diatur baik.
“Biasanya kalau pihak laki-laki sudah membayar mas kawin maka berapun banyak anak yang dilahirkan perempuan atau istri tetap harus mau tanpa memikirkan jarak kelahiran,” ujarnya.
Dia menjelaskan pendekatan kepada keluarga di kampung yang masih memegang teguh adat agak berat atau tidak menerima kedatangan dari pihak DP2KB.
“Kami biasanya mendapat penolakan di beberapa keluarga di kampung-kampung yang tidak mau mendengar arahan dari pemerintah mengenai mengatur jarak kelahiran, tetapi tetap pendekatan dan sosialisasi terus dilakukan,” katanya.
Dia menambahkan pendekatan dengan konsep kontrasepsi pun terus dilakukan kepada keluarga di 139 kampung untuk memberikan pemahaman mengenai jarak kelahiran.
“Jadi intinya itu kami tidak melarang ibu melahirkan tetapi bagaimana ibu dan bapak mau mengatur jarak supaya kesehatan mereka termasuk anaknya tetap sehat,” ujarnya.