Jayapura (ANTARA) - Kampung Abar adalah salah satu kampung di sekitar pinggiran Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Danau Sentani membatasi kampung ini dengan ibu kota kabupaten.
Satu-satunya transportasi ke kampung ini menggunakan speed boat dari Pantai Yahim, Sentani dengan jarak tempuh sekitar 15 menit perjalanan mengarungi danau Sentani. Biaya pulang pergi satu orang penumpang Rp20.000. Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, masuk salah satu kampung di wilayah Sentani Tengah.
Kampung Abar terletak di tepi Danau Sentani bagian selatan. Walaupun lokasinya tidak jauh dari Bandara Sentani, kampung ini ternyata belum menikmati listrik PLN.
Tidak ada jaringan listrik PLN ke kampung ini dari Sentani ibukota Kabupaten Jayapura. Namun, jangan salah, sejak 2015 warga Kampung Abar telah mengenal listrik pintar yang ramah lingkungan.
Inilah yang membuat Duta Besar Perancis Jean-Charles Berthonnet tertarik datang ke kampung ini pada 22 Juli 2018.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Kampung Abar sebenarnya merupakan pilot proyek yang dikembangkan oleh perusahaan swasta yaitu Electric Vine Industries (EVI) melalui PT Listrik Vine Indonesia (LVI).
Perusahaan ini tidak menjual listriknya ke PLN, tetapi dijual langsung ke warga Abar. Semua pelaksanaan operasional dan pemeliharaan berkala juga dilakukan oleh perusahaan swasta ini.
Pengoperasian PLTS ini secara interkoneksi ke jaringan telepon seluler (ponsel) dan dapat dipantau jarak jauh secara daring (online) melalui perangkat lunak khusus bawaan dari meteran.
Sementara itu, Director of Alternative of Energy Solutions EVI, Matt Basinger mengatakan bahwa EVI telah mengembangkan sebuah sistem arsitektur listrik unik di pedesaan yang dinamakan Solar Vine dengan smart meter sebagai intinya.
Warga Kampung Abar membeli listrik menggunakan sistem prabayar dengan cara mengirim pesan singkat dari ponsel mereka ke PT LVI. Cara kerjanya mirip dengan membeli pulsa nomor ponsel, pulsa token listrik langsung masuk ke meteran, sehingga tidak perlu lagi warga memasukan angka kode token ke meteran listriknya. Hal inilah yang membedakan dengan sistem prabayar PLN.
Yang digunakan sebagai nomor rekening listrik berupa nomor ponsel milik warga. Meteran listrik masing-masing rumah terkoneksi dengan jaringan seluler, dan perusahaan memantau dari jauh secara daring melalui perangkat lunak khusus bawaan dari meteran.
Pendekatan dengan cara prabayar ini merupakan suatu proses penjualan listrik yang dikombinasikan dengan kemampuan monitoring jarak jauh untuk seluruh aset dan juga aktivitas masyarakat secara berkelanjutan, melalui pencocokan antara siklus pembayaran dengan siklus pendapatan pengguna.
PLTS di Kampung Abar merupakan proyek percontohan untuk selanjutnya akan dikembangkan di daerah terpencil lainnya di Papua.
Gerabah Abar
Abar merupakan kampung yang unik. Berada di kawasan Danau Sentani, kampung ini hingga kini masih memproduksi gerabah. Gerabah dari kampung Abar umumnya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan peralatan masak maupun wadah penyimpanan makanan bagi masyarakat di wilayah Sentani dan sekitarnya.
Munculnya kerajinan gerabah di Kampung Abar dimulai oleh marga Felle dari Suku Assatouw. Kerajinan gerabah tersebut diperkenalkan oleh nenek moyang marga Felle yang bermigrasi dari Pasifik, dengan berlayar hingga tiba di wilayah Papua.
Mereka datang dengan membawa tanah liat yang diikat dalam wadah dari pelepah nibung. Ketika bermigrasi, nenek moyang marga Felle tersebut tiba di kampung Kayu Batu di wilayah Teluk Humbold, Kota Jayapura, dan mereka tinggal di tempat tersebut untuk beberapa waktu dan selanjutnya melakukan perjalanan ke arah Danau Sentani.
Namun demikian, tanah liat yang dibawa dari Pasifik tersebut, ada sebagian yang terjatuh di wilayah Kayu Batu, hal ini mungkin yang membuat masyarakat yang tinggal di kampung Kayu Batu juga membuat gerabah. Perjalanan jauh dari kampung Kayu Batu hingga tiba di kawasan Danau Sentani, yaitu di kampung Yobe, dan mereka tinggal di tempat tersebut sampai beberapa generasi, namun karena ada masalah di Dusun Kelapa akhirnya mereka pun berpindah lagi, dan tiba di Kampung Atamali.
Di Kampung Atamali, mereka diterima dengan baik dan diberi tempat tinggal oleh suku yang ada.
Kemudian nenek moyang marga Felle pun tinggal bersama di kampung Atamali untuk beberapa waktu, dan ketika itu juga tanah liat yang mereka bawa dari timur dikembalikan ke alam di wilayah kampung yang sekarang disebut kampung tua atau kampung Ebale, dan mereka juga tinggal di wilayah tersebut serta membuat kerajinan gerabah.
Selanjutnya nenek moyang suku Felle membuka kampung baru ke arah selatan yaitu di tempat kampung Abar sekarang ini berdiri.
Wilayah kampung Abar ini, marga Felle terus membuat kerajinan gerabah. Kerajinan ini awalnya dibuat hanya oleh laki-laki di dalam ruang tertutup dan tidak boleh ada orang yang melihatnya. Pembuatan gerabah ini dibuat secara sembunyi-sembunyi dan pembakaran dilakukan pada saat malam hari karena ada aturan yang harus ditaati, dan jika aturan tersebut dilanggar maka gerabah yang dihasilkan tidak baik, yaitu pecah dan hancur.
Seiring perjalanan waktu dan pembauran masyarakat suku-suku di Kampung Abar, kerajinan gerabah pun beralih dikerjakan oleh kaum perempuan dan kaum laki-laki juga kadang membantu.
Pembuatan kerajinan ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun tetap mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku, dan pembuat kerajinan tersebut tidak lagi hanya dilakukan oleh marga Felle, tetapi oleh semua suku yang ada di Kampung Abar demi kebersamaan dan persekutuan antarsuku.
Dalam aturan adat disebutkan dalam kegiatan mengambil bahan tanah liat atau dalam membuat gerabah tidak boleh dilakukan oleh para perempuan yang sedang datang bulan atau juga dalam keadaan hamil.
Ini bertujuan untuk menjaga kemurnian tanah liat, dan jika ada yang melanggar aturan tersebut maka gerabah yang dihasilkan akan hancur.
Ketaatan itu menjadikan gerabah di Kampung Abar masih diminati penduduk sekitar dan menjadi suvenir pada PON nanti.