Ketua DPP Partai Perindo Bidang Pertahanan, Keamanan, dan Siber Susaningtyas NH Kertopati berpendapat Indonesia harus membangun kekuatan militer bila berkaca dari perang antara Rusia dan Ukraina yang saat ini masih berlangsung.
"Ada beberapa 'lessons learned' atau pelajaran yang dapat diambil dari perang Rusia-Ukraina. Pertama, perang konvensional antarnegara masih mungkin relevan terjadi, meskipun dikombinasi oleh pendekatan 'proxy' dan asimetris yang melibatkan 'nonstate actor' atau yang dikenal sebagai perang hibrida," kata Susaningtyas dalam Webinar yang digelar Perindo bertema "Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Indonesia" secara daring, Jumat.
Kedua, Indonesia tidak boleh menjadi sekadar objek (proxy) dari kekuatan besar negara atau pakta pertahanan apa pun di dunia. Indonesia harus menjadi subjek bebas aktif yang mendorong terciptanya stabilitas dan perdamaian dunia.
Ketiga, lanjut Nuning, sapaan Susaningtyas, Indonesia perlu secara konsisten membangun kapabilitas militer untuk mengantisipasi kemungkinan atau celah kemungkinan meletusnya konflik di Natuna Utara sebagai strategi pendadakan (strategic surprises).
"Hal ini mengingat kawasan Indo Pasifik terus mengalami eskalasi dari berbagai kekuatan besar dunia, khususnya Tiongkok dan NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS)," kata Nuning.
Mantan anggota Komisi I DPR RI ini mengatakan Indonesia bersama 140 negara lainnya mendukung resolusi Majelis Umum PBB tentang invasi Rusia ke Ukraina. Resolusi tersebut di antaranya menuntut penarikan penuh pasukan Rusia dari wilayah Ukraina tanpa syarat.
"Ini merupakan amanat konstitusi sebagaimana Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan dan perdamaian abadi," kata Nuning.
Dia menilai bahwa sikap Indonesia selalu konsisten dalam penerapan hukum internasional dan Piagam PBB. Hal ini dalam menghormati kedaulatan kemerdekaan dan integrasi negara lain.
"Untuk itu, di sisi lain Indonesia harus memainkan peran dan posisi diplomasi yang sama apabila negara anggota NATO melakukan intervensi dan agresi militer terhadap negara lain," jelas pengamat militer dan intelijen ini.
Menurutnya, Indonesia yang merupakan penggagas Gerakan Non-Blok dan Ketua G20 dapat berperan aktif untuk mendorong Rusia-Ukraina dan NATO menghentikan segala agresi. Apalagi Indonesia dinilai sebagai negara yang netral.
"Indonesia dapat berperan aktif untuk mendorong Rusia-Ukraina serta NATO untuk menghentikan segala agresi, penggunaan kekuatan bersenjata, dan intervensi terhadap negara lain," tegasnya.
Nuning menilai sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia tidak akan berdampak signifikan, apalagi sanksi saat ini lebih rendah dibandingkan yang pernah diberikan pada 2008 dan 2014.
"Rusia dengan cadangan nasional ekonomi besar, rasio utang terhadap PDB yang rendah, memiliki alternatif untuk SWIFT, stabilitas politik dan ekonomi yang terjaga, penggunaan dolar AS yang tidak signifkan, dan hubungan baik dengan China menjawab bahwa sanksi tidak akan signifikan," ucapnya.
Bahkan, jika sanksi terlalu keras, maka berpotensi terjadi dilema karena Eropa memiliki ketergantungan ekspor gas Rusia. Selain itu, Rusia salah satu pemasok gandum terbesar di dunia.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia adalah konsumsi gandum dalam bentuk roti, kue, dan mi dalam jumlah besar. Sebagai produsen mi instan terbesar di dunia, Indonesia mengimpor gandum dalam jumlah yang signifikan mencapai 31.340 ton bernilai Rp169 miliar.
"Konflik ini akan memengaruhi rantai pasokan gandum dan distribusi gandum internasional yang berpotensi menimbulkan kenaikan harga komoditas tersebut," ujarnya.
Tak hanya itu, suplai energi Indonesia juga berasal dari impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor minyak dan gas (migas) Indonesia pada 2021 mencapai 196,20 miliar dollar AS (Rp 2.805 triliun) atau meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020.
"Kenaikan harga energi global dapat memperdalam defisit neraca perdagangan migas Indonesia dan memicu inflasi," kata Nuning.
Oleh karena itu, tambah dia, perang Rusia-Ukraina yang berlarut dapat mengakibatkan perlambatan ekonomi yang ditimbulkan dari kenaikan harga bahan pangan impor yang diikuti pangan lokal, lonjakan biaya logistik, dan subsidi terhadap BBM yang menguras APBN.
"Oleh karenanya, Indonesia perlu memiliki 'exit policy' untuk meminimalisasi dampak perekonomian global jika perang berlarut, yaitu melalui prioritas kebijakan fiskal yang dapat membantu daya beli penduduk miskin untuk mengakses kebutuhan pokok," kata Nuning.