Jayapura (Antara Papua) - Sekelompok masyarakat adat yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua menolak Peraturan Daerah Khsusus (Perdasus) tentang 14 kursi jalur otonomi khusus (otsus) yang dibuat oleh DPRP.

"Kami dengan tegas menolak Perdasus produk DPRP yang mengatur tentang 14 kursi yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan berasal dari lima wilayah adat," kata Ramses Ohee, tokoh adat Papua yang juga ketua BMP di Jayapura, Jumat sore.

Ia mengatakan ada tiga hal yang membuat pihaknya menolak Perdasus tentang 14 kursi, alasan pertama karena draf Perdasus yang dibuat itu tidak melibatkan pihak adat, akademisi dan pihak terkait lainnya sehingga substansi dinilai belum maksimal menampung aspirasi.

"Seyogyanya masyarakat adat diberi runag untuk memberi saran atau pendapat tentang hal-hal yang substansi, yang berkaitan dengan kepentingan orang asli Papua karena 14 kursi yang bakal ditetapkan tersebut bisa mewakili masyarakat di lima wilayah adat," katanya.

Alasan kedua, kata Ramses yang juga pelaku Pepera 1969 itu, seharusnya Perdasus tersebut disusun dan dirancang oleh gubernur dan MRP karena jika wakil rakyat atau disusun oleh DPRP dipastikan unsur muatan politis lebih kuat.

"Jika gubernur dan MRP yang buat draf Perdasus sudah pasti akan melibatkan semua pihak, tentunya dengan harapan draf tersebut tidak mengarah kepada unsur muatan politis," kata Ramses yang juga ketua Forum Komunikasi Masyarakat Adat Papua Bersatu.

Dan alasan ketiga, yakni isi dari salah satu pasal dalam draf Perdasus 14 kursi itu terkesan diskriminatif karena ruang, hak dan peran dari bakal anggota dewan dari 14 kursi Otsus itu dibatasi.

"Dalam draft itu, anggota dewan dari kursi Otsus (14 kursi) itu tidak bisa menjadi ketua dewan atau ketua komisi. Seharusnya hal itu bisa melihat saat ABRI memiliki wakil di dewan pada masa Orde Baru lalu. Kala itu ABRI memiliki fraksi tersendiri, bahkan bisa menjadi ketua dewan atau ketua komisi," katanya.

Amanus Krusi, ketua BMP Jayawijaya mengatakan seharusnya draf Perdasus dibuat untuk kepentingan adat bukan untuk kepentingan parpol yang berkuasa, sehingga didalam draf tersebut benar-benar mewakili hak-hak adat yang termuat dalam UU Otsus.

"Saya sependapat dengan Pak Ramses Ohee. Adat harus memiliki porsi yang seuai dan tepat," katanya.

Sementara Pascalis Netep, sekertaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua mengatakan soal adanya aturan yang mengharuskan seorang calon anggota dewan dari masyarakat adat minimal mempunyai titel S1 untuk menduduki salah satu kursi Otsus dinilai terlalu akal-akalan.

"Kami masyarakat adat, dipilih oleh komunitas untuk mewakili adat kami mengapa harus menggunakan syarat yang menyusahkan kami. Itu namanya bukan Otsus tetapi unsur lainnya," katanya.

"Kami berharap Gubernur Lukas Enembe segera mengeluarkan peraturan gubernur guna mempercepat proses pemilihan dan pelantikan 14 kursi Otsus dari masyarakat adat," tambahnya diamini oleh Ramses Ohee dan Amanus Krusi. (*)


Pewarta : Pewarta: Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025