"Papua bisa jadi pertahanan terakhir pengelolaan keanekaragaman hayati karena laju kerusakan hutan di Indonesia cukup tinggi," kata Deputi Bidang Kerusakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Arief Yuwono.
Itulah antara lain penegasan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ketika menyampaikan kuliah umum di hadapan lebih dari 300 orang mahasiswa Universitas Musamus, di Merauke, Papua, 9 Oktober 2014.
Kuliah umum itu merupakan bagian dari sosialisasi peraturan perundangan lingkungan hidup guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang implementasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Papua (Provinsi Papua, dan Papua Barat).
Pertemuan sosialisasi itu dihadiri anggota DPRD, muspida, kepala badan dan kepala kantor lingkungan hidup, kepala biro hukum, Tim Penggerak PKK, tokoh adat dan agama, pengusaha, LSM dan Perwakilan Pramuka kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat.
Berbagai elemen masyarakat yang menghadiri pertemuan ini merupakan ujung tombak dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Arief, jajaran KLH gencar menyosialisasikan berbagai upaya pencegahan penggundulan hutan atau deforestasi, agar kawasan hutan di Papua tidak seperti kawasan hutan di daerah lainnya di Tanah Air.
Deforestasi memang juga terjadi di Papua, namun jajaran KLH menilai masih jauh lebih baik dari daerah lain, sehingga harus terus dilakukan pencegahan karena diyakini hutan Papua akan menjadi pertahanan terakhir pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Sejauh ini, laju perubahan Tanah Papua relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, namun sejak 2000 hingga 2012 terjadi penurunan perubahan tutupan hutan sebesar 20 persen.
Jika tidak gencar dilakukan pencegahan deforestasi, maka bukan tidak mungkin nasib hutan Papua akan sama dengan daerah lainnya.
Data kerusakan hutan di Indonesia memang masih simpang-siur, akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan.
Menurut World Bank, laju deforestasi di Indonesia sekitar 700.000 sampai 1,2 juta hektare (ha) per tahun. Umumnya akibat peladangan berpindah.
Versi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sekitar 1,31 juta ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen.
Sedangkan berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan sekitar 1,6 juta sampai dua juta ha per tahun yang mengalami kerusakan.
Organisasi pemerhati lingkungan hidup Greenpeace malah menyebut 3,8 juta ha per tahun akibat "illegal logging" atau pembalakan liar.
Sementara sejumlah ahli kehutanan menyebut 1,08 juta ha per tahun, padahal hutan adalah bagian dari ekosistem yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia.
Meskipun datanya simpang-siur, namun laju penggundulan hutan di Indonesia kini menempati posisi tertinggi di dunia, bahkan mengalahkan angka deforestasi Brasil yang mencapai 460.000 ha per tahun.
Itu sebabnya, jajaran KLH gencar menyosialisasikan berbagai upaya pencegahan, terutama di Papua yang memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia, dan sejauh ini masih tergolong baik, karena 80 persen areal hutannya dapat terjaga.
Apalagi, kekayaan alam di Papua dan Papua Barat yang melimpah dan karakteristik penduduk yang dikenal memiliki kearifan lokal berkepedulian tinggi merupakan potensi yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam menyusun program yang pro-rakyat dan pro-lingkungan hidup.
Menurut Arief, diperlukan komitmen tinggi dari semua pihak dalam menjaga fungsi lingkungan hidup di Tanah Papua, setidaknya dapat mempertahankan sejumlah penghargaan terkait lingkungan hidup yang pernah di terima Papua.
Pada Hari Lingkungan Hidup 2014, terdapat tujuh kabupaten dan kota di Tanah Papua yang memperoleh penghargaan Adipura. Selain itu pada 2013 terdapat 20 sekolah di Tanah Papua yang mendapatkan penghargaan Sekolah Berbudaya Lingkungan hidup yang baik yaitu Adiwiyata Nasional dan Adiwiyata Mandiri.
Keberhasilan tersebut diharapkan dapat dijadikan modal untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan.
"Saya optimistis para pemangku kepentingan di Tanah Papua dapat menjaga dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup," ujarnya.
Libatkan Perguruan Tinggi
Salah satu langkah nyata mencegah laju deforestasi di Papua, yakni ppelibatan perguruan tinggi (PT), dan itu tengah dilakukan jajaran KLH.
"Seluruh perguruan tinggi di Papua akan dilibatkan dalam program kerja sama pencegahan kerusakan lingkungan," kata Arief Yuwono, usai menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara KLH dengan Universitas Musamus, salah satu perguruan tinggi negeri di Papua.
MoU KLH dengan Universitas Musamus itu merupakan bagian dari upaya bersama mengurangi atau mengatasi kerusakan di kawasan pesisir Papua, yang ternyata sudah terjadi intrusi air laut atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya.
Dampak yang ditimbulkan oleh intrusi air laut, terutama dampak negatif atau yang merugikan seperti terjadinya penurunan kualitas air tanah untuk kebutuhan manusia, amblesnya tanah karena pengekploitasian air tanah secara berlebihan,
"Kami tahu kemampuan perguruan tinggi dan komitmen pemda di Merauke bisa menjadi modal dasar, karena mengatasi lingkungan bukan bicara uang yang banyak, tapi sebetulnya merupakan gabungan uang dengan komitmen serta sinergitas satu sama lain," ujar Arief.
KLH menilai Universitas Musamus bisa menjadi model untuk dikuti oleh perguruan tinggi lainnya, dan tentunya akan ada kerja sama dengan KLH.
"Jadi, nanti seluruh perguruan tinggi di Papua dilibatkan dalam kerja sama pencegahan kerusakan lingkungan. Kita sudah mulai dengan Universitas Musamus, dan KLH akan buat rencana aksi atas kesepakatan kemarin itu," ujarnya.
Kerja sama lainnya dapat berupa kompetensi edukasi, riset dan teknologi, serta program beasiswa.
Universitas Musamus yang telah menandatangani MoU dengan Universitas KLH, akan menentukan jenis kerja sama yang dapat direalisasi.
"Kita pahami bahwa Universitas Musamus seringkali melakukan penelitian di bidang lingkungan, dan kegiatan lainnya yang spesifik sesuai ekosistem di Merauke, itu semua bisa dikerjasamakaan dengan KLH," ujar Arief.
Lalu, apa tanggapan Rektor Universitas Musamus Philipus Betaubun, terkait upaya pencegahan laju deforestasi di Papua.
Dia malah meminta pemerintah meninjau kembali hak pengelolaan hutan (HPH) yang dikantongi belasan perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, agar tingkat kerusakan hutan tidak bertambah parah.
"HPH itu perlu ditinjau kembali, mengingat kawasan HPH itu merupakan tempat penyimpanan air bersih," kata Philipus ketika ditemui di Merauke, daerah paling timur Indonesia.
Philipus mengatakan, kini telah ada belasan perusahaan yang mengantongi HPH di wilayah Merauke, termasuk sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berbasis di Rawa Biru, salah satu sumber air bersih di bagian selatan Pulau Papua.
Perusahaan yang mengantongi HPH itu menebang pohon di areal yang hendak dijadikan perkebunan kelapa sawit, namun tidak mengantisipasi dampaknya setelah jangka waktu HPH selama 20 tahun berakhir.
"Setelah 20 tahun usaha kebun sawit, lahan itu dibiarkan saja, sehingga berdampak pada degradasi sumber air bersih di sekitar kawasan itu. Sekarang kan dampaknya mulai terasa, warga Merauke mulai kesulitan air bersih," ujarnya.
Menurut Philipus, perusahaan pemegang HPH di sekitar Rawa Biru perlu ditinjau kembali, karena lama kelamaan sumber air bersih di kawasan itu bermasalah.
Para akademisi dari Universitas Musamus terus melakukan kajian, dan mulai mengkhawatirkan kekurangan air bersih yang diandalkan dari Rawa Biru itu.
"Kita kaji terus, tapi situasinya lain jika izin sudah dikeluarkan, makanya HPH perlu ditinjau kembali, terutama HPH di tempat penyimpanan air bersih, jika izin sudah keluar, tidak bisa ribut, harusnya ribut di pihak pemberi izin, karena hanya aturan satu lembar kertas bisa ambil lahan yang menjadi sumber air bagi masyarakat banyak," ujarnya.
Philipus berharap pemerintahan yang baru ditangan Joko Widodo sebagai Presiden, dapat bersikap tegas dalam menyikapi kekhawatiran rakyat Merauke terhadap pengelolaan hutan yang berdampak langsung pada kebutuhan air bersih warga setempat.
"Pemerintah pusat harus berani tarik HPH dari Papua, karena Papua representasi Indonesia dalam hal kawasan hutan. HPH itu harus bisa ditarik dari Papua, karena lama kelamaan kita kekurangan air bersih," ujarnya.
Hanya saja, penilaian buruk terhadap perusahaan pemegang HPH itu harus didukung data dan fakta otentik, mengingat tidak semua perusahaan pemegang HPH berkinerja buruk, meski juga tidak boleh menolerir pemegang HPH yang "nakal" karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, upaya pencegahan laju kerusakan hutan harus terus dilakukan dan harus ada keterpaduan, serta kebijakan tegas dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang terbukti merusak ekosistem hutan. (*)
Itulah antara lain penegasan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ketika menyampaikan kuliah umum di hadapan lebih dari 300 orang mahasiswa Universitas Musamus, di Merauke, Papua, 9 Oktober 2014.
Kuliah umum itu merupakan bagian dari sosialisasi peraturan perundangan lingkungan hidup guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang implementasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Papua (Provinsi Papua, dan Papua Barat).
Pertemuan sosialisasi itu dihadiri anggota DPRD, muspida, kepala badan dan kepala kantor lingkungan hidup, kepala biro hukum, Tim Penggerak PKK, tokoh adat dan agama, pengusaha, LSM dan Perwakilan Pramuka kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat.
Berbagai elemen masyarakat yang menghadiri pertemuan ini merupakan ujung tombak dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Arief, jajaran KLH gencar menyosialisasikan berbagai upaya pencegahan penggundulan hutan atau deforestasi, agar kawasan hutan di Papua tidak seperti kawasan hutan di daerah lainnya di Tanah Air.
Deforestasi memang juga terjadi di Papua, namun jajaran KLH menilai masih jauh lebih baik dari daerah lain, sehingga harus terus dilakukan pencegahan karena diyakini hutan Papua akan menjadi pertahanan terakhir pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Sejauh ini, laju perubahan Tanah Papua relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain, namun sejak 2000 hingga 2012 terjadi penurunan perubahan tutupan hutan sebesar 20 persen.
Jika tidak gencar dilakukan pencegahan deforestasi, maka bukan tidak mungkin nasib hutan Papua akan sama dengan daerah lainnya.
Data kerusakan hutan di Indonesia memang masih simpang-siur, akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan.
Menurut World Bank, laju deforestasi di Indonesia sekitar 700.000 sampai 1,2 juta hektare (ha) per tahun. Umumnya akibat peladangan berpindah.
Versi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sekitar 1,31 juta ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen.
Sedangkan berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan sekitar 1,6 juta sampai dua juta ha per tahun yang mengalami kerusakan.
Organisasi pemerhati lingkungan hidup Greenpeace malah menyebut 3,8 juta ha per tahun akibat "illegal logging" atau pembalakan liar.
Sementara sejumlah ahli kehutanan menyebut 1,08 juta ha per tahun, padahal hutan adalah bagian dari ekosistem yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia.
Meskipun datanya simpang-siur, namun laju penggundulan hutan di Indonesia kini menempati posisi tertinggi di dunia, bahkan mengalahkan angka deforestasi Brasil yang mencapai 460.000 ha per tahun.
Itu sebabnya, jajaran KLH gencar menyosialisasikan berbagai upaya pencegahan, terutama di Papua yang memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia, dan sejauh ini masih tergolong baik, karena 80 persen areal hutannya dapat terjaga.
Apalagi, kekayaan alam di Papua dan Papua Barat yang melimpah dan karakteristik penduduk yang dikenal memiliki kearifan lokal berkepedulian tinggi merupakan potensi yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dalam menyusun program yang pro-rakyat dan pro-lingkungan hidup.
Menurut Arief, diperlukan komitmen tinggi dari semua pihak dalam menjaga fungsi lingkungan hidup di Tanah Papua, setidaknya dapat mempertahankan sejumlah penghargaan terkait lingkungan hidup yang pernah di terima Papua.
Pada Hari Lingkungan Hidup 2014, terdapat tujuh kabupaten dan kota di Tanah Papua yang memperoleh penghargaan Adipura. Selain itu pada 2013 terdapat 20 sekolah di Tanah Papua yang mendapatkan penghargaan Sekolah Berbudaya Lingkungan hidup yang baik yaitu Adiwiyata Nasional dan Adiwiyata Mandiri.
Keberhasilan tersebut diharapkan dapat dijadikan modal untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan.
"Saya optimistis para pemangku kepentingan di Tanah Papua dapat menjaga dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup," ujarnya.
Libatkan Perguruan Tinggi
Salah satu langkah nyata mencegah laju deforestasi di Papua, yakni ppelibatan perguruan tinggi (PT), dan itu tengah dilakukan jajaran KLH.
"Seluruh perguruan tinggi di Papua akan dilibatkan dalam program kerja sama pencegahan kerusakan lingkungan," kata Arief Yuwono, usai menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara KLH dengan Universitas Musamus, salah satu perguruan tinggi negeri di Papua.
MoU KLH dengan Universitas Musamus itu merupakan bagian dari upaya bersama mengurangi atau mengatasi kerusakan di kawasan pesisir Papua, yang ternyata sudah terjadi intrusi air laut atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya.
Dampak yang ditimbulkan oleh intrusi air laut, terutama dampak negatif atau yang merugikan seperti terjadinya penurunan kualitas air tanah untuk kebutuhan manusia, amblesnya tanah karena pengekploitasian air tanah secara berlebihan,
"Kami tahu kemampuan perguruan tinggi dan komitmen pemda di Merauke bisa menjadi modal dasar, karena mengatasi lingkungan bukan bicara uang yang banyak, tapi sebetulnya merupakan gabungan uang dengan komitmen serta sinergitas satu sama lain," ujar Arief.
KLH menilai Universitas Musamus bisa menjadi model untuk dikuti oleh perguruan tinggi lainnya, dan tentunya akan ada kerja sama dengan KLH.
"Jadi, nanti seluruh perguruan tinggi di Papua dilibatkan dalam kerja sama pencegahan kerusakan lingkungan. Kita sudah mulai dengan Universitas Musamus, dan KLH akan buat rencana aksi atas kesepakatan kemarin itu," ujarnya.
Kerja sama lainnya dapat berupa kompetensi edukasi, riset dan teknologi, serta program beasiswa.
Universitas Musamus yang telah menandatangani MoU dengan Universitas KLH, akan menentukan jenis kerja sama yang dapat direalisasi.
"Kita pahami bahwa Universitas Musamus seringkali melakukan penelitian di bidang lingkungan, dan kegiatan lainnya yang spesifik sesuai ekosistem di Merauke, itu semua bisa dikerjasamakaan dengan KLH," ujar Arief.
Lalu, apa tanggapan Rektor Universitas Musamus Philipus Betaubun, terkait upaya pencegahan laju deforestasi di Papua.
Dia malah meminta pemerintah meninjau kembali hak pengelolaan hutan (HPH) yang dikantongi belasan perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, agar tingkat kerusakan hutan tidak bertambah parah.
"HPH itu perlu ditinjau kembali, mengingat kawasan HPH itu merupakan tempat penyimpanan air bersih," kata Philipus ketika ditemui di Merauke, daerah paling timur Indonesia.
Philipus mengatakan, kini telah ada belasan perusahaan yang mengantongi HPH di wilayah Merauke, termasuk sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berbasis di Rawa Biru, salah satu sumber air bersih di bagian selatan Pulau Papua.
Perusahaan yang mengantongi HPH itu menebang pohon di areal yang hendak dijadikan perkebunan kelapa sawit, namun tidak mengantisipasi dampaknya setelah jangka waktu HPH selama 20 tahun berakhir.
"Setelah 20 tahun usaha kebun sawit, lahan itu dibiarkan saja, sehingga berdampak pada degradasi sumber air bersih di sekitar kawasan itu. Sekarang kan dampaknya mulai terasa, warga Merauke mulai kesulitan air bersih," ujarnya.
Menurut Philipus, perusahaan pemegang HPH di sekitar Rawa Biru perlu ditinjau kembali, karena lama kelamaan sumber air bersih di kawasan itu bermasalah.
Para akademisi dari Universitas Musamus terus melakukan kajian, dan mulai mengkhawatirkan kekurangan air bersih yang diandalkan dari Rawa Biru itu.
"Kita kaji terus, tapi situasinya lain jika izin sudah dikeluarkan, makanya HPH perlu ditinjau kembali, terutama HPH di tempat penyimpanan air bersih, jika izin sudah keluar, tidak bisa ribut, harusnya ribut di pihak pemberi izin, karena hanya aturan satu lembar kertas bisa ambil lahan yang menjadi sumber air bagi masyarakat banyak," ujarnya.
Philipus berharap pemerintahan yang baru ditangan Joko Widodo sebagai Presiden, dapat bersikap tegas dalam menyikapi kekhawatiran rakyat Merauke terhadap pengelolaan hutan yang berdampak langsung pada kebutuhan air bersih warga setempat.
"Pemerintah pusat harus berani tarik HPH dari Papua, karena Papua representasi Indonesia dalam hal kawasan hutan. HPH itu harus bisa ditarik dari Papua, karena lama kelamaan kita kekurangan air bersih," ujarnya.
Hanya saja, penilaian buruk terhadap perusahaan pemegang HPH itu harus didukung data dan fakta otentik, mengingat tidak semua perusahaan pemegang HPH berkinerja buruk, meski juga tidak boleh menolerir pemegang HPH yang "nakal" karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Dengan demikian, upaya pencegahan laju kerusakan hutan harus terus dilakukan dan harus ada keterpaduan, serta kebijakan tegas dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang terbukti merusak ekosistem hutan. (*)