Setelah menunggu sekian lama, pabrik sagu rakyat yang terletak di Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, akhirnya secara resmi mulai dioperasikan.

Pengoperasian pabrik sagu rakyat Keakwa itu ditandai dengan upacara pemberkatan gedung dan semua fasilitas pabrik oleh Uskup Timika Mgr John Philip Saklil Pr pada Selasa (27/10).

Pengoperasian fasilitas pabrik sagu rakyat yang dibangun oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) itu membawa secercah harapan baru bagi warga Suku Kamoro, tidak saja penduduk Kampung Keakwa, tetapi juga penduduk kampung-kampung lain di sekitar itu seperti Timika Pantai, Atuka, Kokonao dan lainnya.

Mereka berbondong-bondong datang ke lokasi pabrik sagu yang terletak beberapa kilometer dari Kampung Keakwa itu dengan menggunakan perahu ketinting dan perahu tradisional lainnya.

Pabrik sagu rakyat itu dibangun di lokasi bekas kampung lama Keakwa. Kampung lama itu dulu menjadi pemukiman penduduk Keakwa saat berlangsung Perang Dunia II.

"Tempat ini merupakan kampung lama orang Keakwa. Karena situasi perang saat itu, masyarakat secara berkelompok membangun perkampungan tersembunyi di dalam hutan. Ketika situasi mulai aman dan gereja masuk, masyarakat pindah ke pantai. Orang tidak pernah bermimpi kampung ini akan dibangun kembali. Ini sebuah mujizat, dari sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin," tutur Uskup John Saklil.

Uskup Saklil memang memahami betul kehidupan warga Suku Kamoro di wilayah pesisir Kabupaten Mimika karena lahir dan besar di lingkungan Suku Kamoro. Ayahnya yang merupakan guru perintis di wilayah Mimika semenjak masa pendudukan Belanda sudah mengelilingi kampung-kampung pesisir Mimika mulai dari Mimika Barat Jauh di Umar hingga Timika Pantai.

Adapun Kampung Keakwa baru yang kini menjadi tempat tinggal ratusan kepala keluarga, pada masa Perang Dunia II menjadi basis utama pertahanan tentara Jepang di wilayah selatan Papua. Di lokasi ini masih ditemukan sejumlah peninggalan Perang Dunia II seperti sebuah tank dan dua meriam Jepang.

Sayangnya, onggokan saksi bisu sejarah itu sama sekali tidak terawat dan dibiarkan begitu saja. Bahkan dua buah meriam Jepang tersebut kini semakin terkubur di bibir pantai Keakwa akibat abrasi yang sangat tinggi di lokasi itu.

Harapan Baru

Dalam kesempatan itu Uskup Saklil mengingatkan warga Kamoro untuk bersyukur atas pembangunan pabrik sagu rakyat oleh LPMAK, sebuah lembaga nirlaba yang mengelola dana kemitraan dari PT Freeport Indonesia.

"Pabrik sagu ini membawa suatu terang baru karena manusia butuh hidup, butuh makan dan minum. Ini menjadi harapan baru bagi semua orang," ujarnya.

Ia meminta warga Keakwa untuk dapat menggunakan fasilitas yang dibangun dengan dana puluhan miliar itu guna membangun kehidupan mereka yang jauh lebih berkualitas.

"Kita punya pohon sagu tidak ada yang tanam. Tuhan yang tanam. Kalau pohon sagu dipotong terus maka lama kelamaan akan habis. Tugas kita semua untuk menanam sagu di lahan-lahan tidur untuk diwariskan ke anak cucu kita nanti," tutur Uskup Saklil mengingatkan warga Suku Kamoro.

Uskup menegaskan bahwa warga Suku Kamoro di wilayah pesisir Mimika hingga kini masih miskin di atas kekayaan alam mereka yang sangat berlimpah. Potensi sagu yang sangat luas, hasil-hasil laut dan sungai dan hutan yang melimpah hendaknya dapat diolah secara lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

"Sebgaimana sagu, hasil laut seperti siput, karaka (kepiting), udang, dan ikan yang berlimpah-limpah itu menjadi berkat sehingga anak-anak bisa sekolah sampai jenjang perguruan tinggi, dapur tetap berasap dan masyarakat tidak sakit dan mati karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Kalau semua kekayaan alam yang Tuhan berikan secara cuma-cuma ini tidak mampu kita olah, kita tetap miskin di atas kekayaan alam kita," tuturnya.

Sekretaris Kampung Keakwa Wiro Potereyauw mewakili masyarakat setempat mengucapkan terima kasih atas perhatian LPMAK dan PT Freeport Indonesia karena telah membangun pabrik sagu di kampungnya.

"Mudah-mudahan fasilitas ini dapat menopang perekonomian rakyat Kampung Keakwa dan masyarakat Kamoro umumnya," harap Wiro.

Wiro mengatakan warga Keakwa dan kampung-kampung pesisir Mimika selama ini hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan, udang, kepiting dan kelapa untuk bisa menghidupi keluarga maupun untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Dengan adanya pabrik sagu rakyat di Keakwa, katanya, warga setempat memiliki tambahan sumber penghasilan. Warga Keakwa yang terbagi atas tiga marga akan secara berkelompok menjual batang-batang sagu dari lahan atau dusun sagu mereka ke pabrik sagu rakyat Keakwa.

Hal itu, katanya, merupakan angin segar bagi warga Keakwa dan kampung-kampung sekitar yang memiliki hamparan sagu yang sangat luas dan selama ini tidak termanfaatkan secara optimal untuk menunjang perekonomian rakyat.

Secara turun-temurun, katanya, warga Kamoro hanya memanfaatkan sebagian kecil sagu untuk konsumsi sehari-hari.

Sementara itu Sekretaris Eksekutif LPMAK Emanuel Kemong meminta warga setempat mendukung penuh pengoperasian pabrik sagu rakyat tersebut.

"Melalui fasilitas ini masyarakat bisa menghasilkan uang. Masyarakat akan masuk hutan untuk tebang sagu lalu membawa batang sagu ke lokasi pabrik untuk dijual. Pemuda-pemuda akan kita libatkan untuk mengelola pabrik ini secara bersama-sama," kata Emanuel.

Ia menegaskan bahwa LPMAK tidak sedang memainkan bisnis dengan masyarakat.

"LPMAK tidak sedang menjankan bisnis dengan membangun fasilitas pabrik ini. Fasilitas pabrik ini dibangun semata-mata untuk membantu masyarakat agar masa depan masyarakat Kamoro menjadi lebih baik. Aset ini punya kalian. Ini komitmen LPMAK untuk masyarakat," ujar Emanuel.

Mitra Pemerintah

Emanuel juga menyinggung keberadaan LPMAK sebagai lembaga pengelola dana kemitraan dari PT Freeport untuk masyarakat Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika merupakan mitra pemerintah daerah, bukan musuh atau pesaing pemerintah daerah.

"Program-program yang dilaksanakan oleh LPMAK dengan dana kemitraan dari PT Freeport baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun pengembangan ekonomi kerakyatan semata-mata untuk memperkuat program pemerintah. Melalui program-program itu diharapkan kualitas hidup masyarakat asli Papua semakin meningkat," jelas Emanuel.

Keberadaan fasilitas pabrik sagu rakyat di Keakwa itu mendapat dukungan penuh dari anggota DPR Papua, Wilhelmus Pigai dan Mathea Mamoyau.

"Kami sangat mengapresiasi apa yang dilakukan LPMAK. Pembangunan industri rakyat seperti ini sangat dibutuhkan untuk memberdayakan masyarakat asli Papua sebab mereka tidak punya penghasilan tetap," kata Wilhelmus, anggota Komisi II DPR Papua dari Partai Hanura.

Wilhelmus meminta Pemprov Papua dan terutama Pemkab Mimika tidak menutup mata dengan program-program LPMAK yang benar-benar menyentuh langsung kebutuhan masyarakat lokal.

"Pemerintah jangan menutup mata, harus sinergis. Tidak boleh jalan sendiri-sendiri," katanya.

Anggota Komisi I DPR Papua Mathea Mameyao meminta LPMAK terus memperkuat program pemberdayaan ekonomi masyarakat Suku Amungme dan Kamoro, dimana lokasi pemukiman mereka menjadi daerah terdampak langsung aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia.

"Dari sekarang perusahaan, LPMAK dan Pemda harus bekerja sama untuk memberdayakan masyarakat Amungme dan Kamoro karena wilayah kami menerima segala dampak dari keberadaan perusahaan tambang Freeport," kata Mathea.

Pergumulan Panjang

Wakil Sekretaris Eksekutif LPMAK Bidang Program Yohanis Arwakon mengatakan pendirian industri sagu rakyat di Kampung Kekwa melalui sebuah kajian dan pergumulan panjang selama tiga tahun.

Sebelum memulai proyek tersebut, LPMAK membawa sejumlah tokoh masyarakat Suku Kamoro dari sejumlah kampung pesisir Mimika untuk melakukan studi banding di Selat Panjang, Provinsi Kepulauan Riau. LPMAK bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Papua Manokwari melakukan survei potensi sagu di wilayah pesisir Mimika, melakukan foto udara dan pendampingan kepada masyarakat setempat.

Fasilitas pabrik sagu yang dibangun di Keakwa itu mencakup bangunan dan mesin pabrik pembuatan tepung sagu, bak cuci dan penyaringan, lantai jemur, gudang dan lainnya.

"Fasilitas yang masih kurang hanya sarana pendukung saja. Mengingat abrasi sangat tinggi maka kita perlu membangun tanggul penahan di sekeliling lokasi pabrik. Kita juga akan membangun rumah singgah dan fasilitas pengolahan limbah (air cuci tepung sagu)," jelasnya.

Pembangunan industri sagu rakyat di Keakwa itu dinilai cukup irit dari sisi biaya. LPMAK menggelontorkan dana hampir mencapai Rp50 miliar. Nilai itu jauh dari industri sejenis di Kabupaten Sorong Selatan yang menghabiskan anggaran sekitar Rp120 miliar.

Adapun kualitas bangunan pabrik yang terbuat dari bahan gabus yang dilapisi campuran semen dan baja anti gempa itu diyakini cukup kuat hingga 50 tahun ke depan.

Sebelum dioperasikan, mesin pabrik pengolahan tepung sagu di Keakwa itu sudah dilakukan tiga kali uji coba dengan hasil yang memuaskan. Pabrik sagu rakyat ini nantinya ditargetkan mampu memproduksi 200 ton tepung sagu per bulan.

Untuk mengoperasikan industri sagu rakyat Kekwa itu, LPMAK bahkan sampai membajak seorang kepala pabrik dari Selat Panjang, Provinsi Kepulauan Riau.

"Nanti dia yang akan mengajar masyarakat bagaimana cara panen sagu dan memilih sagu yang siap panen. Dia akan dibantu oleh para pemuda dari Kampung Kekwa untuk mengoperasikan industri sagu," jelas Yohanis.

Adapun untuk memperkaya varietas sagu lokal, LPMAK mendatangkan 10 ribu bibit sagu songulu dari daerah Sentani, Jayapura. Sagu jenis songulu itu memiliki kandungan tepung sagu kering hingga 250 kilogram per batang. Kandungan tepung sagu songulu Sentani itu jauh lebih tinggi dari sagu lokal jenis berduri di seluruh dataran rendah Mimika yang hanya maksimal mencapai 150 kilogram per batang.

Bibit-bibit sagu songulu asal Sentani itu nantinya akan ditanam di sekitar lokasi pabrik dan pinggiran sungai agar lebih mudah dipanen. Sebagian bibit akan disebar ke warga untuk ditanam pada lahan ulayat mereka masing-masing. (*)

Pewarta : Penulis: Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024