Pemerintah melalui APBN 2017 kembali mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat Papua sesuai amanat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Sejak 15 tahun terakhir ini, pemerintah selalu mengalokasikan dana otonomi khusus (otsus) triliunan rupiah setiap tahun untuk Papua baik Provinsi Papua maupun Papua Barat.

Nilai dana Otsus untuk tiga provinsi di Indonesia yakni Papua, Papua Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu sebesar dua persen dari total Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Dana otsus pun semakin bertambah setiap tahun seiring dengan peningkatan nilai APBN dan kebutuhan anggaran untuk memajukan ketiga provinsi itu.

Khusus Papua, dalam tiga tahun terakhir misalnya, dana otsus yang diberikan pemerintah mengalami peningkatan ratusan miliar setiap tahun.

Pada 2014 dialokasikan sebesar Rp6,824 triliun yang kemudian dibagi sebesar 70 persen untuk Provinsi Papua yakni sebesar Rp4,777 triliun, dan 30 persen untuk Papua Barat yakni sebesar Rp2,047 triliun.

Pembagian tersebut didasarkan pada perbandingan beberapa indikator yang meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah desa atau kampung dan kelurahan.

Alokasi dana Otsus 2014 untuk kedua provinsi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195 dan 196 yang diteken Menteri Keuangan M. Chatib Basri pada 17 Desember 2013.

Pada tahun itu, pemerintah juga mengalokasikan Dana Tambahan Infrastruktur dalam kerangka Otonomi Khusus sebesar Rp2,5 triliun, dengan rincian untuk Provinsi Papua sebesar Rp2 triliun, dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp500 miliar.

Total dana yang dikucurkan pemerintah kepada Provinsi Papua dan Papua Barat berupa dana otsus dan dana tambahan infrastruktur pada 2014 mencapai Rp9,324 triliun lebih.

Pada 2015 dialokasikan lagi dana otsus sebesar Rp7,057 triliun, yang terdiri dari sebanyak Rp4,940 triliun dialokasikan untuk Provinsi Papua, dan sebesar Rp2,117 triliun untuk provinsi Papua Barat.

Selain itu, juga dikucurkan Dana Tambahan Infrastruktur dalam kerangka Otonomi Khusus sebesar Rp2,5 triliun, dengan rincian untuk Provinsi Papua sebesar Rp2 triliun, dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp500 miliar.

Total dukungan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat di 2015 mencapai Rp9,557 triliun lebih.

Pada 2016 dialokasikan lagi dana otsus sebesar Rp7,7 triliun lebih, yang terdiri dari sebanyak Rp5,4 triliun lebih dialokasikan untuk Provinsi Papua, dan sebesar Rp2,3 triliun lebih untuk provinsi Papua Barat.

Selain itu, juga dikucurkan Dana Tambahan Infrastruktur dalam kerangka Otonomi Khusus sebesar Rp3,3 triliun, dengan rincian untuk Provinsi Papua sebesar Rp2,2 triliun, dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp1,1 triliun.

Total dukungan dana otsus dan dana tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat di 2016 mencapai Rp11 triliun.

Dengan demikian, total dana otsus dan dana tambahan infrastruktur yang dikucurkan pemerintah untuk Papua dan Papua Barat dalam tiga tahun terakhir ini (2014-2016) mencapai Rp29,824 triliun lebih. Terjadi peningkatan ratusan miliar setiap tahun.

Jika ditotalkan semenjak implementasi Undang-undang nomor 21 tahun 2001 yang menjadi landasan hukum otonomi khusus Papua, maka sampai 2016 sudah lebih dari Rp60 triliun dana otsus dan dana tambahan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah kepada Papua.

Sepanjang 2002-2013 pemerintah pusat menggelontorkan dana dengan judul Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat lebih dari Rp33 triliun (Rp28,84 triliun dari 2002-2010, dan lebih dari Rp5 triliun sejak 2011-2013).

Kini, pemerintah kembali mengalokasikan dana otsus untuk Papua dalam APBN 2017, yang nilainya mencapai Rp8 triliun, terdiri dari Rp5,6 triliun untuk Provinsi Papua, dan Rp2,4 triliun untuk Papua Barat.

Juga mendapat dana tambahan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus sebesar Rp3,5 triliun, yakni sebesar Rp2,6 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp875 miliar untuk Provinsi Papua Barat.

Dampak dana otsus
Sayangnya, selama 15 tahun UU Otonomi Khusus diberlakukan masih terdapat banyak penyimpangan, seperti proyek fiktif, kelebihan pembayaran yang tidak sesuai ketentuan, serta proyek terlambat dan tidak terkena denda, dan upaya pengamanan sebagian dana otsus di lembaga perbankan.

Banyak kalangan menilai sejak otonomi khusus diberlakukan perubahan kemajuan belum sesuai harapan, atau dengan kata lain keberadaan dana otsus nampaknya masih belum berdampak signifikan terhadap pembangunan daerah.

Perubahan PDRB Papua sejak diberlakukannya dana otonomi khusus hanya berubah sedikit, dan kemungkinan juga ditimbulkan karena inflasi.

Versi Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2000 dan 2001 PDRB Papua sebesar Rp18,41 triliun dan Rp21,6 triliun. Setelah dana otonomi khusus diberlakukan ternyata PDRB hanya meningkat menjadi Rp22,55 triliun (2003), dan Rp23,89 triliun (2004).

Selanjutnya, Provinsi Papua terbagi menjadi dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat, dan pascapemekaran wilayah itu PDRB Provinsi Papua berkembang cukup pesat menjadi Rp43,61 triliun (2005), Rp46,89 triliun (2006), Rp55,38 triliun (2007), Rp54,73 triliun (2008), Rp68,35 triliun (2009), dan Rp89,451 triliun (2010).

PDRB Provinsi Papua pada 2011 hingga 2014 diperkirakan sekitar Rp100 triliun per tahunnya.

Pada 2015 perekonomian Papua yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp152 triliun dengan PDRB perkapita mencapai Rp48,30 Juta.

Ekonomi Papua tahun 2015 tumbuh 7,97 persen, bergerak lebih cepat dibanding tahun 2014 (3,81 persen).

Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar 11,03 persen.

Pada 2016, PDRB Papua atas dasar harga berlaku pada triwulan I mencapai Rp37,29 triliun, dengan PDRB perkapita mencapai Rp11,68 juta.

Pada triwulan II 2016 PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp41,14 triliun dengan PDRB perkapita mencapai Rp12,83 juta.

Jika dihitung setahun, maka PDRB Papua di 2016 diperkirakan tidak jauh berbeda dengan 2015 meskipun terjadi peningkatan.

Selain itu, salah satu alasan utama bagi pemerintah untuk menerepkan kebijakan otonomi khusus yakni untuk mencapai pemerataan ekonomi, mengingat Papua memang mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan provinsi lain.

Sebelum pemberlakukan otonomi khusus, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan provinsi paling timur Indonesia ini termasuk daerah yang belakang.

Indikator IPM, selain faktor kesehatan dan daya beli, juga rata-rata tingkat pendidikan masyarakat setempat.

Pada 1996, IPM Provinsi Papua sebesar 60,2 berada pada posisi terbawah dan lebih rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7.

Setelah diberlakukan kebijakan Otonomi Khusus tidak banyak mengatasi ketertinggalan provinsi tersebut, karena sampai 2010 Provinsi Papua masih berada di posisi terbawah dari 34 provinsi dengan IPM sebesar 64,53 (IPM nasional sebesar 71,76).

Dengan indikator IPM itu, maka angka kemiskinan Provinsi Papua juga masih terpuruk, meskipun ada sedikit perubahan ke arah yang lebih baik.

Namun, setelah dilakukan penghitungan baru di 2014, IPM Provinsi Papua dilaporkan meningkat drastis dari 56,25 di 2013 menjadi 56,75 pada 2014.

BPS menyebut dalam kurun waktu 2010-2014, Pemprov Papua berhasil meningkatkan capaian pertumbuhan IPM sebesar 4,22 persen yang pada akhirnya menempatkan Papua di urutan delapan dari 33 provinsi.

Meski BPS juga menyatakan jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua sampai 2015 sebesar 28,7 persen dan itu tertinggi di Indonesia.

Di 2016 Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah kepemimpinannya mencapai 8,76 persen per tahun, dan mengklaimnya sebagai suatu kemajuan.

"Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahunnya. Hal ini berarti, pertumbuhan ekonomi Papua yang kian membaik sejalan dengan kesejahteraan masyarakat," ujar Lukas.

Penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua pada 2015 disebut menjadi 28,17 persen dibandingkan 2013 dengan tingkat kemiskinan mencapai 30,05 persen atau turun sebesar 1,88 persen.

Hanya saja, BPS menyatakan dengan pertumbuhan yang hanya sebesar itu tentu tidak mampu menarik PDRB Papua untuk mencapai pertumbuhan yang positif.

Bertolak dari sejumlah permasalahan dalam implementasi dana otsus di Papua, dan keinginan banyak pihak agar dana otsus triliunan rupiah itu dapat membawa perubahan yang berarti terutama dari aspek kesejahteraan masyarakat Papua, maka transparansi pemanfaatan dana tersebut menjadi amat penting.

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan bahwa 80 persen alokasi dana Otsus yang diterima Pemprov Papua diarahkan ke 29 kabupaten/kota, atau hanya 20 persen yang dikelola pemerintah provinsi.

Tentu gubernur dan jajarannya juga perlu menjelaskan secara transparan pola pengalokasiannya, agar tidak mencuat beragam pandangan negatif.

Evaluasi menyeluruh
Banyak kalangan yang menghendaki dilakukan evaluasi menyeluruh atas pemanfaatan dana otsus yang mencapai puluhan triliun itu, mengingat banyaknya keluhan yang mencuat.

Majelis Rakyat Papua (MRP) menyatakan masyarakat harus merasakan manfaat dana otsus yang dikucurkan pemerintah pusat dan dikelola pemerintah daerah.

Wakil Ketua II MRP Engel Berta Kotorok mengatakan banyak warga yang mengungkapkan bahwa mereka belum merasakan manfaat dana otsus, dalam rapat dengar pendapat terkait manfaat alokasi dana otsus di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua pada 9 Desember 2016, yang dihadiri berbagai kalangan.

"Yang masyarakat sampaikan seperti itu bahwa mereka belum merasakan secara langsung dampak dari adanya dana otsus," kata Engel Berta.

Oleh karena itu, kekecewaan masyarakat atas pengelolaan dana otsus untuk tiga bidang utama yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi itu patut disikapi secara serius.

Hal senada diungkapkan legislator dari Ketua Fraksi Hanura Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yan Mandenas, yang meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua mengubah format pembagian dana Otonomi Khusus (Otsus) ke kabupaten/kota yang kini masih menggunakan pola 80 persen untuk kabupaten dan 20 persen untuk provinsi.

Menurut dia, penerapan format 80-20 sejak 2014 dianggap belum membawa kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.

"Dari pantauan kami langsung di lapangan, banyak sekolah dari segi sarana dan prasarana serta tenaga pengajar belum mencapai target yang siginfikan," katanya.

Mandenas menyatakan dari penyerapan anggaran 80 persen dana Otsus ke daerah, pemerintah daerah tidak konsisten dari segi program, penyerapan bahkan sama sekali tidak transparan dalam penggunaan anggarannya.

"Kami minta setiap kepala daerah yang telah menjabat tiga tahun terakhir melakukan evaluasi setiap programnya. Apalagi anggaran yang masuk ke Papua cukup besar," ujarnya.

Terkait hal itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Papua Muhammad Musaad, mengaku telah menurunkan tim evaluasi ke 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua guna mengevaluasi penggunaan dana otsus.

"Hasil monitoring evaluasi (monev) yang dilakukan oleh tim kolaborasi nantinya akan dilaporkan kepada gubernur Papua untuk dipublikasikan," ujarnya.

Musaad mengakui adanya keluhan bahwa Otsus belum berpihak kepada orang Papua, sehingga evaluasi menyeluruh dipandang penting.

Diharapan tim monev yang dalam bekerja mendasari Perdasus Nomor 25 tahun 2013, meninjau ketaatan pengelolaan dana otsus, termasuk hasil dan sasaran yang dicapai di lapangan.

Terkait evaluasi itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Papua Benyamin Arisoy mengatakan keberadaan dana Otsus untuk penyelenggaraan layanan dasar.

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua mewajibkan pengelola dana otsus di tingkat kabupaten/kota untuk melaporkan pemanfaatannya tepat waktu.

"Kami berkomitmen, bagi yang tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Otsus, tahun depan tidak akan ditransfer, dan yang belum menetapkan APBD belum bisa ditransfer juga," katanya. (*)

Pewarta : Pewarta: Anwar Maga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024