PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia yang bermarkas di Amerika Serikat.
Kiprah PTFI di Indonesia dimulai sejak 1967 pada masa pemerintahan Soeharto, yang diawali dengan penandatanganan Kontrak Karya hingga PTFI dapat beroperasi di wilayah Irian Jaya (sekarang disebut Papua).
Freeport kemudian membangun area tambang pada areal yang mengandung bijih besi, tembaga, emas, dan perak, sesuai cakupan wilayah sebagaimana diatur dalam kontrak karya.
Kini, PTFI tengah dirundung permasalahan rumit terkait perundang-undangan yakni Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 170 yang menetapkan kewajiban pemegang Kontrak Karya perusahaan pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (smelter) di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU itu diundangkan.
Smelter merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapat tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir.
Proses tersebut juga meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian.
UU Nomor 4 Tahun 2009 itu memaksa PTFI harus mempertimbangkan dan melakukan studi kelayakan terhadap pendirian pabrik smelter di dalam negeri, dan merealisasikan smelter tersebut.
Pembangunan smelter itu pun harus mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian.
Namun, waktu terus berjalan dan hingga kini ternyata PTFI belum juga merealisasikan pembangunan smelter itu.
Sesungguhnya, PTFI telah berupaya seperti menjalin kerja sama dengan perusahaan PI Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia untuk pembangunan smelter pengolahan 60 persen konsentrat tembaga hasil penambangan PTFI pada 2013.
Penandatangan perjanjian kerja sama dengan kedua perusahaan lokal tersebut dilakukan oleh Rozik Boedioro Soetjipto selaku Presiden Direktur PTFI pada saat itu.
Akan tetapi pembangunan smelter itu belum juga terealisasi hingga Rozik diganti oleh Maroef Sjamsoeddin, yang kemudian PTFI menunjuk kota Gresik di Jawa Timur sebagai tempat pembangunan smelter, di lahan milik PT Petrokimia Gresik.
Freeport lebih memilih Gresik daripada Papua, padahal perusahaan tambang asal Amerika itu beraktivitas di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Smelter Freeport di Gresik itu sudah harus dibangun mulai 2015 dan diperkirakan selesai pada 2017, jika merujuk pada perjanjian yang ditandatangani Mei 2014, setelah Freeport menyerahkan uang jaminan pembangunan smelter sebesar 115 juta dollar AS.
Pilihan Gresik sebagai lokasi smelter erat kaitannya dengan limit waktu yang diberikan Pemerintah Indonesia yakni hanya 2,5 tahun. Jika harus membangun di Papua maka butuh waktu sekitar 4-5 tahun.
Apalagi, dalam hitungan Freeport, jika membangun smelter di Papua maka biaya yang dibutuhkan mencapai 1,5 miliar dolar AS, termasuk dana pembebasan lahan yang akan menjadi lokasi pabrik.
Karena itulah, Freeport lebih fokus membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, meski harus berurusan dengan kecaman, kritikan, dan amarah berbagai pihak, terutama pemerintah dan masyarakat Papua.
Namun, upaya Freeport itu ditentang habis-habisan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, yang tetap menghendaki smelter itu dibangun di Papua, yakni di Timika karena daerah itu akan dijadikan kawasan industri.
Selain pabrik smelter, kawasan industri Timika juga akan dipersiapkan untuk pembangunan pabrik semen, pupuk, ketersediaan tenaga listrik dan lainnya agar harga-harga bahan bangunan dan kebutuhan pokok lainnya di Papua bisa turun.
"Kita mau ada kawasan industri yang terbangun di Papua karena selama ini semua barang produksi didatangkan dari luar Papua terutama dari Makassar dan Surabaya. Akibatnya, anggaran belanja daerah sebagian besar dipakai untuk membiayai itu. Hampir 70 persen dari APBD Papua dananya terserap ke luar," ujar Lukas.
Sampai Maroef Sjamsoeddin mengundurkan diri dan jabatan Presiden Direktur PTFI yang kini dijabat oleh Chappy Hakim, persoalan smelter belum juga selesai.
Perpanjangan kontrak
Selain permasalahan smelter, PTFI juga tengah menghadapi permasalahan serius terkait izin perpanjangan kontrak karya PTFI.
Aktivitas PTFI akan genap berumur 60 tahun pada 2021, dan sesuai kontrak yang ditandatangani oleh PTFI, kontrak karya itu akan berakhir setelah 30 tahun dengan opsi perpanjangan satu kali dari waktu operasional perusahaan.
Dengan demikian, aktivitas PTFI akan berakhir di 2021 apabila pemerintah tidak menyetujui pengajuan perpanjangan kontrak karya yang diajukan oleh PTFI.
PTPFI ingin pemerintah memberi kepastian perpanjangan kontrak karya sampai 2041. Freeport berdalih jangka waktu perpanjangan kontrak karya selama itu lantaran perusahaan tambang itu membutuhkan dana banyak untuk membangun smelter di Indonesia.
Namun, hingga kini Pemerintah Indonesia belum juga memenuhi keinginan Freeport itu, yang tentunya masih harus mempertimbangkan banyak hal penting yang bermuara kepada kepentingan bangsa dan negara.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan permintaan perpanjangan kontrak karya Freeport itu masih dalam rapat maraton di Kementerian ESDM.
"Kita enggak mau `last minute`, kita cari stategi komperhensif, segala sesuatunya kita sedang cari, saya sendiri tidak suka `last minute`, makanya meeting-meeting sekarang itu maraton bagaimana cara terbaik," ujarnya.
Arcandra memastikan belum ada keputusan soal permasalahan Freeport karena begitu banyak aturan yang hubungannya dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri ESDM.
Selain itu, masih ada hal-hal yang belum sinkron dan perlu diperbaiki hingga pada akhirnya menjadi suatu keputusan.
"Termasuk rekomendasi pelarangan ekspor pada 12 Januari 2017, kemudian divestasi 10,64 persen saham Freeport juga masuk di situ. Secepatnya akan diumumkan, dan semoga ada solusi terbaik," ujarnya.
Pada 12 Januari 2017, PTFI tidak boleh mengekspor konsentrat karena izin ekspor akan berakhir pada 11 Januari 2017, dan Presiden Direktur PTFI Chappy Hakim berharap segera mendapatkan kejelasan izin perpanjangan ekspor konsentrat dari pemerintah.
Sebelumnya, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014, PT Freeport Indonesia mendapat rekomendasi surat persetujuan ekspor (SPE) konsentrat selama lima bulan yang berakhir 8 Agustus 2016, kemudian mendapat rekomendasi ekspor lagi yang batas waktunya 11 Januari 2017.
Alasan penerbitan PP dan Permen ESDM itu yakni untuk menghindari adanya kerugian yang lebih besar jika kegiatan usaha atau pun pertambangan dihentikan.
Meskipun kebijakan pemerintah itu sempat dipersoalkan Tim Pengacara Trisakti dan Nawacita yang mendaftarkan gugatan terkait izin ekspor PT Freeport Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 2 Februari 2015.
Dasar pengaduan itu yakni semestinya PTFI harus memenuhi kewajiban membangun smelter sesuai Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, yakni keharusan membangun smelter.
Ada kesan, pemerintah memaksakan penerbitan izin ekspor konsentrat Freeport itu, demi menghindari kerugian lebih besar yang akan dialami perusahaan tambang tersebut.
Selain itu, pemerintah mendasari niat baik PTFI untuk memenuhi kewajiban membangun smelter di Tanah Air, yang diwujudkan melalui jaminan kesungguhan pembangunan fasilitas pemurnian mineral PT Freeport Indonesia berbentuk nonuang.
Jaminan itu berupa kontrak-kontrak pengadaan dan pembangunan smelter Freeport dengan kontraktor.
Saat itu, Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu mengatakan Freeport menyatakan telah meneken engineering and procurement contract (EPC) sebesar 927 juta dolar AS dengan perusahaan asal Jepang, Chiyoda.
Sementara Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur bea keluar menyebutkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter tidak melulu dalam bentuk uang.
Itulah yang menjadi dasar Kementerian ESDM mengeluarkan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport mulai 10 Februari 2016 yang akan berakhir 11 Januari 2017 setelah sekali diperpanjang.
"Pembelian alat atau percepatan persiapan lokasi smelter itu bentuk kesungguhan juga," ujar Didu.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mensyaratkan Freeport harus menyetor 530 juta dolar AS sebagai jaminan agar dapat rekomendasi izin ekspor.
Namun, Menteri ESDM yang saat itu dijabat Sudirman Said kemudian melunak, dan menghapus kewajiban uang jaminan itu karena menilai keuangan Freeport dan perusahaan tambang secara umum sedang sulit.
Sudirman akhirnya memilih merunut pada kewajiban bea keluar, hingga menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2016 tentang Rekomendasi Izin Ekspor Mineral Hasil Pengolahan.
Meskipun tingkat kemajuan pembangunan smelter sama dengan capaian periode sebelumnya. Padahal dalam Peraturan Menteri ESDM serupa yang terbit di 2014, kemajuan pembangunan smelter harus minimal 60 persen dari target setiap enam bulan agar dapat rekomendasi ekspor.
Keresahan warga lokal
Ketidakpastian soal kelanjutan kontrak karya usaha pertambangan PT Freeport Indonesia setelah 2021 mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga lokal di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Mereka merasa situasi tersebut mengancam kelangsungan usaha para pelaku Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) lokal binaan PTFI.
Manajer Investasi Sosial PT Freeport Indonesia, Yahya Alkatiri, mengatakan kini terdapat 172 orang pengusaha asli Papua yang sedang dibina melalui program jaminan UMKM baik oleh PT Freeport maupun oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK).
Kelanjutan program jaminan UMKM itu erat kaitannya dengan kegiatan ekspor konsentrat hasil tambang PTFI.
Semenjak 2014 kegiatan ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak PTFI ke berbagai negara tujuan harus melalui perizinan dengan jangka waktu diperbaharui setiap enam bulan.
Kini, PT Freeport sudah sampai tahap perizinan ke enam negara yang akan berlaku hingga Januari 2017.
"Tidak hanya menyangkut masalah perizinan yang harus diperbaharui setiap enam bulan sekali, tapi juga menyangkut kepastian usaha Freeport pasca 2021. Saat ini negosiasi terus berjalan antara pemerintah dengan Freeport serta pihak-pihak terkait. Kita berharap semoga segera ada solusi," ujar Yahya.
Yahya menjelaskan sejak adanya pembatasan produksi maupun ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak PT Freeport pada 2014, alokasi dana kemitraan atau "dana satu persen" (satu persen dari pendapatan kotor PT Freeport) yang dikelola oleh LPMAK menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dengan menurunnya alokasi dana kemitraan yang diterima LPMAK, hal itu berpengaruh pada pelaksanaan program LPMAK yang memfokuskan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Suku Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan Papua lainnya (Mee, Moni, Nduga, Damal dan Dani).
"Memang benar kalau pendapatan kotor Freeport menurun maka secara otomatis kontribusi ke LPMAK juga menurun. Turunnya pendapatan Freeport disebabkan beberapa hal yaitu produksi tidak mencapai target, menurunnya harga komoditas di pasaran dunia atau juga karena masalah-masalah industrial yang menghambat pencapaian produksi," jelas Yahya.
Di sisi lain, PT Freeport terus mendorong kemandirian ekonomi warga lokal melalui program pengembangan UMKM.
Dari 172 pengusaha lokal binaan Freeport dan LPMAK, terdapat sekitar 1.400 tenaga kerja yang terserap melalui program tersebut.
"Selain menciptakan peluang usaha pekerjaan, pada saat bersamaan menghasilkan efek ganda sehingga dapat menggerakkan perekonomian warga secara keseluruhan," ujar Yahya.
Tantangan terbesar yang dihadapi PT Freeport maupun pemerintah daerah di Papua saat ini yaitu bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga lokal di sekitar tambang.
Sesuai studi LPM Universitas Indonesia pada 2013, ketergantungan ekonomi Kabupaten Mimika terhadap Freeport sekitar 91 persen.
Dalam rentang waktu hampir setengah abad keberadaan Freeport di Papua, kata Yahya, seharusnya secara perlahan-lahan ketergantungan masyarakat maupun Pemda setempat pada aktivitas pertambangan Freeport semakin berkurang.
"Upaya menuju kemandirian ekonomi masyarakat lokal menjadi tantangan dan pergumulan kita bersama agar ketergantungan ekonomi daerah tidak lagi terlalu dominan kepada Freeport. Setiap tahun dana investasi sosial yang dikucurkan Freeport baik melalui program community social maupun melalui LPMAK dan mitra-mitra terkait hampir mencapai 100 juta dollar AS," ujarnya.
"Seharusnya ini bisa disinergikan secara baik guna mendorong percepatan kemandirian warga lokal sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di berbagai sektor," tambah Yahya.
Disimpulkkan ketika PTFI tetap beroperasi maka setidaknya 30.004 orang karyawan yang terdiri dari 97,5 persen masyarakat Indonesia dan umumnya orang asli Papua bisa terselamatkan.
Namun, juga sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menanggapi dengan tegas pelanggaran yang dilakukan oleh PTFI terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama termasuk soal smelter, agar masyarakat Indonesia tidak dirugikan. (*)
Kiprah PTFI di Indonesia dimulai sejak 1967 pada masa pemerintahan Soeharto, yang diawali dengan penandatanganan Kontrak Karya hingga PTFI dapat beroperasi di wilayah Irian Jaya (sekarang disebut Papua).
Freeport kemudian membangun area tambang pada areal yang mengandung bijih besi, tembaga, emas, dan perak, sesuai cakupan wilayah sebagaimana diatur dalam kontrak karya.
Kini, PTFI tengah dirundung permasalahan rumit terkait perundang-undangan yakni Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 170 yang menetapkan kewajiban pemegang Kontrak Karya perusahaan pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (smelter) di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU itu diundangkan.
Smelter merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapat tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir.
Proses tersebut juga meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan pemurnian.
UU Nomor 4 Tahun 2009 itu memaksa PTFI harus mempertimbangkan dan melakukan studi kelayakan terhadap pendirian pabrik smelter di dalam negeri, dan merealisasikan smelter tersebut.
Pembangunan smelter itu pun harus mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian.
Namun, waktu terus berjalan dan hingga kini ternyata PTFI belum juga merealisasikan pembangunan smelter itu.
Sesungguhnya, PTFI telah berupaya seperti menjalin kerja sama dengan perusahaan PI Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia untuk pembangunan smelter pengolahan 60 persen konsentrat tembaga hasil penambangan PTFI pada 2013.
Penandatangan perjanjian kerja sama dengan kedua perusahaan lokal tersebut dilakukan oleh Rozik Boedioro Soetjipto selaku Presiden Direktur PTFI pada saat itu.
Akan tetapi pembangunan smelter itu belum juga terealisasi hingga Rozik diganti oleh Maroef Sjamsoeddin, yang kemudian PTFI menunjuk kota Gresik di Jawa Timur sebagai tempat pembangunan smelter, di lahan milik PT Petrokimia Gresik.
Freeport lebih memilih Gresik daripada Papua, padahal perusahaan tambang asal Amerika itu beraktivitas di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Smelter Freeport di Gresik itu sudah harus dibangun mulai 2015 dan diperkirakan selesai pada 2017, jika merujuk pada perjanjian yang ditandatangani Mei 2014, setelah Freeport menyerahkan uang jaminan pembangunan smelter sebesar 115 juta dollar AS.
Pilihan Gresik sebagai lokasi smelter erat kaitannya dengan limit waktu yang diberikan Pemerintah Indonesia yakni hanya 2,5 tahun. Jika harus membangun di Papua maka butuh waktu sekitar 4-5 tahun.
Apalagi, dalam hitungan Freeport, jika membangun smelter di Papua maka biaya yang dibutuhkan mencapai 1,5 miliar dolar AS, termasuk dana pembebasan lahan yang akan menjadi lokasi pabrik.
Karena itulah, Freeport lebih fokus membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, meski harus berurusan dengan kecaman, kritikan, dan amarah berbagai pihak, terutama pemerintah dan masyarakat Papua.
Namun, upaya Freeport itu ditentang habis-habisan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, yang tetap menghendaki smelter itu dibangun di Papua, yakni di Timika karena daerah itu akan dijadikan kawasan industri.
Selain pabrik smelter, kawasan industri Timika juga akan dipersiapkan untuk pembangunan pabrik semen, pupuk, ketersediaan tenaga listrik dan lainnya agar harga-harga bahan bangunan dan kebutuhan pokok lainnya di Papua bisa turun.
"Kita mau ada kawasan industri yang terbangun di Papua karena selama ini semua barang produksi didatangkan dari luar Papua terutama dari Makassar dan Surabaya. Akibatnya, anggaran belanja daerah sebagian besar dipakai untuk membiayai itu. Hampir 70 persen dari APBD Papua dananya terserap ke luar," ujar Lukas.
Sampai Maroef Sjamsoeddin mengundurkan diri dan jabatan Presiden Direktur PTFI yang kini dijabat oleh Chappy Hakim, persoalan smelter belum juga selesai.
Perpanjangan kontrak
Selain permasalahan smelter, PTFI juga tengah menghadapi permasalahan serius terkait izin perpanjangan kontrak karya PTFI.
Aktivitas PTFI akan genap berumur 60 tahun pada 2021, dan sesuai kontrak yang ditandatangani oleh PTFI, kontrak karya itu akan berakhir setelah 30 tahun dengan opsi perpanjangan satu kali dari waktu operasional perusahaan.
Dengan demikian, aktivitas PTFI akan berakhir di 2021 apabila pemerintah tidak menyetujui pengajuan perpanjangan kontrak karya yang diajukan oleh PTFI.
PTPFI ingin pemerintah memberi kepastian perpanjangan kontrak karya sampai 2041. Freeport berdalih jangka waktu perpanjangan kontrak karya selama itu lantaran perusahaan tambang itu membutuhkan dana banyak untuk membangun smelter di Indonesia.
Namun, hingga kini Pemerintah Indonesia belum juga memenuhi keinginan Freeport itu, yang tentunya masih harus mempertimbangkan banyak hal penting yang bermuara kepada kepentingan bangsa dan negara.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan permintaan perpanjangan kontrak karya Freeport itu masih dalam rapat maraton di Kementerian ESDM.
"Kita enggak mau `last minute`, kita cari stategi komperhensif, segala sesuatunya kita sedang cari, saya sendiri tidak suka `last minute`, makanya meeting-meeting sekarang itu maraton bagaimana cara terbaik," ujarnya.
Arcandra memastikan belum ada keputusan soal permasalahan Freeport karena begitu banyak aturan yang hubungannya dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri ESDM.
Selain itu, masih ada hal-hal yang belum sinkron dan perlu diperbaiki hingga pada akhirnya menjadi suatu keputusan.
"Termasuk rekomendasi pelarangan ekspor pada 12 Januari 2017, kemudian divestasi 10,64 persen saham Freeport juga masuk di situ. Secepatnya akan diumumkan, dan semoga ada solusi terbaik," ujarnya.
Pada 12 Januari 2017, PTFI tidak boleh mengekspor konsentrat karena izin ekspor akan berakhir pada 11 Januari 2017, dan Presiden Direktur PTFI Chappy Hakim berharap segera mendapatkan kejelasan izin perpanjangan ekspor konsentrat dari pemerintah.
Sebelumnya, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014, PT Freeport Indonesia mendapat rekomendasi surat persetujuan ekspor (SPE) konsentrat selama lima bulan yang berakhir 8 Agustus 2016, kemudian mendapat rekomendasi ekspor lagi yang batas waktunya 11 Januari 2017.
Alasan penerbitan PP dan Permen ESDM itu yakni untuk menghindari adanya kerugian yang lebih besar jika kegiatan usaha atau pun pertambangan dihentikan.
Meskipun kebijakan pemerintah itu sempat dipersoalkan Tim Pengacara Trisakti dan Nawacita yang mendaftarkan gugatan terkait izin ekspor PT Freeport Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 2 Februari 2015.
Dasar pengaduan itu yakni semestinya PTFI harus memenuhi kewajiban membangun smelter sesuai Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, yakni keharusan membangun smelter.
Ada kesan, pemerintah memaksakan penerbitan izin ekspor konsentrat Freeport itu, demi menghindari kerugian lebih besar yang akan dialami perusahaan tambang tersebut.
Selain itu, pemerintah mendasari niat baik PTFI untuk memenuhi kewajiban membangun smelter di Tanah Air, yang diwujudkan melalui jaminan kesungguhan pembangunan fasilitas pemurnian mineral PT Freeport Indonesia berbentuk nonuang.
Jaminan itu berupa kontrak-kontrak pengadaan dan pembangunan smelter Freeport dengan kontraktor.
Saat itu, Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu mengatakan Freeport menyatakan telah meneken engineering and procurement contract (EPC) sebesar 927 juta dolar AS dengan perusahaan asal Jepang, Chiyoda.
Sementara Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur bea keluar menyebutkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter tidak melulu dalam bentuk uang.
Itulah yang menjadi dasar Kementerian ESDM mengeluarkan rekomendasi ekspor konsentrat Freeport mulai 10 Februari 2016 yang akan berakhir 11 Januari 2017 setelah sekali diperpanjang.
"Pembelian alat atau percepatan persiapan lokasi smelter itu bentuk kesungguhan juga," ujar Didu.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mensyaratkan Freeport harus menyetor 530 juta dolar AS sebagai jaminan agar dapat rekomendasi izin ekspor.
Namun, Menteri ESDM yang saat itu dijabat Sudirman Said kemudian melunak, dan menghapus kewajiban uang jaminan itu karena menilai keuangan Freeport dan perusahaan tambang secara umum sedang sulit.
Sudirman akhirnya memilih merunut pada kewajiban bea keluar, hingga menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2016 tentang Rekomendasi Izin Ekspor Mineral Hasil Pengolahan.
Meskipun tingkat kemajuan pembangunan smelter sama dengan capaian periode sebelumnya. Padahal dalam Peraturan Menteri ESDM serupa yang terbit di 2014, kemajuan pembangunan smelter harus minimal 60 persen dari target setiap enam bulan agar dapat rekomendasi ekspor.
Keresahan warga lokal
Ketidakpastian soal kelanjutan kontrak karya usaha pertambangan PT Freeport Indonesia setelah 2021 mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga lokal di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Mereka merasa situasi tersebut mengancam kelangsungan usaha para pelaku Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) lokal binaan PTFI.
Manajer Investasi Sosial PT Freeport Indonesia, Yahya Alkatiri, mengatakan kini terdapat 172 orang pengusaha asli Papua yang sedang dibina melalui program jaminan UMKM baik oleh PT Freeport maupun oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK).
Kelanjutan program jaminan UMKM itu erat kaitannya dengan kegiatan ekspor konsentrat hasil tambang PTFI.
Semenjak 2014 kegiatan ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak PTFI ke berbagai negara tujuan harus melalui perizinan dengan jangka waktu diperbaharui setiap enam bulan.
Kini, PT Freeport sudah sampai tahap perizinan ke enam negara yang akan berlaku hingga Januari 2017.
"Tidak hanya menyangkut masalah perizinan yang harus diperbaharui setiap enam bulan sekali, tapi juga menyangkut kepastian usaha Freeport pasca 2021. Saat ini negosiasi terus berjalan antara pemerintah dengan Freeport serta pihak-pihak terkait. Kita berharap semoga segera ada solusi," ujar Yahya.
Yahya menjelaskan sejak adanya pembatasan produksi maupun ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak PT Freeport pada 2014, alokasi dana kemitraan atau "dana satu persen" (satu persen dari pendapatan kotor PT Freeport) yang dikelola oleh LPMAK menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dengan menurunnya alokasi dana kemitraan yang diterima LPMAK, hal itu berpengaruh pada pelaksanaan program LPMAK yang memfokuskan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Suku Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan Papua lainnya (Mee, Moni, Nduga, Damal dan Dani).
"Memang benar kalau pendapatan kotor Freeport menurun maka secara otomatis kontribusi ke LPMAK juga menurun. Turunnya pendapatan Freeport disebabkan beberapa hal yaitu produksi tidak mencapai target, menurunnya harga komoditas di pasaran dunia atau juga karena masalah-masalah industrial yang menghambat pencapaian produksi," jelas Yahya.
Di sisi lain, PT Freeport terus mendorong kemandirian ekonomi warga lokal melalui program pengembangan UMKM.
Dari 172 pengusaha lokal binaan Freeport dan LPMAK, terdapat sekitar 1.400 tenaga kerja yang terserap melalui program tersebut.
"Selain menciptakan peluang usaha pekerjaan, pada saat bersamaan menghasilkan efek ganda sehingga dapat menggerakkan perekonomian warga secara keseluruhan," ujar Yahya.
Tantangan terbesar yang dihadapi PT Freeport maupun pemerintah daerah di Papua saat ini yaitu bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga lokal di sekitar tambang.
Sesuai studi LPM Universitas Indonesia pada 2013, ketergantungan ekonomi Kabupaten Mimika terhadap Freeport sekitar 91 persen.
Dalam rentang waktu hampir setengah abad keberadaan Freeport di Papua, kata Yahya, seharusnya secara perlahan-lahan ketergantungan masyarakat maupun Pemda setempat pada aktivitas pertambangan Freeport semakin berkurang.
"Upaya menuju kemandirian ekonomi masyarakat lokal menjadi tantangan dan pergumulan kita bersama agar ketergantungan ekonomi daerah tidak lagi terlalu dominan kepada Freeport. Setiap tahun dana investasi sosial yang dikucurkan Freeport baik melalui program community social maupun melalui LPMAK dan mitra-mitra terkait hampir mencapai 100 juta dollar AS," ujarnya.
"Seharusnya ini bisa disinergikan secara baik guna mendorong percepatan kemandirian warga lokal sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di berbagai sektor," tambah Yahya.
Disimpulkkan ketika PTFI tetap beroperasi maka setidaknya 30.004 orang karyawan yang terdiri dari 97,5 persen masyarakat Indonesia dan umumnya orang asli Papua bisa terselamatkan.
Namun, juga sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menanggapi dengan tegas pelanggaran yang dilakukan oleh PTFI terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama termasuk soal smelter, agar masyarakat Indonesia tidak dirugikan. (*)