Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mewajibkan semua perusahaan tambang mineral dan batu bara milik asing yang telah beroperasi lebih dari 5 tahun untuk melakukan divestasi saham.

Regulasi tersebut tentunya juga berlaku bagi PT Freeport Indonesia (PTFI) selaku anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia yang bermarkas di Amerika Serikat.

Apalagi, PTFI beroperasi di Indonesia sejak 1967 pada masa pemerintahan Soeharto, yang diawali dengan penandatanganan Kontrak Karya hingga PTFI dapat beroperasi di wilayah Irian Jaya (sekarang disebut Papua).

Bahkan, kontrak karya PTFI akan berakhir pada tahun 2021, atau akan berakhir setelah 30 tahun dengan opsi perpanjangan satu kali dari waktu operasional perusahaan.

Berdasarkan ketentuan UU No. 4/2009 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012, perusahaan asing itu harus melepas 51 persen saham kepemilikannya secara bertahap kepada pemerintah Indonesia dan/atau swasta nasional.

Namun, kini ketentuan divestasi saham tidak lagi mengacu pada PP Nomor 24 Tahun 2012 semenjak diterbitkan PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral, yang ditandatangani presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Produk hukum yang ditandatangani SBY pada tanggal 14 Oktober 2014 atau seminggu sebelum melepas jabatan kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu, mewajibkan semua perusahaan pertambangan mineral dan batu bara asing untuk melakukan divestasi saham.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 PP Nomor 77 Tahun 2014 itu, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan pemilik IUP Khusus (IUPK) yang sudah melakukan eksplorasi sahamnya hanya boleh dimiliki asing sebesar 75 persen.

Untuk perusahaan pemegang IUP Operasi Produksi (OP) dan IUPK OP yang tidak sendiri melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, harus menjual sahamnya mencapai 51 persen.

Perusahaan pemegang IUP OP dan IUPK OP yang telah melakukan sendiri kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian, boleh dimiliki asing hingga 60 persen.

Perusahaan pemilik IUP OP dan IUPK OP yang telah melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan bawah tanah, untuk pihak asing diperbolehkan memiliki saham 70 persen.

Kegiatan divestasi akan dilakukan secara bertahap, mulai dari tahun kelima sebanyak 20 persen, tahun kesepuluh sebanyak 25 persen dan tahun kelima belas sebesar 30 persen.

Pemerintah Indonesia membolehkan perusahaan asing untuk mendivestasikan 30 persen saham, bagi perusahaan tambang yang melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground mining) dan tambang terbuka.

Ketentuan tersebut memberi kewajiban kepada PT Freeport Indonesia yang sudah melakukan kegiatan penambangan bawah tanah untuk mendivestasikan sahamnya hanya sebesar 30 persen, atau tidak lagi 51 persen sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2012.

Perubahan ketentuan divestasi saham itu mendorong Freeport untuk mempercepat proses pelepasan sahamnya.

Mekanisme penawaran saham divestasi dilakukan secara berjenjang, dan pemerintah pusat mendapat kesempatan pertama, kemudian pemerintah daerah tempat tambang tersebut beroperasi, lalu BUMN dan BUMD hingga ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional melalui pelelangan jika unsur pemerintah tidak ada yang berminat.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kemudian menggodok peraturan menteri yang memuat kewajiban divestasi saham yang lebih mendetail dan berisi sejumlah pembatasan.

Kementerian ESDM hendak merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham, namun hingga kini hasil revisi itu belum juga ditetapkan sebagai produk hukum, sehingga Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013 masih jadi acuan.

Divestasi Saham Freeport
Bertolak dari kewajiban divestasi 30 persen saham itu, Freeport masih harus melepas sahamnya sebesar 20,64 persen pihak nasional Indonesia karena pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport.

Pada bulan Januari 2016, Freeport menawarkan 10,64 persen sahamnya kepada pemerintah dengan nilai 1,7 miliar dolar AS.

Versi Freeport penetapan harga saham tersebut sudah melalui analisis nilai pasar yang wajar sesuai dengan hak jangka panjang dalam Kontrak Karya.

Namun, penawaran Freeport itu tidak langsung disetujui pemerintah, karena Kementerian ESDM masih meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu untuk menghitung ulang harga saham yang merujuk pada mekanisme "replacement cost".

Mekanisme itu yakni biaya penggantian atas kumulatif investasi yang dikeluarkan sejak tahap eksplorasi sampai tahun kewajiban divestasi.

Ketentuan itu tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kementerian ESDM berharap saham Freeport bisa diturunkan dari 1,7 miliar dolar AS menjadi 630 juta dolar AS.

Pemerintah berdalih harga saham Freeport McMoRan (FCX), induk usaha Freeport Indonesia tergerus jadi 4,2 dollar AS per lembar saham, merosot tajam jika dibandingkan harga saham FCX tahun 2010 sebesar 6,04 dollar AS per lembar saham.

Patokan harga ini pun tak wajar mengingat harga tembaga dan emas merosot tajam. Valuasi 100 persen saham FCX hanya senilai 16,2 miliar dollar AS dan utang membengkak sebesar 20,7 miliar dollar AS per 30 September 2015.

Kebijakan pelarangan ekspor mineral juga turut memengaruhi kinerja finansial Freeport.

Dalam sembilan bulan pertama tahun 2015, Freeport Indonesia menjual 549 juta pound tembaga (harga 2,45 dollar AS per lembar) atau 1,35 miliar dollar AS, dan emas mencapai 891.000 ons (harga 1.149 dollar per ons) atau 1,02 miliar dollar AS. Padahal, pada periode yang sama tahun 2014, penjualan tembaga Freeport mencapai 664 juta pound dan 1,2 juta ons emas.

Pendapatan operasional dari Indonesia mencapai 383 juta dollar AS. Pada periode yang sama, induk usaha Freeport (FCX) mencatat penjualan 12,08 miliar dollar AS dan rugi operasional 9,28 miliar dollar AS.

Total aset tambang Grasberg (tambang bawah tanah) Freeport mencapai 8,97 miliar dollar AS.

Total cadangan emas Grasberg mencapai 29,8 juta ons dan tembaga 30 miliar pound. Kontribusi tembaga Grasberg ke FCX mencapai 27 persen dan emas 95 persen.

Jika dibandingkan dengan harga 61,4 saham tambang Martabe (Sumatera Utara) yang dijual G-Resources kepada Djarum dan Wilmar Group, harga 10,64 persen tentu sangat berbeda jauh.

Djarum dan Wilmar hanya membeli saham G-Resources di tambang Martabe senilai 800 juta dollar AS.

Tambang Martabe memiliki cadangan emas senilai 7,4 juta ons dan 70 juta ons perak. Nilai tambang Martabe pada harga sekarang 8,07 miliar dollar AS (emas) dan 1,05 miliar dollar AS (perak). Sementara nilai cadangan Grasberg sebesar 32,7 miliar dollar AS (emas) dan 60 miliar dollar AS (tembaga).

Martabe diakuisisi 1/11 dari nilai cadangan, sementara Grasberg dinilai 1/6. Biaya produksi dan profit margin tambang Martabe memang lebih rendah dibandingkan Grasberg yang harus mengeksplorasi tambang underground, seperti Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone, Deep Mill Level Zone, dan Deep Ore Zone.

Direktur Center for Indonesia Resources Studies (Cirruss) Budi Santoso juga menilai harga 10,64 persen saham sebesar 1,7 miliar dolar AS yang ditawarkan PT Freeport Indonesia itu terlalu mahal.

Budi menduga kuat Freeport memasukkan cadangan emas dan tembaga di perut bumi hingga tahun 2041 sebagai komponen penghitungan aset mereka.

"Menurut Kontrak Karya Freeport, cadangan emas dan tembaga belum menjadi milik si penambang sebelum mereka membayar kewajibannya. Freeport itu overplanning," ujar Budi.

Dengan demikian, jika cadangan tidak masuk komponen perhitungan, portofolio Freeport hanya didasari nilai aset dan kinerja operasionalnya.

Menurut penghitungan Budi, total aset Freeport pada 2021 diperkirakan tidak lebih dari 11,6 miliar dolar As.

Perhitungan tersebut didasari asumsi aset Freeport 2014 sebesar 9,1 miliar dolar AS dan total laba bersih 2016-2021 senilai 2,5 miliar dolar AS. Jika mengacu pada perhitungan ini, 10,64 persen saham yang dilepas dihargai sekitar 1,2 miliar dolar As.

Bahkan, laba bersih Freeport per tahun diprediksi berkurang lantaran anjloknya harga komoditas di pasar global.

Berdasarkan catatan Budi, torehan laba bersih Freeport tahun 2014 senilai 500 juta dolar AS dibanding 2013 sebesar 784 juta dolar AS.

"Apa mungkin 5 tahun ke depan akan ada kenaikan laba? Saya sulit percaya," kata Budi, sembari meminta pemerintah lebih teliti dalam mengevaluasi nilai saham.

Selain itu, dalam penghitungan itu juga harus mencantumkan ramalan nilai komoditas tembaga dan emas Freeport hingga 5 tahun ke depan.

Oleh karena itu, Pemerintah membentuk tim untuk melakukan evaluasi harga divestasi saham Freeport. Tim itu bisa berasal dari lintas kementerian, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan (Ditjen Kekayaan Negara, BKF, Ditjen Pajak), BUMN, BKPM, dan BPKP.

Perbedaan cara menilai saham antara Freeport dan pemerintah itu tak kunjung menemui titik temu hingga kini, hampir setahun semenjak Freeport melakukan penawaran.

Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pemerintah masih harus melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai divestasi saham Freeport, mengingat berbagai kemungkinan masih harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh pemerintah.

"Itu transaksi juga belum selesai. Begini ya, kalau bisa diambil negara diambil negara. Negara itu bisa yayasan dana pensiun dan segala macam. Lalu kalau berat diambil BUMN, atau BUMD kalau enggak ya dikontraknya Freeport ada itu, pilihan IPO itu. Nanti lihat PP nya saja," ujar Jonan saat berada di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 27 Desember 2016.

Jonan pun belum dapat memastikan kapan keputusan akan diberikan pemerintah terkait divestasi saham Freeport.

"Tahap sekarang saya pikir terserah pemerintah aja maunya. Ini diselesaikan dahululah. Ya, sudah itu saja, ruwetlah pokoknya," ujarnya.

Hal serupa diungkapkan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyonoi.

"Masih mekanisme harga belum ketemu. Masih `stay` dengan harga kemarin (pemerintah dan Freeport) dan perbedaan mekanisme," ujarnya.

Menurut Bambang, tidak ada batasan waktu kapan Freeport harus menerima penawaran yang diajukan pemerintah.

"Mekanisme masih dinegosiasikan dan tidak ada aturannya penawarannya. Tapi kita terus lihat perkembangannya," ujarnya.

Keinginan Pemprov Papua
Gubernur Papua Lukas Enembe mengungkapkan keinginan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua mendapatkan 10,64 persen saham yang ditawarkan PT Freeport.

Gubernur Papua periode 2013-2018 itu mengaku akan berusaha sekuat mungkin agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua mendapatkan bagian dari divestasi saham PT Freeport Indonesia itu.

Ia terus menjalin komunikasi dengan pihak Freeport untuk memastikan Pemprov Papua mendapatkan sebagian saham perusahaan tambang tersebut sesuai dengan regulasi yang ada.

Menurut Enembe, kesempatan untuk mendapatkan saham Freeport ini sulit untuk terulang kembali, karenanya ia meminta semua pihak untuk mendukung hal tersebut.

"Kita dahulu ada 17 item yang kemudian diakomodir Presiden ada 11, salah satunya adalah permintaan saham. Waktu itu memang kita minta di zaman Presiden SBY sebelum berakhir, 10,64 persen itu harus untuk Papua," ujar Lukas.

Namun, ia juga menegaskan bahwa Pemprov Papua tidak mau bila ada pihak ketiga, dalam hal ini pihak swasta yang terlibat dalam proses pembelian saham Freeport bagi Papua.

"Kita tidak punya uang, tapi kalau melibatkan pihak ketiga ini akan berdampak tidak bagus bagi kami. Pengalaman Newmont sudah ada, jadi yang terbaik itu yang kita minta. Kita juga harus lihat model blok Mahakam, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, kenapa kita tidak cari seperti itu untuk di Freeport," ucap dia.

"Kita sudah punya tim untuk ke sana, untuk mencari jalan terbaik bagi Papua sehingga paling tidak pemerintah dan masyarakat Papua bisa mendapatkan itu dengan cara yang lebih mudah," sambung Lukas.

Ia pun mengingatkan pemerintah pusat bahwa Pemprov Papua harus mendapat saham Freeport karena hal tersebut sangat berkaitan dengan segala aspek kehidupan di Papua.

"Ada yang bilang pemerintah mau ambil semua, ini bukan persoalan ekonomi saja, ini juga persoalan politik. Kita diskusi terus supaya masa depan Freeport ada kepastian dan investasi bisa jalan," ujarnya.

Hanya saja, Pemprov Papua menilai penawaran divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 10,64 persen dengan nilai 1,7 miliar dolar AS itu terlalu tinggi.

"Kalau melihat sekarang sahamnya mereka saja sudah sangat rendah, nanti pasti kita bisa menilai. Silakan saja mereka mengatakan bahwa aset mereka sebesar itu, tetapi nanti riilnya akan ada konsultan yang anak menilainya. Saya pikir ini terlalu tinggi," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Bangun Manurung.

Manurung pun menegaskan bahwa bila pemerintah pusat tidak ingin mengambil alih saham PTFI secara langsung, Pemprov Papua siap bila diberikan kewenangan tersebut walau diakui secara finansial ada keterbatasan.

"Kita tahu pemerintah pusat tidak berniat untuk mengambil saham itu, kita juga heran kenapa pemerintah tidak mau ambil? Akan tetapi, kalau nanti Pemprov Papua yang akan ambil, pasti gubernur juga akan menunjuk badan swasta yang independen untuk menilai menilai aset PTFI," kata Manurung. (*)

Pewarta : Pewarta: Anwar Maga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024