Kontroversi Freeport yang menolak berbagai aturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) membuat berbagai anggota DPR mendukung ketegasan pemerintah dalam menghadapi perusahaan itu.

Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto mengatakan Freeport sebagai perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Republik Indonesia harus menaati regulasi yang diatur oleh pemerintah.

"Kalau Freeport mau mengekspor konsentrat, tentu harus melalui IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus)," kata Agus Hermanto yang berasal dari Partai Demokrat itu.

Agus menegaskan DPR mendukung langkah pemerintah untuk menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bagi Freeport.

Dia mengatakan bahwa mungkin saja Freeport tidak berkenan dengan aturan tersebut, tapi yang jelas apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Minerba.

Sebagaimana diketahui, dengan berlakunya UU Minerba, maka seluruh bentuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya harus segera diubah menjadi IUP atau IUPK setelah habis masa waktunya dan melakukan penyesuaian isi perjanjian atau kontrak dengan ketentuan UU Minerba paling lambat 1 tahun setelah UU Minerba berlaku.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu menyatakan, keberanian dan konsistensi pemerintah untuk tegas menegakkan UU No 4/2009 antara lain terkait dengan divestasi saham 51 persen, perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam proses produksi, membangun smelter, perpajakan, dan bernegosiasi dengan investor dalam batas wajar yang saling menguntungkan.

Semua hal tersebut, menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, dinilai akan menunjukkan siapa sesungguhnya yang menjadi tuan atas seluruh sumber daya alam, serta siapa yang sesungguhnya berdaulat di bawah tanah, di atas tanah bahkan di udara Republik Indonesia.

Adian menegaskan Indonesia tidaklah menolak atau anti-investor asing, tetapi yang diinginkan adalah sama seperti harapan semua bangsa, yaitu berbagi dengan adil.

"Jika Freeport tidak mau bersikap adil setelah 48 tahun mendapatkan keistimewaan yang menguntungkan maka tidaklah salah jika sekarang pemerintah bersikap tegas," katanya.

Dia berpendapat bahwa pilihan Freeport adalah antara patuh dan menghormati UU Minerba yang dibuat bersama pemerintah dan DPR, serta peraturan lainnya di bahwa UU tersebut.

Bila perusahaan tersebut keberatan, lanjutnya, maka pilihan kedua adalah segera berkemas dan mencari tambang emas di negara lain.

Bahkan, sejumlah orang seperti Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan secara prinsip dirinya mendukung adanya wacana untuk menasionalisasi Freeport yang dinilai sebagai kewajiban negara sesuai perintah UUD 1945.

"Secara prinsip saya dukung pemerintah untuk menasionalisasi Freeport," kata Hidayat.

Menurut Hidayat memang sudah seharusnya pemerintah melakukan nasionalisasi tidak hanya kepada Freeport tetapi juga kontrak karya lainnya yang merugikan RI.

Politisi PKS itu juga mendukung sikap tegas yang diambil pemerintah terhadap Freeport karena hal tersebut merupakan bagian dari mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional.
 
Ubah KK
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan sudah saatnya PT Freeport Indonesia mengubah statusnya dari rezim kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Irawan mengingatkan, Freeport sebenarnya sudah diberi kelonggaran untuk membangun smelter bila ingin mempertahankan KK.

Namun, lanjutnya, kesempatan pertama telah diberikan pemerintah hingga 2014 untuk membangun smelter, tetapi tidak dibangun.

Politisi Partai Gerindra itu mengingatkan, Freeport kemudian telah diberikan kesempatan hingga tiga tahun lagi hingga Januari 2017, tetapi tidak juga kunjung dibangun.

"Faktanya, Freeport belum juga menyelesaikan smelter yang mereka janjikan. Nol persen secara fisik," ungkap Irawan.

Untuk itu, ujar dia, sesungguhnya bukan pemerintah yang memaksa Freeport menjadi IUPK, tetapi karena perusahaan tersebut tidak bisa membangun smelter.

Sedangkan Anggota Komisi VII DPR Rofi Munawar menyatakan, proses renegosiasi yang dilakukan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan secara transparan dan hasil yang ada harus menegakkan amanat Undang-Undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.

"Proses renegoisasi kontrak karya antara Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan secara transparan, sehingga ada kejelasan iklim investasi, keberlangsungan produksi, peningkatan pembelian barang dan jasa," kata Rofi Munawar.

Menurut politisi PKS itu, ada baiknya kedua belah pihak berkomunikasi dan mendorong ruang publik untuk memonitoring setiap perubahan yang terjadi dalam koridor hukum yang berlaku.

Pemerintah selama ini, ujar dia, cenderung lunak atas berbagai kewajiban yang telah diamanatkan UU Minerba terhadap perusahaan kontrak karya seperti Freeport tersebut.

Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilihat dari berbagai aturan relaksasi yang dikeluarkan pemerintah sejak UU No 4/2009 ini disahkan.

"Akibatnya, polemik dengan PT Freeport Indonesia terus terjadi karena arah kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak transparan," kata Rofi.

Ia mencontohkan, proses monitoring pembangunan smelter yang ternyata tidak dikendalikan oleh pemerintah dan tidak dijalankan dengan serius oleh Freeport.
 
Strategi kuno
Sebelumnya, lembaga Indonesia for Global Justice (IGJ) meminta pemerintah Republik Indonesia untuk tidak menghiraukan ancaman gugatan perusahaan pertambangan Freeport dan terus konsisten mengimplementasikan amanat UU No 4/2009 tentang Minerba.

"Upaya hukum yang akan dilakukan oleh Freeport terhadap pemerintah Indonesia adalah strategi kuno yang dipakai untuk meningkatkan posisi tawarnya," kata Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, di Jakarta, Selasa (21/2).

Rachmi mengingatkan jangan sampai pengalaman gugatan Newmont pada 2014 terulang kembali karena perusahaan pertambangan tersebut dinilai menggugat hanya untuk meningkatkan posisi tawarnya.

Terbukti, lanjutnya, setelah Newmont mencabut gugatannya pada 25 Agustus 2014, kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan izin ekspor untuk Newmont terhitung sejak 18 September 2014 hingga 18 Maret 2015.

Menurut Rachmi, gugatan Freeport nantinya hanya akan menambah daftar panjang pengalaman Indonesia atas gugatan Investor terhadap Negara atau yang dikenal dengan istilah Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

Dia memaparkan, berdasarkan Kontrak Karya, mekanisme penyelesaian sengketa yang dipilih adalah melalui UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law).

Sejauh ini, 60 persen dari gugatan ISDS terhadap Indonesia ada di sektor tambang.

Indonesia adalah satu-satunya Negara di kawasan ASEAN yang konsisten menolak ISDS.

Penolakan ini didasari atas dampak ISDS terhadap hilangnya ruang kebijakan negara.

"Apalagi, 'chilling effect' (dampak mengerikan) yang ada pada mekanisme ISDS secara tidak langsung telah menjadi alat oleh korporasi multinasional untuk memberikan kekebalan hukum atas pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan nasional," paparnya.

Berjalan dulu
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan ingin perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia berjalan terlebih dulu dan tidak ingin mengandaikan akan terjadi jalan buntu selama prosesnya.

"Saya tidak mau berandai-andai. Biarkan saja jalan. Saya kira sekarang semua masih berjalan baik," kata Luhut ditemui di Kantor Kementerian Keuangan di Jakarta, Jumat (24/2).

Luhut menyerahkan perkembangan negosiasi dengan Freeport kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan memilih untuk membiarkan prosesnya berjalan terlebih dahulu.

Sementara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan pemerintah sudah siap jika pihak PT Freeport Indonesia benar-benar membawa kasus perubahan status kontrak karya ke Mahkamah Arbitrase Internasional.

"Tidak hanya siap menghadapi, tapi pemerintah juga bisa membawa kasus ini ke arbitrase," kata Jonan usai pengukuhan mahasiswa baru Program Doktor, Magister di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kamis (23/2).

Menteri ESDM mengatakan gugatan ke arbitrase itu memang lebih baik dilakukan Freeport jika tidak menerima syarat-syarat yang diajukan pemerintah. (*)

Pewarta : Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024