Timika (Antara Papua) - Uskup Timika Mgr John Philip Saklil Pr mendesak Pemkab Mimika, Provinsi Papua, membuat program perlindungan dusun-dusun sagu masyarakat Suku Kamoro di pesisir supaya tidak habis dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

"Saya minta kepada pemerintah daerah untuk membuat program perlindungan dusun-dusun masyarakat, khususnya lahan-lahan sagu. Kalau dusun sagu dijual habis atau dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit maka orang Kamoro akan miskin total," kata Uskup Saklil di Timika, Sabtu.

Uskup mengkritik progra beras untuk masyarakat prasejahtera (rastra/raskin) yang justru membuat perubahan pola konsumsi warga lokal Papua.

Pada gilirannya, ketergantungan masyarakat Papua terhadap beras kelak bakal memicu krisis pangan.

Warga Papua, katanya, selama ini tidak pernah mengandalkan beras untuk makanan pokok sehari-hari, tetapi mengandalkan sagu, umbi-umbian.

"Sekarang orang Kamoro tidak tahu makan sagu lagi. Kita sudah merusak pola hidup mereka. Kalau dia mau makan nasi, dia harus kerja keras untuk mencari uang. Tapi kalau sagu, dia tinggal pergi pangkur di hutan, karena tersedia dalam jumlah sangat banyak. Dia tidak akan pernah mengalami krisis pangan," kata Uskup Saklil yang juga Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Uskup mengatakan jajarannya siap membangun dan menjalin kerja sama dengan Pemkab Mimika guna melindungi dusun-dusun sagu masyarakat Suku Kamoro agar tidak habis dijual atau dikonversi menjadi lokasi permukiman bahkan dijadikan lahan perkebunan seperti kelapa sawit.

Dalam kesempatan itu, Uskup Saklil mengkritik kebijakan Pemkab Mimika yang memberikan perizinan bagi PT Pusaka Agro Lestari (PAL) dan perusahaan-perusahaan perkebunan lainnya yang telah mengembangkan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar mencapai puluhan ribu hektare di dataran rendah Mimika.

"Sekarang ini PAL sudah kasih habis ribuan hektare hutan dan dusun sagu masyarakat untuk jadi perkebunan kelapa sawit. Saya minta pemerintah berhenti dengan program kelapa sawit. Masyarakat Papua tidak makan kelapa sawit. Lebih baik pemerintah dorong penanaman sagu karena sagu merupakan sumber pangan dan masa depan mereka," ujarnya.

Uskup Saklil berharap Pemda di Papua melindungi dan terus memperbaharui sumber-sumber pangan masyarakat lokal, daripada merusak hutan atau lingkungan dengan tanaman lain yang justru mematikan kehidupan masyarakat lokal.

"Tepung sagu itu bisa diolah menjadi mi, menjadi gula dan banyak manfaat lainnya. Kita kembangkan itu saja daripada mengembangkan tanaman lain yang tidak bisa langsung dikonsumsi oleh masyarakat. Perlindungan pangan lokal penting sekali, apalagi untuk masyarakat Kamoro. Kita bisa menyelamatkan mereka, kalau dusun sagunya tidak punah," kata Uskup Saklil.

Ia juga meminta dukungan dari PT Freeport untuk mengamankan dusun sagu masyarakat Kamoro.

Sejak 2007 Koperasi Maria Bintang Laut Keuskupan Timika telah bekerja sama dengan PT Freeport mengembangkan perkebunan sagu seluas 86 hektare di Kampung Nayaro, Distrik Mimika Baru.

Menurut Uskup Saklil, saat ini tanaman sagu di Nayaro tersebut sudah bisa dipanen. Sagu-sagu yang ditanam di Nayaro jenis unggul yang didatangkan dari Sentani, Jayapura.

"Saya harapkan agar bibit sagu unggul itu diperbanyak dan disebar di kampung-kampung lain di wilayah pesisir Mimika. Sagu Sentani itu batangnya besar-besar sehingga bisa bertahan cukup lama untuk konsumsi masyarakat," demikian Uskup Saklil. (*)

Pewarta : Pewarta: Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024