Timika (Antara Papua) - Praktisi pendidikan di Kabupaten Mimika Ignatius Adii menganjurkan agar pemerintah daerah di Tanah Papua memperbanyak pembentukan lembaga pendidikan berpola asrama guna menampung semakin banyak anak asli setempat.
Berbicara kepada Antara di Timika, Selasa, Adii mengatakan generasi Papua yang hebat-hebat lahir melalui tempaan lembaga pendidikan berpola asrama pada era 1940-an hingga 1980-an.
Namun kini model pendidikan yang dikembangkan sejak zaman kolonial Belanda itu mulai ditinggalkan atau kurang mendapat perhatian sehingga ikut melunturkan kualitas pendidikan secara keseluruhan di Papua.
"Saya berharap pendidikan berpola asrama itu bisa dibuka di berbagai tempat di Papua sehingga anak-anak asli yang kurang mendapat perhatian dari orang tua bisa ditampung, dibina dan dididik di lembaga itu," kata Adii, mantan Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Jayawijaya (YPJ) itu.
Ia secara khusus menyoroti kualitas pendidikan di kalangan masyarakat Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika yang dinilainya jalan di tempat, bahkan lebih mundur dari kondisi 1970-an hingga 1990-an.
Kondisi geografis yang bergunung-gunung di pedalaman, sementara di pesisir berawa dengan kampung yang terpencar-pencar dipisahkan sungai yang lebar-lebar membuat tidak semua guru mau bertugas di wilayah yang sulit dan terisolasi tersebut.
Di sisi lain, katanya, warga Amungme dan Kamoro selama puluhan tahun menggantungkan hidup dari bantuan PT Freeport Indonesia sehingga membuat masyarakat menjadi manja dan kurang memperhatikan aspek pendidikan putra-putri mereka.
"Kalau mau jujur sekarang SDM Amungme dan Kamoro sangat tertinggal jauh di belakang dibanding suku-suku lain di Papua. Kondisi sumber daya alam yang subur dan melimpah membuat mereka kurang berjuang, apalagi dengan kehadiran Freeport. Padahal di tempat lain, karena alamnya kurang subur maka orang dituntut bekerja keras untuk bisa makan dan menyekolahkan anak," ujar Adii menjelaskan.
Adii yang juga menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Mimika itu merasa prihatin dengan adanya gejala `proyeknisasi` kini masuk ke sekolah-sekolah.
"Pendidikan di Indonesia sekarang ini dikelola ke arah sistem proyeknisasi. Tanpa uang, seolah-olah pendidikan tidak bisa dikelola dengan baik. Ini sinyal berbahaya," katanya.
Dia sepakat dengan ajakan berbagai pihak untuk memberi perhatian serius pada pendidikan dalam keluarga sebagaimana semangat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Pendidikan yang paling utama dan terutama itu ada dalam keluarga masing-masing. Sebab anak-anak itu 90 persen tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Karena itu, setiap orang tua wajib menanamkan nilai-nilai yang baik bagi anak-anak mereka," ujar Adii.
Ia juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat melalui nilai-nilai adat-istiadat, budaya dan sosial mereka untuk mendukung terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak bangsa.
Selain itu faktor yang tidak kalah penting yaitu pemerataan ekonomi di kalangan masyarakat agar memiliki kemampuan untuk bisa menyekolahkan anak dan memberikan gizi yang baik kepada putra-putri mereka.
"Kualitas pendidikan di suatu daerah akan berkembang bagus jika ekonomi masyarakat di wilayah itu diperhatikan dan diurus oleh pemerintah. Saya juga tidak sepakat kalau semua lembaga pendidikan digratiskan, lalu di mana peran orang tua? Sebuah sekolah yang bermutu tinggi tentu membutuhkan biaya yang besar. Tanggung jawab ini tidak bisa seluruhnya hanya dibebankan kepada pemerintah," ujarnya. (*)
Berbicara kepada Antara di Timika, Selasa, Adii mengatakan generasi Papua yang hebat-hebat lahir melalui tempaan lembaga pendidikan berpola asrama pada era 1940-an hingga 1980-an.
Namun kini model pendidikan yang dikembangkan sejak zaman kolonial Belanda itu mulai ditinggalkan atau kurang mendapat perhatian sehingga ikut melunturkan kualitas pendidikan secara keseluruhan di Papua.
"Saya berharap pendidikan berpola asrama itu bisa dibuka di berbagai tempat di Papua sehingga anak-anak asli yang kurang mendapat perhatian dari orang tua bisa ditampung, dibina dan dididik di lembaga itu," kata Adii, mantan Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Jayawijaya (YPJ) itu.
Ia secara khusus menyoroti kualitas pendidikan di kalangan masyarakat Suku Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika yang dinilainya jalan di tempat, bahkan lebih mundur dari kondisi 1970-an hingga 1990-an.
Kondisi geografis yang bergunung-gunung di pedalaman, sementara di pesisir berawa dengan kampung yang terpencar-pencar dipisahkan sungai yang lebar-lebar membuat tidak semua guru mau bertugas di wilayah yang sulit dan terisolasi tersebut.
Di sisi lain, katanya, warga Amungme dan Kamoro selama puluhan tahun menggantungkan hidup dari bantuan PT Freeport Indonesia sehingga membuat masyarakat menjadi manja dan kurang memperhatikan aspek pendidikan putra-putri mereka.
"Kalau mau jujur sekarang SDM Amungme dan Kamoro sangat tertinggal jauh di belakang dibanding suku-suku lain di Papua. Kondisi sumber daya alam yang subur dan melimpah membuat mereka kurang berjuang, apalagi dengan kehadiran Freeport. Padahal di tempat lain, karena alamnya kurang subur maka orang dituntut bekerja keras untuk bisa makan dan menyekolahkan anak," ujar Adii menjelaskan.
Adii yang juga menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Mimika itu merasa prihatin dengan adanya gejala `proyeknisasi` kini masuk ke sekolah-sekolah.
"Pendidikan di Indonesia sekarang ini dikelola ke arah sistem proyeknisasi. Tanpa uang, seolah-olah pendidikan tidak bisa dikelola dengan baik. Ini sinyal berbahaya," katanya.
Dia sepakat dengan ajakan berbagai pihak untuk memberi perhatian serius pada pendidikan dalam keluarga sebagaimana semangat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Pendidikan yang paling utama dan terutama itu ada dalam keluarga masing-masing. Sebab anak-anak itu 90 persen tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Karena itu, setiap orang tua wajib menanamkan nilai-nilai yang baik bagi anak-anak mereka," ujar Adii.
Ia juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat melalui nilai-nilai adat-istiadat, budaya dan sosial mereka untuk mendukung terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak bangsa.
Selain itu faktor yang tidak kalah penting yaitu pemerataan ekonomi di kalangan masyarakat agar memiliki kemampuan untuk bisa menyekolahkan anak dan memberikan gizi yang baik kepada putra-putri mereka.
"Kualitas pendidikan di suatu daerah akan berkembang bagus jika ekonomi masyarakat di wilayah itu diperhatikan dan diurus oleh pemerintah. Saya juga tidak sepakat kalau semua lembaga pendidikan digratiskan, lalu di mana peran orang tua? Sebuah sekolah yang bermutu tinggi tentu membutuhkan biaya yang besar. Tanggung jawab ini tidak bisa seluruhnya hanya dibebankan kepada pemerintah," ujarnya. (*)