Korowai adalah salah satu daerah yang hingga kini masih terisolasi di pedalaman Provinsi Papua. Daerah ini berada di persimpangan Kabupaten Yahukimo, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat.

Kehidupan suku yang baru ditemukan sekitar 30 tahun lalu itu masih primitif. Disebut primitif karena pola hidup warga suku itu berpindah-pindah dan membuka kampung baru. Pada kampung yang dibuka, mereka membangun dua rumah yakni rumah panggung biasa dan rumah diatas pucuk pohon atau lebih dikenal dengan sebutan "rumah pohon" di hutan sekitar kampung.

Sebenarnya, dua rumah itu tidak layak huni karena hanya beratapkan daun sagu yang dijahit dan disusun rapi saling tindih satu sama lainnya. Dinding rumah terbuat dari pelepah dari daun pohon sagu atau biasa disebut gaba-gaba.

Kebiasaan warga suku itu lebih memilih tinggal berminggu-minggu diatas rumah pohon di hutan untuk mencari nafkah sehari-sehari yakni berburu babi hutan dan kus-kus pohon, rumah panggung biasa yang dibangun, jarang ditempati. Selain berburu, mereka nyaman tinggal dirumah pohon karena terhindar dari ular dan binatang buas.

Transportasi satu-satunya ke kawasan suku Korowai dengan menggunakan pesawat berbadan kecil dan helikopter namun harus dicarter/disewa dengan biaya pulang pergi berkisar antara Rp40-Rp50 juta.

Dari kampung yang satu ke kampung lainnya menggunakan sungai dan juga jalan kaki berkilo-kilo meter melewati hutan rimba. Kebanyakan masyarakat menggunakan perahu ketinting mengarungi sungai dari kampung ke kampung.

Hingga kini, tidak ada pemerintahan seperti Kepala Desa, kelurahan, ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), hanya ada kepala kampung dan kepala suku yang berkuasa. Para penginjil atau pendeta yang menetap untuk melayani warga.

Tidak ada tenaga kesehatan seperti perawat, bidan dan dokter yang menetap untuk melayani kesehatan warga dari kampung-kampung. Kasus kesehatan seperti kesakitan dan kematian warga pada suku terasing itu silih berganti mencuat di media massa baik lokal maupun nasional.

Kasus Kesehatan Korowai
Pada Rabu, 29 Maret 2017 puluhan mahasiswa berunjuk rasa di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Gedung DPRP, pada Rabu, dengan agenda meminta pemerintah peduli pada urusan kesehatan suku Korowai yang hidup terpencil di pedalaman.

"Setiap tahun ada sekitar 60 orang meninggal dunia dari suku Korowai akibat sakit yang tidak pernah mendapat pelayanan kesehatan," kata Ketua Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan (TPKP) Rimba Papua, Norberd Kemi Bobii, saat berdemo di kantor Dinas Kesehatan Provinsi Papua di Jayapura.

Menurut Bobii, aksi damai ini dilakukan sebagai refleksi kemanusiaan di tengah derasnya Otonomi Khusus Papua dan melimpahnya laba Freeport yang diterima pemerintah, banyak warga Papua belum mendapatkan pelayanan sektor kesehatan.

Dia mengatakan secara khusus masyarakat Korowai, perlu mendapat perhatian serius, jangan ada pembiaran karena ini berdampak terhadap angka harapan hidup yang kian menipis atau rendah dan berdampak terhadap pendidikan dan ekonomi masyarakat setempat.

Pendemo meminta korelasi antarpemerintah pusat, provinsi dan kabupaten agar dapat bersama-sama baik eksekutif maupun legislatif melihat persoalan tersebut gagar benar-benar diperhatikan secara berkelanjutan.

"Saat ini banyak penyakit yang menyebabkan suku Korowai meninggal, seperti penyakit kaki gajah, disentri, dan malaria," ujarnya.

Upaya Dinkes Papua
Dari kasus itu, Dinas Kesehatan Provinsi Papua tak tinggal diam. Pada 29 Maret 2017 Dinas Kesehatan Provinsi membentuk tim tanggap darurat untuk diturunkan ke perkampungan Suku Korowai, di perbatasan Kabupaten Yahukimo, Asmat, Boven Digoel dan Nduga yang nyaris warganya tak tersentuh pelayanan kesehatan di provinsi itu.

Pembentukan tim kesehatan itu untuk menyikapi unjuk rasa mahasiswa korowai menuntut pemerataan pelayanan kesehatan yang dilakukan di Kantor Dinas Kesehatan Papua pada Rabu (29/3).

Selain membentuk tim, Dinas Kesehatan Provinsi Papua juga mengirim beragam jenis obat ke Korowai. Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Papua, Aaron Rumainum di Jayapura, Selasa, mengatakan obat itu dibawa oleh tim darurat kesehatan Korowai yang dibentuk oleh Dinkes Papua untuk menangani masalah kesehatan Suku Korowai.

Pada 22 April 2017 Dinkes Papua memberangkatkan tim dari Jayapura ke Yahukimo kemudian melanjutkan perjalanan ke Korowai. Tim yang dikirim terdiri dari dua perawat dan satu dokter, mereka melakukan perjalan melalui pelabuhan logpon, Kabupaten Yahukimo dengan menggunakan spetboad menyusuri sungai pada 24 April 2017.

Tim itu melakukan perjalanan dengan menggunakan spedboad ke di Distrik Kolofbrasa, salah satu distrik yang dekat dengan beberapa kampung yang dikabarkan 60 orang meninggal dunia. Kemudian melanjutkan perjalanan ke beberapa kampung itu dengan bersusah payah menggunakan perahu ketinting melewati untuk melakukan pelayanan kesehatan dari kampung ke kampung.

Selain itu, memastikan kematian 60 orang tersebut. Kampung-kampung yang didatangi yakni Kampung Amakot, Otmakot, Ayak, dan kampung Buruk Makot. Beberapa kampung ini berada di Kabutapaten Yahukimo.

Pelayanan kesehatan yang dilakukan selama kurang lebih selama dua minggu dua minggu itu di antaranya memberikan obat kepada anak-anak dan orang dewasa tapi juga melakukan pemeriksaan kesehatan. Tim yang diturunkan juga melakukan pemeriksaan penyakit kaki gajah.

Selain pemeriksaan, tim melakukan sosialisasi dan mengajak warga untuk minum obat kaki gajah secara bersama. Setelah pelayanan dilakukan, tim meninggalkan obat kepada para penginjil dimasing-masing kampung, setelah diajar bagimana memberikan obat kepada warga, dengan harapan dapat melayani warga yang menderita sakit.

Kasus Korowai kembali mencuat
Kasus kesehatan di Korowai kembali mencuat di media massa pada Oktober 2017. Pada 8 Maret 2017 Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan (TPKP) Rimba Papua menggelar jumpa pers terkait anak Putih Hatil, salah satu anak di Korowai yang menderita bisul dipipi kiri.

Sekretaris Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan (TPKP) Rimba Papua, Soleman Itlay mengatakan, kasus Puti Hatil, anak lelaki berusia tiga tahun yang menderita bisul di pipi kirinya hingga berlubang, menggambarkan buruknya kondisi kesehatan suku Korowai, di selatan Papua.

Ia mengatakan wilayah Korowai berada di batas lima kabupaten yakni Boven Digoel, Asmat, Mappi, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. "Masih banyak masyarakat dan anak Korowai menderita, tidak mendapat pelayanan kesehatan. Jangan ketika ada kasus, banyak orang ingin ke Korowai. Kesehatan dan sumber daya manusia Korowai yang harus diperhatikan," kata Soleman Itlay, salah satu anggota TPKP Rimba Papua.

Pada 30 September 2017 Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua mendapat kabar dari Trevor Jhonson, misionaris berkebangsaan Amerika itu melalui whatsApp. Trevor memberikan informasi kepada Dinkes Papua karena belakangan ini Dinas terus memberikan dukungan berupa obat-obat kepadanya untuk melayani warga Korowai.

Pasien itu dikirim dari Korowai ke Jayapura pada Selasa, 2 Oktober 2017 tiba langsung di jemput di Bandara Sentani lalu dibawa ke Rumah Sakit Dian Harapan, Waena, Abepura, Kota Jayapura. "Mengapa, karena pasien yang masih tergolong anak ini terdapat luka yang menganga di bagian rahangnya, dan perlu penanganan serius," kata Sekretaris Dinas Kesehatan Papua dr Silwanus Sumule.

Kemudian, Rabu 4 Oktober 2017, dokter di RS Dian Harapan mendiagnosis bahwa luka di bagian rahang akibat infeksi, tetapi tidak menutup kemungkinan sebagai kangker.Pembiayaan pasien itu selama di rumah sakit baik perawatan hingga tindakan operasi digratiskan dengan menggunakan Kartu Papua Sehat (KPS).

Tidak hanya penanganan dirumah sakit, Putih Hatil memicu Dinkes Papua berupaya membentuk tim untuk turun ke Korowai mengecek langsung dilapangan apakah pasien seperti Putih Hatil yang belum tertolong.

Tim Save Korowai-Kemenkes
Senin,23 Oktober 2017 Dinas Papua mengirim tim yang diberi nama "Save Korowai" ke pedalaman Korowai dengan membawa makanan dan perlengkan yang diperlukan warga setempat. Tim yang dipimpin oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Papua, dr Aaron Rumainum dan didampingi langsung oleh Kadinkes Papua, Aloysius Giyai berangkat dengan membawa 60 karton Makanan Pendamping ASI (MPASI) dengan bobot 480 kg dan juga obat-obatan.

Kadinkes Papua Aloysius Giyai mengatakan tim Dinkes yang dikirim untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan tentang kesehatan kepada warga Suku Korowai sekaligus melakukan pendataan terhadap penduduk setempat, sehingga Dinkes Papua bisa merumuskan rekomendasi serta kebijakan strategis berkelanjutan di wilayah Korowai tiga tahun mendatang yang dikoordinir langsung oleh Dinkes Papua.

Pemikiran menurunkan tim ke Korowai juga juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. Senin,23 Oktober 2017 sore, tim terpadu Kemenkes dari Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel tiba di Bandara Korowai Batu.

Tim terpadu yang dipimipin oleh Gunawan Wahyu Nugroho dari Direktorat Survailans dan Karantina Kesehatan/epidemolog tim gerak cepat, tiba di Korowai Batu sekitar pukul 15.00 WIT lalu bersama tim "Save Korowai" Dinkes Papua, bertatap muka dengan Trevor Jhonson, salah satu misionaris yang bertugas di Danowage, Korowai Batu, Senin malam. Kedua tim ini berdiskusi dengan Trevor karena dirinya sudah melakukan pelayanan kesehatan dari kampung ke kampung disekitar wilayah suku Korowai.

Melalui diskusi, kedua tim mendapat gambaran terkait beragam penyakit yang diderita warga suku Korowai. Keesokan harinya, Selasa, 24 Oktober 2017 siang, tim berkemas untuk berangkat ke kampung Sinimburu lalu melanjutkan perjalanan ke Kampung Afi Mabul/Kapayap III, namun perahu ketinting, satu-satunya transportasi melalui sungai ke Kampung Sinimburu hanya dua sehingga perjalanan dibatalkan karena tidak cukup memuat 10 orang dari dua tim tersebut.

Kedua tim memutuskan untuk tinggal dan melakukan pelayanan kesehatan di Kampung Danowage, Rabu sore. Pelayanan kesehatan yang dilakukan saat itu yakni mengukur panjang bayi, menimbang bayi dan ibu hamil (bumil) serta pemberian imunisasi kepada bayi dan anak-anak yang belum mendapat imunisasi.

Selanjutnya, pemeriksaan sipilis dan malaria kepada warga. Disela-sela pelayanan itu, kedua tim membagikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) kepada ibu hamil dan juga biskuit kepada anak-anak. Antusias warga untuk membawa anaknya cukup tinggi. Dari pelayanan dilakukan, tim menemukan banyak anak berambut kuning karena diduga kekurangan gizi, dua pasien dengan gejala kaki gaja.

Tim ke Sinimburu-Afi Mabul
Rabu,25 Oktober 2017 pagi, kedua tim mulai bersiap menuju Kampung Sinimburu. Disela-sela persiapan, tim kaget dengan harga satu ketinting yang dipatok cukup tinggi. Satu perahu ketinting harganya Rp5 juta. Meski harga ketinting selangit, namun tak mengurungkan semangat kedua tim. Masing-masing anggota tim mengumpulkan dana untuk membayar ketinting.

Lima belas juta rupiah terkumpul untuk membayar lima perahu ketinting yang disiapkan. Muatan lima perahu ketinting itu bervarasi. Perahu ketinting yang mengangkut obat-obatan dan barang hanya memuat dua orang, perahu ketinting yang muatan barangnya kurang mampu mengangkut tiga sampai lima orang melewati sungai yang warnanya seperti kopi susu.

Hujan rintik-rintik mewarnai perjalanan ke Kampung Sinimburu, Distrik Yaniruma, Kabupaten Boven Digoel. Perjalanan ke Sinimburu memakan waktu dua jam. Sekitar pukul 12.00 WIT lima ketinting yang membawa dua tim itu tiba di Sinimburu. Setiba di Sinimburu langsung membayar beberapa warga kampung itu untuk memikul barang sekaligus tas yang dibawa sekaligus penunjuk jalan.

Panasnya terik matahari membakar tubuh, keringat mengalir silih berganti membasahi tubuh ketika tim tiba di Sinimburu. Perjalanan dari Sinimburu ke Kampung Afi Mabul/Kapayap III ditempuh dengan jalan kaki. Masing-masing anggota tim bertanya-tanya terkait berapa jam perjalanan. Warga yang mengantar memberikan jawaban bervariasi. Ada yang mengatakan perjalanan hanya membutuhkan waktu tiga jam, ada yang mengatakan dua jam, lainnya mengatakan perjalanan amat jauh, membutuhkan waktu kurang lebih enam jam.

Hanya jalan setapak yang dilalui ke Afi Mabul/Kapayap III dengan melewati hutan rimba dengan pepohonan tinggi, sungai-sungai kecil bermodalkan titian kayu yang ditebang. Jika tidak hati-hati saat menyebrang kayu maka langsung jatuh. Sebagian anggota tim terpaksa memilih merayap mengikuti titian kayu karena takut jatuh. Selain titian kayu, air yang menggenangi hutan sagu berkilo-kilo meter juga dilalui.

Lintah dengan berbagai bentuk mulai dari kecil hingga besar siap mengisap darah setiap kaki-kaki yang menginjak dedaunan yang sudah hancur ditanah. Bahkan ada linta yang langsung menyerang di leher dan punggung. Lapar dan dahaga melalahkan tubuh para anggota kedua tim. Sehingga, buah nenas yang ditanami warga ditengah hutan terpaksa diambil guna menghilangkan dahaga untuk sementara. Beberapa anggota tim, terpaksa memotong akar-akar kayu yang mengeluarkan air untuk diminum sebagai pengganti air aqua.

Sungguh melelahkan, perjalanan yang dilewati dengan lika-liku di tengah hutan rimba ini memakan waktu enam jam. Tim Dinkes Papua lebih dahulu tiba pada pukul 18.00 WIT. Selanjutnya, tim terpadu dari Kemenkes tiba pada pukul 19.00 WIT. Ternyata, jalan setapak itu menghubungkan dua Kabupaten. Masing-masing anggota tim kaget ketika tiba di kampung Afi Mabul/Kapayap III. Pasalnya, papan desa kampung itu tertera tulisan Kampung Afi Mabul/Kayap III Distrik Kolofbarasa, Kabupaten Asmat.

Pelayanan Kesehatan di Afi Mabul
Kampung Afi Mabul/Kapayap III tak pernah tersentuh oleh pelayanan kesehatan dan pelayanan lainnya oleh Pemerintah Kabupaten Asmat. Kamis, 26 Oktober 2017 pagi, Tim terpadu dari Kementerian Kesehatan mengecek kebenaran penderita Noma di Kampung Afi Mabul/Kapayap III.

"Kami dari Tim Kementerian Kesehatan terpadu untuk penanganan kasus Noma dan penyakit lainnya, sudah sampai di Kampung Afi Mabul, tempat tinggal Putih Atil yang dilaporkan menderita penyakit Noma," kata Gunawan Wahyu Nugroho dari Survailens dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan. Saat mengecek ke lokasi tempat tinggal Putih Atil, tim terpadu Kemenkes didampingi tim Dinkes Papua.

Gunawan menjelaskan banyak faktor yang menyebabkan Noma, penyakit akut akibat gizi kronis, luka di mulut bervariasi dan bisa pecah sehingga ada robek. "Namun, setelah dicek di lokasi tidak ada penderita Noma lagi di sini (Kamung Afi Mabul). Dari 180 penduduk yang ada di Kampung Afi Mabul," ujarnya.

Di kampung itu, kata dia, ditemukan pasien dengan dugaan menderita tuberkulosis (TB) tetapi sudah ditangani, dan harus segera dibawa ke Jayapura untuk pengobatan selanjutnya. "Kebetulan tim Dinkes Papua dari Jayapura juga sudah siap untuk menangani kasus tersebut. Memang ini termasuk daerah yang terisolir, tetapi saya lihat sudah ada beberapa pasien yang sudah disuntik imunisasi berarti sudah pernah ada pelayanan kesehatan," katanya.

Masyarakat di Afi Mabul, menurut dia, umumnya makan pisang dan sagu, sehingga secara bertahap mereka harus bisa mendapatkan gizi yang baik dan pelayanan kesehatan yang baik pula.

"Kami hadir di sini karena Negara Kesatuan Republik Indonesa (NKRI) dan kesehatan itu dijamin oleh pemerintah. Ini adalah wilayah pedalaman yang terisolir, tidak bisa diatasi hanya lewat sungai, tetapi kita harus masuk lewat hutan-hutan dengan jalan setapak yang cukup berat medannya, tetapi tim bisa sampai juga," ujarnya.

Setelah mengecek rumah Putih Hatil, tim Kemenkes dan Dinkes melakukan pelayanan kesehatan kepada warga. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Papua, dr Aaron Rumainum. "Kami membuka pelayanan kesehatan di Kampung Afi Mabul/Kapayap III, Kampung Afi Mabul ini masuk Distrik Kalofbrasa, Kabupaten Asmat," ujarnya.

Menurut dia, masyarakat setempat mengatakan bahwa belum ada petugas puskesmas dari puskesmas Kolofbrasa yang datang ke Kampung Afi Mabul untuk memberikan pelayanan kesehatan. "Mereka mengatakan bahwa biasanya dapat bantuan obat-obatan dari Pater Yan untuk pengobatan penyakit yang diderita," ujarnya. "Pelayanan kesehatan yang kami lakukan adalah pengobatan, penimbangan ibu hamil, imunisasi, pemberian vitamin A, dan juga pemberian makanan tambahan," sambungnya.

Terdapat sekitar 50 pasien yang dilayani, belum termasuk pemberian vitamin A dan 20-an anak pada program imunisasi, dan sekitar tiga ibu hamil yang dilayani. Dia mengatakan umumnya masyarakat di kampung itu menderita sakit gigi, sakit kulit, dan satu pasien kaki gajah, ada juga hernia reponibel. "Kami juga meninggalkan obat untuk masyarakat di sana sambil memberitahukan dosisnya dan obat ini untuk apa, dan cara penggunaannya bagimana seperti obat batuk, obat sakit gigi, obat kulit atau kaskado, obat betadine untuk luka dan juga kasa untuk membalut luka-luka yang baru," ujarnya.

"Ada satu pasien penderita tubercolosa (TB) yang akan dirujuk ke Jayapura untuk mendapat perawatan selanjutnya, ada juga pasien yang hernia tapi masih menunggu apakah mau dioperasi atau tidak, hernia yang diderita masih derajat pertama atau reponibel," tambah Aaron. Dia menyebut masyarakat di Kampung Afi Mabul sangat mengharapkan ada tenaga kesehatan yang tinggal bersama-sama dengan mereka.

Dokter Aaron memastikan penyakit Noma yang sebelumnya disebut diderita pasien anak yang bernama Putih Atil yang juga asalnya dari Kampung Afi Mabul yang kini dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan Abepura, tidak benar. "Kami sudah cek tapi tidak ada, kebanyakan anak-anak di sana menderita cacingan tapi kami sudah memberikan obat cacing kepada anak-anak itu dan juga vitamin-vitamin utuk ibu hamil," ujarnya.

Tim terpadu dari Kementerian Kesehatan juga menggelar pelayanan imunisasi kepada sejumlah anak suku Korowai yang berdomisili di Kampung Afi Mabul/Kapayap III, Distrik Kolofbrasa, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. "Kami melakukan pelayanan imunisasi campak kepada 20 anak, ada sekitar 13 anak untuk imunisasi DPT, ada sekitar tujuh anak yang kita berikan imunisasi polio," kata Hakimi dari Subdit Imunisasi Kementerian Kesehatan.

Menurut Hakimin, pihaknya akan menyerahkan data imunisasi yang dilakukan kepada Pemerintah Kabupaten Asmat agar supaya dilanjutkan pelayanan imunisasi berikutnya, karena intervalnya minimal satu bulan. "Kalau misalnya kedepannya kita berharap di sini ada petugas kesehatan disini yang bisa melayani mereka seterusnya," ujarnya.

"Kami sudah ke Kampung Afi Mabul/Kapayap III dan melakukan pelayanan imunisasi, anak-anak disini sudah pernah mendapatkan imunisasi ditandai dengan bekas scarbiseje ditangannya, tetapi tidak semuanya, masih sedikit,memang pelayanan kesehatan di kampung ini tidak begitu baik," ujarnya lagi. Dia menambahkan, Tim dari Kementerian Kesehatan itu terdiri dari sub bidang Survailens Kemenkes, sub bidang PPTK Kemenkes, dan sub bidang Gizi Kemenkes.

"Jadi kami ingin memastikan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan di wilayah Afi Mabul," ujarnya. Selain pelayanan imunisasi, tim terpadu dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengecek kebenaran penderita Noma di Kampung Afi Mabul/Kapayap III, Distrik Kolofbrasa, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. "Kami dari Tim Kementerian Kesehatan terpadu untuk penanganan kasus Noma dan penyakit lainnya, sudah sampai di Kampung Afi Mabul, tempat tinggal Putih Atil yang dilaporkan menderita penyakit Noma," kata Gunawan Wahyu Nugroho dari Survailens dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan. (*)

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024