Wamena (Antaranews Papua) - Bupati Jayawijaya nonaktif John Wempi Wetipo menilai rencana Penjabat Sementara Bupati Jayawijaya Doren Wakerkwa terkait dengan denda adat dari pemerintah sebesar Rp3 miliar kepada korban konflik antarkampung di Jayawijaya merupakan kebijakan tidak masuk akal.

John Wempi Wetipo yang cuti karena mengikuti pilkada ketika ditemui Antara di Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa, mengatakan bahwa besaran denda tersebut nantinya merupakan yang pertama kali terjadi sejak dia memimpin Kabupaten Jayawijaya.

Ia tidak ingin bentrokan warga menjadi bisnis atau lahan, tempat orang berperang dahulu, baru pemerintah yang bayar.

Kalau Pjs Bupati Jayawijaya menjanjikan Rp3 miliar, dia mempersilakan yang bersangkutan mencari uang, baru membayar.

Hal itu, lanjut dia, pada saat berjanji, Doren Wakerkwa berbicara mewakili Gubernur Papua, Asisten 1 Provinsi Papua, sebagai Kepala Satpol PP Provinsi Papua, dan Pjs. Bupati Jayawijaya.

Karena masa jabatan penjabat sementara bupati akan berakhir pada tanggal 23 Juni 2018, Wempi mengharapkan janji itu tidak ditingalkan menjadi beban untuk bupati dan wakil bupati definitif.

"Kalau penjabat bupati tidak selesaikan janjinya membayar Rp3 miliar, saya akan arahkan masyarakat untuk bertemu dengan Asisten 1 di Provinsi Papua. Dari pada masalah ini sampai terbawa ke Provinsi, sekarang bagaimana caranya menepati janji untuk membayar Rp3 miliar," katanya.

John Wempi mengatakan bahwa dirinya sudah menerima informasi dari kepala distrik di daerah konflik antarkampung bahwa mereka telah menyediakan 30 ekor babi untuk keluarga korban. Namun, belum diserahkan karena masih menunggu uang Rp3 miliar dari Pemkab Jayawijaya.

"Satu kampung dibebani empat ekor babi (untuk ditambah menjadi 30 ekor) dan masyarakat menyanggupi itu. Namun, sekarang mereka masih tunggu dana Rp3 miliar, jangan sampai massa menunggu terlalu lama dan ini menimbulkan konflik baru. Kalau Pjs. Bupati sudah mengatakan membayar Rp3 miliar, silakan cari uang untuk membayar," katanya.

Berdasarkan pengalaman, menurut John Wempi, denda adat paling tinggi yang pernah dibayarkan pemerintah Jayawijaya adalah Rp600 juta, yaitu untuk penyelesaian kasus batalion sebesar Rp200 juta, dan kasus Polres Jayawijaya sebesar Rp400 juta.

"Proses membayar ini bukan budaya orang Baliem dan sebagai anak Baliem saya sangat malu dengan adanya kebijakan ini. Saya tidak mau ini (denda) menjadi kebiasaan masyarakat. Nanti perang tetapi minta bayar kepala kepada pemerintah," katanya.

John juga mengatakan bahwa pada pembahasan APBD Jayawijaya 2018 telah di-"posting" anggaran untuk stabilitas keamanan. Akan tetapi, uang itu sudah habis dalam waktu singkat tanpa tujuan yang tidak jelas.

"Jangan datang di sini latihannya lain tetapi permainannya lain. Ini tidak boleh. Saya minta Pjs. Bupati selesaikan masalah ini. Jangan setelah saya kembali (menjabat), masalah ini ditujukan buat saya," katanya.

Sebelumnya, terjadi konflik antarwarga dua kampung di Jayawijaya dan menyebabkan seorang meninggal dunia. (*)

Pewarta : Marius Frisson Yewun
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024