Jayapura (Antaranews papua) - Akademisi dari Kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, Rhidian Yasminta Wasaraka berpendapat, kehidupan budaya dari suku Korowai di wilayah selatan Papua terbilang sangat unik, terutama dilihat dari nilai-nilai kesetaraan dalam sebuah relasi.

"Sebenarnya yang menarik di Korowai itu bukan hanya soal kemampuan mereka membangun rumah di atas pohon yang tinggi, namun lebih dari itu," kata Rhidian yang akrab disapa Dian di Kota Jayapura, Papua, Sabtu.

Perempuan beranak satu itu mengaku sedang melanjutkan riset tentang Suku Korowai sejak awal 2016, selain mengkaji dari sisi etnografi budaya suku itu secara umum.

"Ternyata mereka (suku Korowai) adalah suku yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dalam sebuah relasi, entah itu dari manusia dengan alam ataupun dengan sesama manusia, termasuk didalamnya hubungan antara orang tua dan anak serta hubungan antara laki-laki dan perempuan," katanya.

"Saking setaranya hingga mereka sebenarnya tidak punya pelapisan strata sosial, semisal kepala suku ataupun panglima perang. Awalnya saya ragu, namun ketika saya berkonsultasi dengan Prof Rupert Stach, hal tersebut dibenarkan oleh beliau," lanjut wanita yang pernah menjadi asisten dan mitra penelitian dari pakar Antropologi dunia tersebut.

Menurut dia, dalam suku Korowai bisa dilihat bagaimana posisi seorang wanita, terutama ibu mertua dari garis perempuan itu sangat dihormati, sehingga untuk tata krama dan sopan santun tidak boleh seorang anak menantu laki-laki menatap wajah mertua perempuannya.

Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, didalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Misalnya didalam rumah tangga, hampir tidak ada pembangian kerja yang nyata berdasarkan gender, sebaliknya hampir semua dilakukan secara bersama-sama.

"Entah itu membuat kebun, tokok sagu ataupun dalam hal pengasuhan anak semua bisa dilakukan secara bergantian dengan suami atau si ayah. Sesuatu yang sangat jarang terjadi didalam sebuah suku yang menganut sistem patrilineal, dalam kebudayaan mereka hanya pada hal yang sangat prinsip seperti mengandung, menyusui dan melahirkan saja yang tidak bisa diserahkan pada laki-laki," ujar wanita lulusan pascasarjana Antroplogy Universitas Cenderawasih itu.

Ketika ditanya apa rencana lanjutan dari hasil penelitian tersebut, Dian, yang juga tercatat sebagai dosen di Kampus STIKOM Muhammadiyah Jayapura itu menjelaskan bahwa akan kembali ke wilayah selatan Papua untuk melanjutkan risetnya setelah memenangkan dana hibah penelitian dari Ford Foundation melalui ajang Cipta Media Kreasi.

"Saya masih harus kembali satu kali lagi ke Korowai untuk mengikuti pesta ulat sagu yang benar-benar diadakan oleh masyarakat dan bukan pesta ulat sagu untuk turis, saya perlu melihat bagaimana peran para wanita Korowai diperhelatan yang sangat penting tersebut," katanya.

Dia yang juga terkenal sebagai aktivis lingkungan itu berharap dari hasil riset atau penelitiannya itu bisa dipublikasikan kepada khalayak luas, agar masyarakat bisa tahu dan mengenal lebih jauh soal budaya dan kehidupan dari suku Korowai yang ada di Papua.

"Saya berharap hasil dari penelitian ini akan dicetak dalam bentuk buku dan akan dipamerkan tahun depan di Jakarta dan di Jayapura. Saya berharap juga buku dan pemeran ini bisa sedikit memberikan informasi yang benar tentang suku Korowai, karena sayang ada yang kerap menggambarkan mereka kolot, terbelakang dan kanibal," katanya.

"Padahal sejatinya dari kebudayaan mereka yang murni ini, kita bisa mengambil pelajaran tentang hubungan yang seimbang antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam. Doakan saja semoga semuanya sukses," tambahnya.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024