Timika (Antaranews Papua) - Pengurus Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan SPSI Kabupaten Mimika mengapresiasi kinerja pengawas ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Papua, terkait mogok kerja 8.000 karyawan PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan subkontraktornya sejak Mei 2017.

Ketua DPC Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP-KEP) SPSI Kabupaten Mimika, Aser Gobay di Timika, Kamis, mengatakan beberapa waktu lalu Disnaker Papua mengutus pengawas ke Timika guna mendalami kasus pemogokan ribuan karyawan PT Freeport dan sejumlah perusahaan subkontraktornya dengan memeriksa segala dokumen terkait serta mengevaluasi masalah pemblokiran akses BPJS Kesehatan para karyawan moker.

Selanjutnya, pengawas Disnaker Papua memberi penilaian terhadap kasus mogok kerja itu yang dituangkan dalam surat keputusan hasil pengawasan.

Penilaian Disnaker Provinsi Papua terkait aksi mogok kerja karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya itu berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan fisik yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan.

Salah satu poin penting dari penilaian pengawas ketenagakerjaan itu yakni perusahaan diminta mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Dalam surat keputusan itu, Disnaker Papua juga menegaskan bahwa kisruh hubungan industrial antara manajemen PT Freeport Indonesia dengan karyawan mogok kerja (moker) hingga kini belum berkekuatan hukum tetap.

Atas dasar itu, Disnaker Papua berpendapat bahwa PT Freeport berkewajiban membayar seluruh hak dan tunjangan-tunjangan karyawan moker sejak Mei 2017 hingga saat ini.

"Ini merupakan langkah maju dalam perjuangan pekerja dan keluarga besarnya di Kabupaten Mimika. Kami sudah menerima surat keputusan dari tim pengawas Disnaker Papua dimana salah satu poin ditegaskan bahwa mogok kerja yang terjadi sejak Mei 2017 hingga sekarang adalah sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia," kata Aser.

Untuk diketahui, aksi mogok kerja dilakukan oleh lebih dari 8.000 orang karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).

Saat itu, para karyawan Freeport yang diwakili oleh Pimpinan Unit Kerja SP-KEP SPSI keberatan dengan kebijakan `furlough` (dirumahkan sampai batas waktu tidak tentu) yang diterapkan oleh manajemen Freeport kepada sekitar 800 pekerja.

Manajemen Freeport menerapkan kebijakan `furlough` kepada pekerjanya semenjak Pemerintah Indonesia tidak mau memperpanjang izin ekspor konsentrat yang berakhir pada 10 Januari 2017.

Pihak PUK SP-KEP SPSI Freeport beberapa kali meminta manajemen Freeport untuk berunding guna membahas kebijakan `furlough` tersebut, namun permintaan tersebut tidak ditanggapi pihak manajemen Freeport.

Menjelang batas waktu dimulainya mogok kerja karyawan Freeport, Pemkab Mimika melalui Wakil Bupati Yohanis Bassang diketahui pernah dua kali memfasilitasi pertemuan antara pihak manajemen Freeport dengan PUK SP-KEP SPSI Freeport bertempat di Hotel Rimba Papua, Timika.

Namun pada dua pertemuan yang berakhir pagi dini hari itu, kedua belah pihak tetap berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing.

Setelah mogok kerja berlangsung, manajemen Freeport beberapa kali mengirim surat panggilan kepada para pekerjanya untuk segera melapor ke seksi masing-masing dalam kurun waktu tertentu.

Dalam tenggat waktu yang ditentukan tersebut, hanya beberapa orang karyawan moker yang kembali melapor untuk bekerja kembali ke perusahaan.

Atas dasar itu, pihak manajemen Freeport beranggapan bahwa para pekerja yang tidak mau melapor kembali memilih mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan mereka.

Menurut Aser, dari sekitar 8.300 pekerja yang ikut moker, terdapat sekitar 2.600 orang merupakan pekerja asli Papua.

Dampak sosial lain yang ditimbulkan akibat kisruh berkepanjangan antara manajemen Freeport dengan para pekerjanya itu, dilaporkan terdapat 34 karyawan moker yang telah meninggal dunia.

Para karyawan moker Freeport bersama keluarganya diketahui tidak bisa lagi mengakses fasilitas kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Tidak sedikit pula karyawan moker yang terusir dari rumah kontrakan di Kota Timika dan menjual berbagai aset milik mereka untuk bisa bertahan hidup. Sebagian lagi kini telah kembali ke kampung halaman masing-masing.

Guna memperjuangan nasib mereka melawan kebijakan manajemen PT Freeport, ribuan karyawan moker Freeport dan perusahaan subkontraktornya itu kini telah memberikan kuasa kepada lembaga penegakan hukum dan HAM, Lokataru.

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024