Jakarta (Antaranews Papua) - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memaparkan data untuk menjelaskan kaitan letusan gunung Anak Krakatau dan tsunami di Selat Sunda.
Kepala PVMBG Kementerian ESDM Kasbani dalam informasi yang dihimpun Antara di Jakarta, Minggu, menyampaikan bahwa saat ini masih mendalami kedua kaitan gejala alam tersebut, namun PVMBG sudah mendapatkan data awal untuk pendalaman.
Pada pukul 21.03 WIB, Sabtu (22/12) terjadi letusan di Anak Krakatau, selang beberapa lama ada info tsunami.
PVMBG menjelaskan aktivitas Gunung Anak Krakatau hingga menimbulkan tsunami dirasa belum cukup kuat berdasar data yang mengarahkan penyebab tersebut.
1. Saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.
2. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung.
3. Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
4. Dan untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi.
5. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 Km merupakan kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah.
Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.
Pandangan Ahli
Ahli ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut dan gelombang pasang.
Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu, sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam.
Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.
Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
"Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor, sampai ke laut. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat," kata dia.
Menurut Tukirin, tsunami yang terjadi hanya karena longsoran tebing bawah laut biasanya tidak menimbulkan gelombang besar.
Kendati demikian, katanya, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
"Mungkin di samping getaran itu juga ada pasang laut perbani pada bulan purnama. Sehingga air laut naik, ditambah itu (longsoran, red.), terjadilah gelombang yang cukup besar," kata dia.
Kepala PVMBG Kementerian ESDM Kasbani dalam informasi yang dihimpun Antara di Jakarta, Minggu, menyampaikan bahwa saat ini masih mendalami kedua kaitan gejala alam tersebut, namun PVMBG sudah mendapatkan data awal untuk pendalaman.
Pada pukul 21.03 WIB, Sabtu (22/12) terjadi letusan di Anak Krakatau, selang beberapa lama ada info tsunami.
PVMBG menjelaskan aktivitas Gunung Anak Krakatau hingga menimbulkan tsunami dirasa belum cukup kuat berdasar data yang mengarahkan penyebab tersebut.
1. Saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.
2. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung.
3. Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
4. Dan untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi.
5. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 Km merupakan kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah.
Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.
Pandangan Ahli
Ahli ekologi dan evolusi Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut dan gelombang pasang.
Tukirin saat dihubungi di Jakarta, Minggu, sependapat dengan yang dikemukakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa longsor di tebing bawah laut menyebabkan tsunami kecil di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam.
Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.
Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
"Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor, sampai ke laut. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat," kata dia.
Menurut Tukirin, tsunami yang terjadi hanya karena longsoran tebing bawah laut biasanya tidak menimbulkan gelombang besar.
Kendati demikian, katanya, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
"Mungkin di samping getaran itu juga ada pasang laut perbani pada bulan purnama. Sehingga air laut naik, ditambah itu (longsoran, red.), terjadilah gelombang yang cukup besar," kata dia.