Jayapura (ANTARA) - Pemilu 2019 sudah semakin dekat, namun konteks yang diperbincangkan di ranah publik justru melenceng dari harapan sesungguhnya, yakni yang tersaji banyak penyebaran isu-isu hoaks dan fitnah.

Masyarakat disibukkan melakukan klarifikasi di sana-sini yang terasa bertubi-tubi, bahkan memakan waktu produktif kita dalam mempersiapkan Pemilu 2019.

Pemilu 2019 juga ditandai oleh perhatian masyarakat yang cenderung hanya tertuju pada pemilihan Presiden-Wakil Presiden, sehingga yang diperbincangkan di media massa, media sosial, dan ranah publik lainnya cenderung hanya tentang calon Presiden dan calon Wakil Presiden.

Padahal Pemilu 2019 juga akan memilih 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 2.207 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan 17.610 anggota DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia untuk periode 2019-2024.

Menurut Ketua Dewan Kehormatan PDI Perjuangan Komarudin Watubun, sesungguhnya Pemilu 2019 lebih kompleks dibanding Pemilu 2014. Jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilu bertambah. Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai nasional dan tiga partai lokal Aceh, sedangkan Pemilu 2019 diikuti 16 partai nasional dan empat partai lokal Aceh.

Banyaknya partai peserta pemilu juga menyebabkan jumlah calon legislatif yang terdapat di Daftar Calon Tetap (DCT) meningkat. Untuk DCT DPR RI, misalnya pada Pemilu 2019 sebanyak 7.968 calon sedangkan pada Pemilu 2014 sebanyak 6.608 calon. Jadi, ada peningkatan sebanyak 20 persen di DCT untuk calon legislatif DPR RI. Belum untuk calon DPD dan DPRD.

Sudah tentu dengan makin banyaknya calon, masyarakat pemilih akan dibingungkan oleh banyaknya pilihan. Dengan kondisi begitu, idealnya masyarakat membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengenali calon yang akan dipilihnya. Yang terjadi saat ini, tampaknya justru sebaliknya. Karena itu dibutuhkan sosialisasi yang lebih intens menjelang hari H Pemilu pada 17 April 2019.

Sosialisasi juga menjadi penting karena undang-undang pemilu yang digunakan adalah undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ada banyak perubahan yang perlu diketahui.

Menurut Komarudin Watubun, yang juga anggota DPR RI periode 2014-2019 dari PDI Perjuangan itu, undang-undang pemilu pada dasarnya cukup rumit, belum lagi ditambah adanya perubahan-perubahan. Misalnya, ambang batas parlemen yaitu syarat bagi parpol peserta pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, yang mengalami perubahan.

Pada Pemilu 2014 ambang batasnya 3,5 persen, sedangkan pada Pemilu 2019 sebesar 4 persen. Tanpa sosialiasi, masalah demikian bisa menyebabkan salah paham. Sebagai anggota DPR, Bung Komar, begitu ia akrab disapa, punya kewajiban untuk melakukan sosialisasi pemilu. Dan wakil rakyat di Senayan, kata Bung Komar, memiliki kewajiban melakukan sosialisasi pemilu sebanyak empat kali.

Bung Komar adalah Caleg PDI Perjuangan Dapil Papua, melakukan sosialisasi di dapilnya, Provinsi Papua. Pada 25 Februari 2019, sebagai anggota Komisi II DPRI RI, Bung Komar melakukan sosialisasi di Merauke dengan menggandeng Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Merauke. Saat itu tema yang diambil adalah "Sosialisasi Pendidikan Pemilih Pemilu Serentak Tahun 2019". Hadir dalam sosialisasi itu sejumlah komponen masyarakat mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, mahasiswa, dan sebagainya. Setelah Merauke, sosialisasi yang dijalankannya dilakukan di Kota Jayapura, Nabire, Biak, dan Timika.

Bung Komar menekankan bahwa selain masyarakat perlu lebih memahami hakekat pemilu, pihak penyelenggara pemilu sendiri, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, juga harus cerdas karena masyarakat makin melek politik dan juga makin cerdas. Masyarakat akan kritis jika penyelenggaraan pemilu dinilainya tidak memadai.

Di samping masyarakat yang makin kritis, ada juga kelompok masyarakat yang apriori yang merasa bahwa hasil pemilu tak akan banyak mempengaruhi nasibnya. Kelompok ini antara lain diwakili oleh golput yang persentasenya masih tinggi.

"Oleh karena itu KPU dan Bawaslu harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai sehingga dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pemilu dan pentingnya masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019 mendatang," kata mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Papua ini.

Padahal masalah pemilu bukan hanya soal tingginya golput. Berdasarkan kajiannya, Bung Komar yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Papua ini, menyebutkan bahwa setidaknya ada enam isu utama dari pemilu-pemilu sebelumnya 2004, 2009 dan 2014 yang juga sebagai konsekuensi dari amandemen UUD 1945, yang berpotensi menjadi isu utama pada Pemilu 2019.

Keenam isu tersebut adalah sistem kepartaian, peserta pemilu, jumlah kursi, penghitungan perolehan kursi, penentuan caleg terpilih dan penyelenggara pemilu. Isu-isu ini sangat mungkin akan memunculkan kasuskasus sengketa pemilu yang rumit hingga harus diselesaikan di meja hijau.

Tentu saja, meskipun jika berkaca pada tensi politik akhir-akhir ini yang meningkat dan tampaknya sulit menghilangkan kasus-kasus serupa, namun setidaknya potensi-potensi kasus terburuknya masih bisa dikurangi dengan sosialisasi pemilu seperti dilakukannya. Ini penting, kata Bung Komar, untuk menjaga marwah kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila ke-4 Pancasila sehingga pemilu bisa diselenggarakan betul-betul dengan demokratis.

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024