Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil yang mewadahi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak pemerintah merevisi draf Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme karena bertentangan dengan UU Terorisme dan UU TNI.
"Teman-teman yang melakukan 'legal drafting' ini menafikan peraturan yang sudah ada. Tidak peduli dengan undang-undang di atasnya seperti UU TNI dan UU Terorisme," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur di kantor Imparsial di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis.
Menurut dia, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa dalam draf tersebut terdapat penggunaan istilah penangkalan yang tidak dikenal dalam UU Terorisme.
UU terorisme dalam pasal 43A hanya mengenal istilah pencegahan sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sehingga, wewenang pencegahan seperti yang diatur dalam UU Terorisme diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI.
Aturan turunan dari pasal 43A itu, kata dia, juga seharusnya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) bukan Perpres.
Dalam draf tersebut juga mengatur fungsi BNPT yang diberikan juga kepada TNI seperti dalam melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Pada pasal 2 draf tersebut menyebutkan TNI ikut menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan.
Koalisi masyarakat itu berpendapat TNI seharusnya fokus pada fungsi penindakan terorisme yang dilakukan jika aparat penegak hukum sudah tidak mampu mengatasi terorisme dan atas keputusan politik negara.
"Sedangkan tugas penangkalan dan pemulihan sebaiknya dikerjakan badan lain yang memiliki kompetensi seperti BNPT, BIN, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan lembaga lain," katanya.
Sementara itu, peneliti senior Imparsial Anton Ali Abbas menampah draf tersebut juga bertentangan dan melampaui UU TNI terutama terkait dengan penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN sesuai dalam pasal 17.
Menurut dia, hal itu berlawanan dengan pasal 66 UU TNI yang menyebutkan anggaran TNI hanya melalui APBN.
"Ini bisa mempengaruhi independensi kalau anggaran dari sumber lain. Begitu juga terkait transparansi karena tidak ada ketentuan mengatur sumber lain bagi sektor pertahanan," katanya.
Ia mengharapkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus sejalan dengan UU Terorisme dan UU TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, Walhi, dan Institut Demokrasi.
"Teman-teman yang melakukan 'legal drafting' ini menafikan peraturan yang sudah ada. Tidak peduli dengan undang-undang di atasnya seperti UU TNI dan UU Terorisme," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur di kantor Imparsial di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis.
Menurut dia, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa dalam draf tersebut terdapat penggunaan istilah penangkalan yang tidak dikenal dalam UU Terorisme.
UU terorisme dalam pasal 43A hanya mengenal istilah pencegahan sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sehingga, wewenang pencegahan seperti yang diatur dalam UU Terorisme diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI.
Aturan turunan dari pasal 43A itu, kata dia, juga seharusnya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) bukan Perpres.
Dalam draf tersebut juga mengatur fungsi BNPT yang diberikan juga kepada TNI seperti dalam melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Pada pasal 2 draf tersebut menyebutkan TNI ikut menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan.
Koalisi masyarakat itu berpendapat TNI seharusnya fokus pada fungsi penindakan terorisme yang dilakukan jika aparat penegak hukum sudah tidak mampu mengatasi terorisme dan atas keputusan politik negara.
"Sedangkan tugas penangkalan dan pemulihan sebaiknya dikerjakan badan lain yang memiliki kompetensi seperti BNPT, BIN, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan lembaga lain," katanya.
Sementara itu, peneliti senior Imparsial Anton Ali Abbas menampah draf tersebut juga bertentangan dan melampaui UU TNI terutama terkait dengan penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN sesuai dalam pasal 17.
Menurut dia, hal itu berlawanan dengan pasal 66 UU TNI yang menyebutkan anggaran TNI hanya melalui APBN.
"Ini bisa mempengaruhi independensi kalau anggaran dari sumber lain. Begitu juga terkait transparansi karena tidak ada ketentuan mengatur sumber lain bagi sektor pertahanan," katanya.
Ia mengharapkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus sejalan dengan UU Terorisme dan UU TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, Walhi, dan Institut Demokrasi.