Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) siap apabila diminta menjadi fasilitator pertemuan antara pemerintah dan masyarakat Papua.
"Jika masyarakat Papua dan Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan, meminta Komnas HAM untuk menjadi fasilitator perdamaian kami akan lakukan. Kami menyiapkan itu," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, yang paling penting dalam menangani masalah tersebut adalah meletakkan kembali sumber masalah dan ketegangan, salah satu sumber masalah dan ketegangan disebutnya adalah soal bendera bintang kejora.
Soal bendera, ia berpendapat perlu didialogkan dua pihak bendera tersebut merupakan ekspresi kebudayaan atau politik, sedangkan polisi telah menangkap mahasiswa yang mengibarkan bendera tersebut.
Sementara soal kasus rasial yang terjadi di Surabaya, kata dia, menjadi konfirmasi stigma dan phobia pun harus diselesaikan agar masyarakat Papua setara.
"Tidak terbantahkan banyak ketidakadilan di Papua. Cara menjawab paling mudah adalah keadilan hukum setiap pelaku kejahatan dibawa ke pengadilan," kata dia.
Secara terpisah, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana menilai Panglima TNI serta Kapolri yang menjadi wakil pemerintah menghadapi persoalan di Papua tidak memiliki alat uji analisis, seperti negosiasi yang tidak menggunakan sudut pandang nasionalisme dalam melihat Papua.
Menurut dia, delegasi yang hadir harus mampu membangun rasa percaya masyarakat Papua, sementara dua figur tersebut dinilainya dapat menimbulkan rasa tidak nyaman untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Ketua Komnas HAM, Komnas Perempuan mau pun Menteri Hukum dan HAM disebutnya dapat menjembatani dengan lebih baik.
"Esensinya bukan lepas atau bersama Indonesia, bagaimana menempatkan ruang sejajar yang menjadi esenssi relasi hubungan dengan Papua," ucap Puri.
"Jika masyarakat Papua dan Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan, meminta Komnas HAM untuk menjadi fasilitator perdamaian kami akan lakukan. Kami menyiapkan itu," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, yang paling penting dalam menangani masalah tersebut adalah meletakkan kembali sumber masalah dan ketegangan, salah satu sumber masalah dan ketegangan disebutnya adalah soal bendera bintang kejora.
Soal bendera, ia berpendapat perlu didialogkan dua pihak bendera tersebut merupakan ekspresi kebudayaan atau politik, sedangkan polisi telah menangkap mahasiswa yang mengibarkan bendera tersebut.
Sementara soal kasus rasial yang terjadi di Surabaya, kata dia, menjadi konfirmasi stigma dan phobia pun harus diselesaikan agar masyarakat Papua setara.
"Tidak terbantahkan banyak ketidakadilan di Papua. Cara menjawab paling mudah adalah keadilan hukum setiap pelaku kejahatan dibawa ke pengadilan," kata dia.
Secara terpisah, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana menilai Panglima TNI serta Kapolri yang menjadi wakil pemerintah menghadapi persoalan di Papua tidak memiliki alat uji analisis, seperti negosiasi yang tidak menggunakan sudut pandang nasionalisme dalam melihat Papua.
Menurut dia, delegasi yang hadir harus mampu membangun rasa percaya masyarakat Papua, sementara dua figur tersebut dinilainya dapat menimbulkan rasa tidak nyaman untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Ketua Komnas HAM, Komnas Perempuan mau pun Menteri Hukum dan HAM disebutnya dapat menjembatani dengan lebih baik.
"Esensinya bukan lepas atau bersama Indonesia, bagaimana menempatkan ruang sejajar yang menjadi esenssi relasi hubungan dengan Papua," ucap Puri.