Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bachtiar, mempertanyakan Undang-Undang (UU) Penyiaran yang dinilai tidak selaras dengan UU Pemerintah Daerah.
“KPI dari sisi undang-undangnya diatur sendiri, yakni UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, ini tidak nyambung dengan UU Pemda," ujarnya dalam rilis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, keselarasan penting dilakukan agar tafsiran undang-undang, terutama dari segi kelembagaan dan pendanaan, tidak rancu.
Di UU penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disebut merupakan lembaga yang mandiri dan bukan urusan yang didesentralisasikan ke daerah.
Akan tetapi, katanya, tiba-tiba dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPI di daerah dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurut Bachtiar, hal itu tidak sinkron.
Oleh karena aturannya, katanya, daerah hanya dapat menganggarkan sesuatu yang menjadi urusannya, kecuali ketentuan lain yang diatur sesuai perundang-undangan.
Sebagai bentuk dukungan, Kemendagri melakukan evaluasi terhadap rancangan APBD dengan memastikan dana hibah daerah untuk KPI tercantum di dalamnya selama KPI daerah telah membuat proposal pengajuan hibah.
“APBD provinsi akan dievaluasi Kemendagri, jadi kami pastikan sepanjang teman-teman sudah ada proposalnya nanti kita evaluasi, kalau tidak kasih hibah ke KPID pasti akan dievaluasi," kata Bachtiar.
Ia mengatakan hal tersebut sudah diatur dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2020.
Bachtiar mengatakan kelak KPI harus hidup di masyarakat layaknya pers yang berperan sebagai pilar keempat demokrasi.
“KPI ini harus kuat, karena kita tahu ini pilar demokrasi, kalau ini (KPI, red.) sampai mati maka ada ruang kosong peradaban demokrasi dan ada kematian demokrasi dari sisi pengawasan penyiaran,” katanya dalam Rapat Pimpinan KPI Tahun 2019 di The Alana Hotel dan Conference Center Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Ia menambahkan kehadiran KPI di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai penting.
Apalagi, katanya, KPI produk reformasi yang menjadikan urgensi lembaga itu penting dan dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan peradaban demokrasi Indonesia.
“KPI dari sisi undang-undangnya diatur sendiri, yakni UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, ini tidak nyambung dengan UU Pemda," ujarnya dalam rilis yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, keselarasan penting dilakukan agar tafsiran undang-undang, terutama dari segi kelembagaan dan pendanaan, tidak rancu.
Di UU penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) disebut merupakan lembaga yang mandiri dan bukan urusan yang didesentralisasikan ke daerah.
Akan tetapi, katanya, tiba-tiba dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPI di daerah dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurut Bachtiar, hal itu tidak sinkron.
Oleh karena aturannya, katanya, daerah hanya dapat menganggarkan sesuatu yang menjadi urusannya, kecuali ketentuan lain yang diatur sesuai perundang-undangan.
Sebagai bentuk dukungan, Kemendagri melakukan evaluasi terhadap rancangan APBD dengan memastikan dana hibah daerah untuk KPI tercantum di dalamnya selama KPI daerah telah membuat proposal pengajuan hibah.
“APBD provinsi akan dievaluasi Kemendagri, jadi kami pastikan sepanjang teman-teman sudah ada proposalnya nanti kita evaluasi, kalau tidak kasih hibah ke KPID pasti akan dievaluasi," kata Bachtiar.
Ia mengatakan hal tersebut sudah diatur dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2020.
Bachtiar mengatakan kelak KPI harus hidup di masyarakat layaknya pers yang berperan sebagai pilar keempat demokrasi.
“KPI ini harus kuat, karena kita tahu ini pilar demokrasi, kalau ini (KPI, red.) sampai mati maka ada ruang kosong peradaban demokrasi dan ada kematian demokrasi dari sisi pengawasan penyiaran,” katanya dalam Rapat Pimpinan KPI Tahun 2019 di The Alana Hotel dan Conference Center Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Ia menambahkan kehadiran KPI di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai penting.
Apalagi, katanya, KPI produk reformasi yang menjadikan urgensi lembaga itu penting dan dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan peradaban demokrasi Indonesia.