Jakarta (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan pihaknya tidak akan tebang pilih dalam pemberantasan berita bohong (hoaks).
Ia juga berkomitmen tak akan memberi ruang hoaks berkembang di Indonesia karena berita bohong itu buruk buat bangsa.
"Kita harapkan adanya negara itu untuk kepentingan masyarakat. Bukan suka atau tidak suka acuannya itu. Acuannya itu tergantung pada substansinya dan mekanismenya. Hoaks itu buruk," ujar Johnny kepada wartawan usai rapat kerja dengan Komisi I di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengungkapkan kalau hoaks itu ada karena adanya kepentingan-kepentingan yang dibuat oleh pendengung (buzzer) pemerintah, nonpemerintah, serta pelaku industri.
"Eksistensinya ada Pak. Nah, pertanyaannya kalau ada buzzer, ada hoaks, ini seberapa kuat korelasinya? 'Kan kita tahu. Ini timbal balik saja begitu, 'kan?" kata Sukamta di Ruang Rapat Komisi I Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa.
Menurut Sukamta, sebagai suatu entitas politik, jika ada buzzer pemerintah, di luar pemerintah juga akan ada buzzer.
Selain itu, menilik fenomena hoaks, Sukamta juga melihat adanya kemungkinan konten hoaks itu juga melibatkan industri.
"Orang membuat konten hoaks itu sebagai bisnis. Tempat memperbanyak lalu lintas (traffic). Mungkin ini melibatkan industri telekomunikasi tetapi juga melibatkan industri yang lain," kata Sukamta.
Ia mengatakan bahwa persebaran konten hoaks sudah dimulai sejak dahulu. Meski dahulu bentuknya adalah teks saja, tetapi traffic-nya sudah banyak. Apalagi sekarang yang berbentuk foto maupun video, tentu traffic-nya akan menjadi lebih besar.
"Jadi, yang mau diberantas ini yang mana, Pak? Salah satu (buzzer), kedua-duanya, atau semuanya?" kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu kepada Menkominfo dalam rapat kerja yang berlangsung Selasa sore.
Ia mengutip pernyataan seorang anggota Komisi I DPR RI kalau hoaks itu adalah troll factory. Maka, negara harus bergerak lebih cepat supaya jangan sampai kalah dalam menghadapi itu.
"Kalau cara menghadapi itu manual, kalau ada hoaks di-take down. Kalau muncul lagi, di-take down lagi, mau sampai kapan jika caranya analog seperti itu? 'Kan sekarang katanya industri 4.0, industri digital," sindir Sukamta.
Ia menambahkan menurut Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan kalau Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Nah, peraturan pemerintah tentang ini selama 5 tahun masih belum ada Pak (Menteri). Ini jadi pekerjaan rumah yang besar. Makanya, diharapkan dengan menteri baru, semangat baru. Cara kerjanya juga lebih baru, lebih baik, lebih cerdas, dan mudah-mudahan kerja sama dengan Komisi I makin kuat," kata Sukamta.
Ia juga berkomitmen tak akan memberi ruang hoaks berkembang di Indonesia karena berita bohong itu buruk buat bangsa.
"Kita harapkan adanya negara itu untuk kepentingan masyarakat. Bukan suka atau tidak suka acuannya itu. Acuannya itu tergantung pada substansinya dan mekanismenya. Hoaks itu buruk," ujar Johnny kepada wartawan usai rapat kerja dengan Komisi I di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengungkapkan kalau hoaks itu ada karena adanya kepentingan-kepentingan yang dibuat oleh pendengung (buzzer) pemerintah, nonpemerintah, serta pelaku industri.
"Eksistensinya ada Pak. Nah, pertanyaannya kalau ada buzzer, ada hoaks, ini seberapa kuat korelasinya? 'Kan kita tahu. Ini timbal balik saja begitu, 'kan?" kata Sukamta di Ruang Rapat Komisi I Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa.
Menurut Sukamta, sebagai suatu entitas politik, jika ada buzzer pemerintah, di luar pemerintah juga akan ada buzzer.
Selain itu, menilik fenomena hoaks, Sukamta juga melihat adanya kemungkinan konten hoaks itu juga melibatkan industri.
"Orang membuat konten hoaks itu sebagai bisnis. Tempat memperbanyak lalu lintas (traffic). Mungkin ini melibatkan industri telekomunikasi tetapi juga melibatkan industri yang lain," kata Sukamta.
Ia mengatakan bahwa persebaran konten hoaks sudah dimulai sejak dahulu. Meski dahulu bentuknya adalah teks saja, tetapi traffic-nya sudah banyak. Apalagi sekarang yang berbentuk foto maupun video, tentu traffic-nya akan menjadi lebih besar.
"Jadi, yang mau diberantas ini yang mana, Pak? Salah satu (buzzer), kedua-duanya, atau semuanya?" kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu kepada Menkominfo dalam rapat kerja yang berlangsung Selasa sore.
Ia mengutip pernyataan seorang anggota Komisi I DPR RI kalau hoaks itu adalah troll factory. Maka, negara harus bergerak lebih cepat supaya jangan sampai kalah dalam menghadapi itu.
"Kalau cara menghadapi itu manual, kalau ada hoaks di-take down. Kalau muncul lagi, di-take down lagi, mau sampai kapan jika caranya analog seperti itu? 'Kan sekarang katanya industri 4.0, industri digital," sindir Sukamta.
Ia menambahkan menurut Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan kalau Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Nah, peraturan pemerintah tentang ini selama 5 tahun masih belum ada Pak (Menteri). Ini jadi pekerjaan rumah yang besar. Makanya, diharapkan dengan menteri baru, semangat baru. Cara kerjanya juga lebih baru, lebih baik, lebih cerdas, dan mudah-mudahan kerja sama dengan Komisi I makin kuat," kata Sukamta.