Jakarta (ANTARA) - Gempa bumi tektonik yang mengguncang wilayah Kabupaten Jayapura dan Sarmi, Papua, Sabtu (18/1) malam dengan magnitudo 6,1, pukul 23.38.14 WIB membuktikan Sesar Anjak Mamberamo sebagai zona sumber paling aktif di Papua.
"Lokasi episenter gempa yang terjadi tadi malam sangat berdekatan dengan lokasi episenter gempa 26 Oktober 1926 M 7,6 dan gempa 28 Mei 1968 M 7,5. Tampaknya ketiga gempa signifikan ini memang dipicu oleh sumber gempa yang sama, yaitu Sesar Anjak Mamberamo," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Dia menjelaskan wilayah Kabupaten Jayapura dan Sarmi secara tektonik kawasan seismik aktif dan kompleks. Disebut seismik aktif karena kedua wilayah tersebut memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi, sedangkan disebut kompleks karena wilayah itu memiliki banyak sebaran sumber gempa utama dengan berbagai segmentasi sesar dan splay (percabangannya).
Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia pada 2017 yang diterbitkan Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), wilayah Kabupaten Sarmi dan Jayapura dilalui struktur sesar aktif, yaitu Sesar Anjak Mamberamo dengan magnitudo tertarget mencapai M 7,5.
Para pakar asing terkadang menyebut zona sumber gempa aktif itu sebagai Mamberamo Deformation Zone (MDZ) atau Mamberamo Thrust and Fold Belt (MTFB).
"Karena kondisi tektonik yang aktif inilah maka wajar jika wilayah Sarmi dan Jayapura menjadi kawasan yang sangat rawan gempa dan paling aktif aktivitas kegempaannya di Papua," katanya.
Sebelum terjadi gempa di Jayapura bermagnitudo 6,1, Sabtu (18/1) malam, pada 2019 wilayah Sarmi juga sudah diguncang dua kali gempa kuat, yaitu pada 20 Juni 2019 M 6,3 dan 24 Juni 2019 M 6,1 yang menimbulkan kerusakan.
Wilayah Kabupaten Sarmi dan Jayapura dikenal memiliki sejarah panjang gempa kuat dan merusak di masa lalu. Tercatat dalam katalog gempa terdapat lebih dari 20 aktivitas gempa berkekuatan besar yang berdampak mencapai skala intensitas VI hingga IX Modified Mercally Intensity (MMI).
Dampak gempa dalam skala intensitas MMI menunjukkan rata-rata bangunan tembok sederhana mengalami kerusakan ringan pada skala intensitas VI MMI, sedangkan pada skala intensitas VIII dapat memicu kerusakan sedang hingga berat.
Beberapa gempa bumi kuat di Papua, antara lain di Sarmi pada 19 Februari 1921 berkekuatan M 6,9, pada 1923, 1926, 1930, serta sejumlah gempa dengan kekuatan signifikan lainnya di wilayah tersebut pada tahun-tahun lainnya.
Pada 6 April 2013 tercatat gempa Talikora berkekuatan M 7,0 berdampak VII-VIII MMI. Gempa Sarmi pada 27 Juli 2015 berkekuatan M 7,0 berdampak VI MMI dan gempa Sarmi pada 20 Juni 2019 berkekuatan M 6,3 berdampak IV MMI.
"Tingginya potensi gempa bumi di Sarmi dan Jayapura tidak perlu membuat masyarakat khawatir berlebihan. Semua informasi terkait potensi gempa di wilayah ini harus direspons dengan langkah nyata dengan upaya memperkuat mitigasi guna meminimalkan dampak gempa bumi," kata Daryono.
"Lokasi episenter gempa yang terjadi tadi malam sangat berdekatan dengan lokasi episenter gempa 26 Oktober 1926 M 7,6 dan gempa 28 Mei 1968 M 7,5. Tampaknya ketiga gempa signifikan ini memang dipicu oleh sumber gempa yang sama, yaitu Sesar Anjak Mamberamo," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Dia menjelaskan wilayah Kabupaten Jayapura dan Sarmi secara tektonik kawasan seismik aktif dan kompleks. Disebut seismik aktif karena kedua wilayah tersebut memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi, sedangkan disebut kompleks karena wilayah itu memiliki banyak sebaran sumber gempa utama dengan berbagai segmentasi sesar dan splay (percabangannya).
Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia pada 2017 yang diterbitkan Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), wilayah Kabupaten Sarmi dan Jayapura dilalui struktur sesar aktif, yaitu Sesar Anjak Mamberamo dengan magnitudo tertarget mencapai M 7,5.
Para pakar asing terkadang menyebut zona sumber gempa aktif itu sebagai Mamberamo Deformation Zone (MDZ) atau Mamberamo Thrust and Fold Belt (MTFB).
"Karena kondisi tektonik yang aktif inilah maka wajar jika wilayah Sarmi dan Jayapura menjadi kawasan yang sangat rawan gempa dan paling aktif aktivitas kegempaannya di Papua," katanya.
Sebelum terjadi gempa di Jayapura bermagnitudo 6,1, Sabtu (18/1) malam, pada 2019 wilayah Sarmi juga sudah diguncang dua kali gempa kuat, yaitu pada 20 Juni 2019 M 6,3 dan 24 Juni 2019 M 6,1 yang menimbulkan kerusakan.
Wilayah Kabupaten Sarmi dan Jayapura dikenal memiliki sejarah panjang gempa kuat dan merusak di masa lalu. Tercatat dalam katalog gempa terdapat lebih dari 20 aktivitas gempa berkekuatan besar yang berdampak mencapai skala intensitas VI hingga IX Modified Mercally Intensity (MMI).
Dampak gempa dalam skala intensitas MMI menunjukkan rata-rata bangunan tembok sederhana mengalami kerusakan ringan pada skala intensitas VI MMI, sedangkan pada skala intensitas VIII dapat memicu kerusakan sedang hingga berat.
Beberapa gempa bumi kuat di Papua, antara lain di Sarmi pada 19 Februari 1921 berkekuatan M 6,9, pada 1923, 1926, 1930, serta sejumlah gempa dengan kekuatan signifikan lainnya di wilayah tersebut pada tahun-tahun lainnya.
Pada 6 April 2013 tercatat gempa Talikora berkekuatan M 7,0 berdampak VII-VIII MMI. Gempa Sarmi pada 27 Juli 2015 berkekuatan M 7,0 berdampak VI MMI dan gempa Sarmi pada 20 Juni 2019 berkekuatan M 6,3 berdampak IV MMI.
"Tingginya potensi gempa bumi di Sarmi dan Jayapura tidak perlu membuat masyarakat khawatir berlebihan. Semua informasi terkait potensi gempa di wilayah ini harus direspons dengan langkah nyata dengan upaya memperkuat mitigasi guna meminimalkan dampak gempa bumi," kata Daryono.