Jakarta (ANTARA) - Guru Besar bidang Psikologi Islam dari Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, Prof Dr H Achmad Mubarok MA mengatakan ibadah puasa di bulan Ramadhan di tengah pandemi COVID-19 ini justru semakin meningkatkan kepedulian sosial masyarakat.
Menurutnya ibadah puasa di bulan Ramadhan dapat menjadi sarana melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu yang juga bertujuan memupuk kepedulian bagi sesama umat manusia.
"Sekarang pemberian makanan kepada orang-orang di pinggir jalan dan di mana-mana telah menjadi fenomena kekinian. Hal ini bisa terjadi karena lebih kepada spontanitas masyarakat yang bangkit kepeduliannya terhadap sesama,” ujar Achmad Mubarok, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Ketua MPR Bambang Soesatyo luncurkan program "MPR Peduli-Lawan COVID-19"
Selain dari perorangan, bantuan tersebut juga dari berbagai kelompok, organisasi maupun partai politik, kata pria kelahiran Purwokerto 15 Desember 1945 itu.
“Selain dari perorangan ada juga yang dari kelompok, seperti kemarin ada dari partai politik juga membagikan ribuan boks makanan. Jadi yang formal seperti kelompok itu segitu, tapi yang secara sosial dari pribadi-pribadi itu kalau ditotal semuanya malah lebih banyak jumlahnya,” tuturnya.
Mantan anggota MPR RI periode 1999-2004 itu menjelaskan bahwa bantuan swadaya dari masyarakat ini lah sebenarnya yang lebih membuat daya tahan di masyarakat yang kurang mampu untuk sementara waktu cukup untuk dapat bertahan di situasi ini.
“Kalau pemerintah sendiri saja misalnya masih kewalahan untuk mendistribusikan bahan makanan, misalnya bantuan ke RT yang dibutuhkan ada 100 tapi yang diterima cuma 50 boks. Itu kan bagi aparat setempat menjadi berat karena yang membutuhkan jumlahnya jauh lebih banyak. Karena itu penting sekali adanya bantuan dari kalangan masyarakat baik pribadi, organisasi maupun kelompok,” kata mantan Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Baca juga: PWI Peduli buka penggalangan dana tangani pandemi virus COVID-19
Mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu juga menyampaikan apresiasinya terhadap bantuan spontanitas dari masyarakat yang muncul selama pandemi COVID-19.
Hal ini sejatinya merupakan ciri khas gotong royong masyarakat Indonesia untuk membantu sesama manusia.
“Fenomena membagi bantuan dari masyarakat ini sudah muncul tanpa adanya seruan. Saya kira seruannya mungkin justru adalah ucapan terima kasih kepada mereka. Jangan malah menganggap belum memberikan bantuan karena belum ada imbuan. Karena kepedulian sosial dari masyarakat Indonesia ini sudah cukup tinggi dan mereka sadar kalau hal itu dilakukan sendiri oleh pemerintah tentunya tidak akan sanggup. Ini juga merupakan semangat gotong royong yang dimiliki masyarakat bangsa ini,” ungkapnya.
Menurutnya pandemi COVID-19 ini memang menyebabkan masyarakat ekonomi lemah yang sebenarnya paling berat permasalahannya karena yang biasanya bekerja dengan rutin, sekarang ini menjadi tidak bisa bekerja atau diberhentikan dari tempat kerjanya karena adanya bencana wabah ini.
Apalagi kalau mereka ini adalah para pekerja di sektor informal dengan upah harian.
“Bisa dibayangkan orang yang biasanya kerja dengan upah harian untuk kehidupannya lalu tiba-tiba dia tidak kerja, tentu dampaknya sangat luar biasa berat buat mereka. Tetapi yang penting sesungguhnya sepanjang situasi negara ini aman, damai dan tidak ada kriminalitas yang terlalu parah masyarakat masih bisa melalui semua itu karena solidaritas kemanusiaanya untuk membantu sesama manusianya muncul,” ucap mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 tersebut.
Puasa bulan Ramadhan yang orang lakukan, menurutnya, paling tidak juga membuat nafsu orang menjadi tidak berkobar-kobar sehingga dapat meminimalkan terjadinya hal-hal yang bisa merugikan semuanya seperti kerusuhan.
“Selama bulan puasa ini secara swadaya masyarakat biasanya mengirimkan makanan untuk buka dan sahur di masjid lalu juga untuk masyarakat kurang mampu di sekitarnya. Jadi Insya Allah puasa itu meredakan potensi konflik di masyarakat,” jelasnya.
Selain ibadah puasa Ramadhan, dia juga menyebutkan adanya kewajiban melakukan zakat. Dari pengalaman dirinya zakat fitrah itu biasanya terserap untuk masyarakat kurang mampu di sekitar.
“Karena kejadian pandemi COVID-19 ini maka mungkin jumlah yang bisa bayar zakat jadi berkurang seperti zakat ke lembaga nasional Baznas dan lainnya,” ujar mantan Direktur Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’ah (UIA) itu.
Dengan kondisi masyarakat yang seperti itu, karena memang menurutnya hal ini cukup berat maka dirinya mengaku memaklumi adanya kekurangan dari pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19 ini.
“Saya sendiri memaklumi kekurangan dari pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini, karena harus diakui ini sangat berat sepanjang jangan dipolitisir kebijakannya dan jangan kemudian pemerintah juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya
Menurutnya ibadah puasa di bulan Ramadhan dapat menjadi sarana melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu yang juga bertujuan memupuk kepedulian bagi sesama umat manusia.
"Sekarang pemberian makanan kepada orang-orang di pinggir jalan dan di mana-mana telah menjadi fenomena kekinian. Hal ini bisa terjadi karena lebih kepada spontanitas masyarakat yang bangkit kepeduliannya terhadap sesama,” ujar Achmad Mubarok, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Ketua MPR Bambang Soesatyo luncurkan program "MPR Peduli-Lawan COVID-19"
Selain dari perorangan, bantuan tersebut juga dari berbagai kelompok, organisasi maupun partai politik, kata pria kelahiran Purwokerto 15 Desember 1945 itu.
“Selain dari perorangan ada juga yang dari kelompok, seperti kemarin ada dari partai politik juga membagikan ribuan boks makanan. Jadi yang formal seperti kelompok itu segitu, tapi yang secara sosial dari pribadi-pribadi itu kalau ditotal semuanya malah lebih banyak jumlahnya,” tuturnya.
Mantan anggota MPR RI periode 1999-2004 itu menjelaskan bahwa bantuan swadaya dari masyarakat ini lah sebenarnya yang lebih membuat daya tahan di masyarakat yang kurang mampu untuk sementara waktu cukup untuk dapat bertahan di situasi ini.
“Kalau pemerintah sendiri saja misalnya masih kewalahan untuk mendistribusikan bahan makanan, misalnya bantuan ke RT yang dibutuhkan ada 100 tapi yang diterima cuma 50 boks. Itu kan bagi aparat setempat menjadi berat karena yang membutuhkan jumlahnya jauh lebih banyak. Karena itu penting sekali adanya bantuan dari kalangan masyarakat baik pribadi, organisasi maupun kelompok,” kata mantan Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Baca juga: PWI Peduli buka penggalangan dana tangani pandemi virus COVID-19
Mantan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu juga menyampaikan apresiasinya terhadap bantuan spontanitas dari masyarakat yang muncul selama pandemi COVID-19.
Hal ini sejatinya merupakan ciri khas gotong royong masyarakat Indonesia untuk membantu sesama manusia.
“Fenomena membagi bantuan dari masyarakat ini sudah muncul tanpa adanya seruan. Saya kira seruannya mungkin justru adalah ucapan terima kasih kepada mereka. Jangan malah menganggap belum memberikan bantuan karena belum ada imbuan. Karena kepedulian sosial dari masyarakat Indonesia ini sudah cukup tinggi dan mereka sadar kalau hal itu dilakukan sendiri oleh pemerintah tentunya tidak akan sanggup. Ini juga merupakan semangat gotong royong yang dimiliki masyarakat bangsa ini,” ungkapnya.
Menurutnya pandemi COVID-19 ini memang menyebabkan masyarakat ekonomi lemah yang sebenarnya paling berat permasalahannya karena yang biasanya bekerja dengan rutin, sekarang ini menjadi tidak bisa bekerja atau diberhentikan dari tempat kerjanya karena adanya bencana wabah ini.
Apalagi kalau mereka ini adalah para pekerja di sektor informal dengan upah harian.
“Bisa dibayangkan orang yang biasanya kerja dengan upah harian untuk kehidupannya lalu tiba-tiba dia tidak kerja, tentu dampaknya sangat luar biasa berat buat mereka. Tetapi yang penting sesungguhnya sepanjang situasi negara ini aman, damai dan tidak ada kriminalitas yang terlalu parah masyarakat masih bisa melalui semua itu karena solidaritas kemanusiaanya untuk membantu sesama manusianya muncul,” ucap mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 tersebut.
Puasa bulan Ramadhan yang orang lakukan, menurutnya, paling tidak juga membuat nafsu orang menjadi tidak berkobar-kobar sehingga dapat meminimalkan terjadinya hal-hal yang bisa merugikan semuanya seperti kerusuhan.
“Selama bulan puasa ini secara swadaya masyarakat biasanya mengirimkan makanan untuk buka dan sahur di masjid lalu juga untuk masyarakat kurang mampu di sekitarnya. Jadi Insya Allah puasa itu meredakan potensi konflik di masyarakat,” jelasnya.
Selain ibadah puasa Ramadhan, dia juga menyebutkan adanya kewajiban melakukan zakat. Dari pengalaman dirinya zakat fitrah itu biasanya terserap untuk masyarakat kurang mampu di sekitar.
“Karena kejadian pandemi COVID-19 ini maka mungkin jumlah yang bisa bayar zakat jadi berkurang seperti zakat ke lembaga nasional Baznas dan lainnya,” ujar mantan Direktur Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’ah (UIA) itu.
Dengan kondisi masyarakat yang seperti itu, karena memang menurutnya hal ini cukup berat maka dirinya mengaku memaklumi adanya kekurangan dari pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19 ini.
“Saya sendiri memaklumi kekurangan dari pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini, karena harus diakui ini sangat berat sepanjang jangan dipolitisir kebijakannya dan jangan kemudian pemerintah juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan keresahan di masyarakat,” katanya