Jayapura (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) Perwakilan Papua mengungkapkan kasus kematian warga sipil di Asiki, Kabupaten Boven Digoel korban Marius Betera pada 16 Mei 2020 setelah merampungkan hasil investigasi di lapangan dalam upaya memenuhi permintaan LSM dan keluarga korban, Rabu.
Koordinator tim investigasi Komnas HAM Papua Frits Ramandey dalam keterangan pers di Jayapura, mengatakan hasil investigasi ini harus disampaikan kepada masyarakat, keluarga korban dan LSM untuk mengetahui hasil pengungkapan atas meninggalnya Marius Betera (40) pada Mei 2020 lalu dan Korindo tidak terbukti terlibat dalam kasus kematian serta tak melanggar HAM.
Frits menyebut, investigasi Komnas HAM di lapangan dengan mendatangi lokasi kejadian di Asiki, Kabupaten Boven Digoel dan meminta keterangan warga setempat, keuskupan gereja Katolik dan termasuk isteri korban.
Adapun temuan Komnas HAM RI Perwakilan Papua berdasarkan fakta, data dan keterangan yang berhasil dihimpun dari sejumlah saksi dan beberapa pihak terkait termasuk peninjauan lokasi lahan yang sudah digunakan korban Marius Betera untuk menanam pisang yang berada di areal perkebunan kelapa sawit milik PT. TSE POP A Camp 19.
"Mengenai posisi atau letak pohon pisang di lokasi perkebunan Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah menerima tiga keterangan informasi berbeda,"ungkap Frits didampingi Plh Kepala Komnas HAM Melchior S Weruin dalam keterangan kepada wartawan.
Keterangan di lapangan didapat tanaman pohon pisang tersebut merupakan milik korban, namun secara legalitas bahwa status tanah tersebut dibawa penguasaan perusahaan sawit PT. TSE POP A .
Sedangkan untuk kebijakan perusahaan, menurut Frits Ramandey, Komnas HAM RI Perwakilan Papua menemukan benar di dalam areal perkebunan PT. TSE POP A Camp 19 terdapat pohon pisang yang ditanam warga di pinggir jalan.
Frits mengharapkan, pihak perusahaan harus tegas memberikan larangan jika lahannya digunakan untuk menanam oleh orang lain.
Kondisi seperti ini jika tak segera diperbaiki, menurut Frits, akan sangat berpotensi menimbulkan konflik serupa di di lain waktu.
Hasil temuan Komnas HAM di lapangan, lanjutnya, penyebab kemarahan korban Marius Betera merasa tidak terima atas penggusuran tanaman pohon pisang miliknya dilakukan pihak tertentu.
Sebagai bentuk protes Marius Betera mendatangi Pospol Camp 19 untuk melapor atas pengusuran pohon pisang miliknya, lanjut Frits, namun tidak bertemu Kapospol.
Akibat tidak ketemunya Kapospol, menurut Frits, terjadi puncak kemarahan korban Marius Betera saat mengalami tindakan kekerasan dari oknum anggota Polisi berinisial MY.
Komnas HAM RI perwakilan Papua menyebut dari hasil keterangan pelaku maupun saksi-saksi di lapangan, kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Polisi MY terhadap korban Marius Betera dapat dikategorikan sebagai tindakan yang berlebihan, sewenang-wenang dan tidak profesional.
Keterlibatan oknum anggota Polisi ini, menurut Frits, telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 dan Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 11 huruf g menyatakan bahwa anggota polisi dilarang melakukan penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum.
Bahkan, dari hasil keterangan dokter di klinik POP A Camp 19 serta pihak lainnya yang dibuktikan dengan hasil visum dokter, menurut Frits, maka Komnas HAM Perwakilan Papua menilai secara medis dapat dikatakan tak ada bukti yang menguatkan adanya kematian korban warga Asiki Marius Betera disebabkan karena mengalami kekerasan dipukul oleh oknum anggota polisi.
Komnas HAM telah merekomendasikan meminta Kapolda Papua untuk melakukan proses penegakkan hukum bagi oknum anggota polisi yang diduga telah melakukan kekerasan kepada warga sipil Mafrius Betera di Camp 19 Asiki Kabupaten Boven Digoel pada 16 Mei 2020.
Koordinator tim investigasi Komnas HAM Papua Frits Ramandey dalam keterangan pers di Jayapura, mengatakan hasil investigasi ini harus disampaikan kepada masyarakat, keluarga korban dan LSM untuk mengetahui hasil pengungkapan atas meninggalnya Marius Betera (40) pada Mei 2020 lalu dan Korindo tidak terbukti terlibat dalam kasus kematian serta tak melanggar HAM.
Frits menyebut, investigasi Komnas HAM di lapangan dengan mendatangi lokasi kejadian di Asiki, Kabupaten Boven Digoel dan meminta keterangan warga setempat, keuskupan gereja Katolik dan termasuk isteri korban.
Adapun temuan Komnas HAM RI Perwakilan Papua berdasarkan fakta, data dan keterangan yang berhasil dihimpun dari sejumlah saksi dan beberapa pihak terkait termasuk peninjauan lokasi lahan yang sudah digunakan korban Marius Betera untuk menanam pisang yang berada di areal perkebunan kelapa sawit milik PT. TSE POP A Camp 19.
"Mengenai posisi atau letak pohon pisang di lokasi perkebunan Komnas HAM RI Perwakilan Papua telah menerima tiga keterangan informasi berbeda,"ungkap Frits didampingi Plh Kepala Komnas HAM Melchior S Weruin dalam keterangan kepada wartawan.
Keterangan di lapangan didapat tanaman pohon pisang tersebut merupakan milik korban, namun secara legalitas bahwa status tanah tersebut dibawa penguasaan perusahaan sawit PT. TSE POP A .
Sedangkan untuk kebijakan perusahaan, menurut Frits Ramandey, Komnas HAM RI Perwakilan Papua menemukan benar di dalam areal perkebunan PT. TSE POP A Camp 19 terdapat pohon pisang yang ditanam warga di pinggir jalan.
Frits mengharapkan, pihak perusahaan harus tegas memberikan larangan jika lahannya digunakan untuk menanam oleh orang lain.
Kondisi seperti ini jika tak segera diperbaiki, menurut Frits, akan sangat berpotensi menimbulkan konflik serupa di di lain waktu.
Hasil temuan Komnas HAM di lapangan, lanjutnya, penyebab kemarahan korban Marius Betera merasa tidak terima atas penggusuran tanaman pohon pisang miliknya dilakukan pihak tertentu.
Sebagai bentuk protes Marius Betera mendatangi Pospol Camp 19 untuk melapor atas pengusuran pohon pisang miliknya, lanjut Frits, namun tidak bertemu Kapospol.
Akibat tidak ketemunya Kapospol, menurut Frits, terjadi puncak kemarahan korban Marius Betera saat mengalami tindakan kekerasan dari oknum anggota Polisi berinisial MY.
Komnas HAM RI perwakilan Papua menyebut dari hasil keterangan pelaku maupun saksi-saksi di lapangan, kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Polisi MY terhadap korban Marius Betera dapat dikategorikan sebagai tindakan yang berlebihan, sewenang-wenang dan tidak profesional.
Keterlibatan oknum anggota Polisi ini, menurut Frits, telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 dan Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 11 huruf g menyatakan bahwa anggota polisi dilarang melakukan penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum.
Bahkan, dari hasil keterangan dokter di klinik POP A Camp 19 serta pihak lainnya yang dibuktikan dengan hasil visum dokter, menurut Frits, maka Komnas HAM Perwakilan Papua menilai secara medis dapat dikatakan tak ada bukti yang menguatkan adanya kematian korban warga Asiki Marius Betera disebabkan karena mengalami kekerasan dipukul oleh oknum anggota polisi.
Komnas HAM telah merekomendasikan meminta Kapolda Papua untuk melakukan proses penegakkan hukum bagi oknum anggota polisi yang diduga telah melakukan kekerasan kepada warga sipil Mafrius Betera di Camp 19 Asiki Kabupaten Boven Digoel pada 16 Mei 2020.