Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa mutasi virus corona E484K merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan karena sifatnya yang lebih menular.
"Mutasi E484K ini oleh sebagian pakar disebut mutasi Eek, yang maksudnya sesuatu yang mengkhawatirkan dan merupakan sebuah peringatan. Ini terjadi karena mutasi ini nampaknya berdampak pada respon sistem imun," kata Profesor Tjandra, dalam pernyataannya, dikutip Jumat.
Eek atau E484K, mutasi baru virus corona pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan (B1351) dan Brazil (B1128), kemudian ditemukan di sejumlah wilayah termasuk Jepang dan bahkan Indonesia.
Pejabat kesehatan Jepang menemukan mutasi ini pada sekitar 70 persen pasien COVID-19 atau 10 dari 14 orang yang dites di rumah sakit Tokyo bulan lalu. Sementara di Indonesia, mutasi ini masuk sekitar bulan Februari lalu.
Mutasi Eek memiliki kemampuan untuk menghindari kekebalan alami dari infeksi COVID-19 sebelumnya dan mengurangi perlindungan yang ditawarkan oleh vaksin saat ini.
Dengan kata lain, Eek juga disebut mutasi "melarikan diri" karena mengubah bagian protein spike virus yang diandalkan sistem kekebalan untuk mengenali dan memulai tanggapan kekebalan. Perubahan ini mungkin berarti dapat menghindari respons imun yang dipicu oleh vaksin atau infeksi sebelumnya.
Mutasi E484K mengubah protein spike virus asli sehingga lebih mudah mengikat dan membentuk koneksi yang lebih kuat ke sel inang, membuatnya lebih menular.
Tjandra mengungkapkan, varian B117 corona bila ditambah mutasi E484K akan membuat tubuh perlu meningkatkan jumlah antibodi serum untuk dapat mencegah infeksinya.
"Kita sudah sama ketahui varian B117 memang sudah terbukti jauh lebih mudah menular, sehingga kalau bergabung dengan mutasi E484K maka tentu akan menimbulkan masalah cukup besar bagi penularan COVID-19 di masyarakat," tutur dia.
Selain itu, sambung dia, mutasi E484K ini juga tampaknya akan memperpendek masa kerja antibodi netralisasi di dalam tubuh. Dengan kata lain, orang akan jadi lebih mudah terinfeksi ulang sesudah dia sembuh dari sakit COVID-19.
Lebih lanjut, karena pengaruhnya terhadap antibodi maka mungkin akan ada dampaknya pada efikasi vaksin. Tjandra dan pakar kesehatan lain masih akan menunggu hasil penelitian selanjutnya tentang bagaimana dampak terhadap efikasi vaksin.
"Perlu diketahui bahwa kalau memang nanti mutasi E484K dan atau mutasi atau varian baru lainnya memang akan membuat vaksin menjadi tidak efektif maka pada pakar dan produsen vaksin akan dapat memodifikasi vaksin yang ada sehingga akan tetap efektif dalam pengendalian COVID-19," tutur Tjandra.
Lalu bagaimana dengan pencegahannya? Tjandra merekomendasikan orang-orang tetap menerapkan protokol kesehatan, sembari petugas kesehatan melakukan penelusuran kontak intensif pada keadaan khusus, kemudian otoritas berwenang mengawasi kedatangan orang dari luar negeri dan meningkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing atau pengurutan keseluruhan genom untuk menentukan urutan DNA lengkap.
"Mutasi E484K ini oleh sebagian pakar disebut mutasi Eek, yang maksudnya sesuatu yang mengkhawatirkan dan merupakan sebuah peringatan. Ini terjadi karena mutasi ini nampaknya berdampak pada respon sistem imun," kata Profesor Tjandra, dalam pernyataannya, dikutip Jumat.
Eek atau E484K, mutasi baru virus corona pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan (B1351) dan Brazil (B1128), kemudian ditemukan di sejumlah wilayah termasuk Jepang dan bahkan Indonesia.
Pejabat kesehatan Jepang menemukan mutasi ini pada sekitar 70 persen pasien COVID-19 atau 10 dari 14 orang yang dites di rumah sakit Tokyo bulan lalu. Sementara di Indonesia, mutasi ini masuk sekitar bulan Februari lalu.
Mutasi Eek memiliki kemampuan untuk menghindari kekebalan alami dari infeksi COVID-19 sebelumnya dan mengurangi perlindungan yang ditawarkan oleh vaksin saat ini.
Dengan kata lain, Eek juga disebut mutasi "melarikan diri" karena mengubah bagian protein spike virus yang diandalkan sistem kekebalan untuk mengenali dan memulai tanggapan kekebalan. Perubahan ini mungkin berarti dapat menghindari respons imun yang dipicu oleh vaksin atau infeksi sebelumnya.
Mutasi E484K mengubah protein spike virus asli sehingga lebih mudah mengikat dan membentuk koneksi yang lebih kuat ke sel inang, membuatnya lebih menular.
Tjandra mengungkapkan, varian B117 corona bila ditambah mutasi E484K akan membuat tubuh perlu meningkatkan jumlah antibodi serum untuk dapat mencegah infeksinya.
"Kita sudah sama ketahui varian B117 memang sudah terbukti jauh lebih mudah menular, sehingga kalau bergabung dengan mutasi E484K maka tentu akan menimbulkan masalah cukup besar bagi penularan COVID-19 di masyarakat," tutur dia.
Selain itu, sambung dia, mutasi E484K ini juga tampaknya akan memperpendek masa kerja antibodi netralisasi di dalam tubuh. Dengan kata lain, orang akan jadi lebih mudah terinfeksi ulang sesudah dia sembuh dari sakit COVID-19.
Lebih lanjut, karena pengaruhnya terhadap antibodi maka mungkin akan ada dampaknya pada efikasi vaksin. Tjandra dan pakar kesehatan lain masih akan menunggu hasil penelitian selanjutnya tentang bagaimana dampak terhadap efikasi vaksin.
"Perlu diketahui bahwa kalau memang nanti mutasi E484K dan atau mutasi atau varian baru lainnya memang akan membuat vaksin menjadi tidak efektif maka pada pakar dan produsen vaksin akan dapat memodifikasi vaksin yang ada sehingga akan tetap efektif dalam pengendalian COVID-19," tutur Tjandra.
Lalu bagaimana dengan pencegahannya? Tjandra merekomendasikan orang-orang tetap menerapkan protokol kesehatan, sembari petugas kesehatan melakukan penelusuran kontak intensif pada keadaan khusus, kemudian otoritas berwenang mengawasi kedatangan orang dari luar negeri dan meningkatkan jumlah pemeriksaan whole genome sequencing atau pengurutan keseluruhan genom untuk menentukan urutan DNA lengkap.