Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (PERHIPBA) dan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) Dr. apt. Yesi Desmiaty mengingatkan masyarakat untuk jeli sebelum membeli obat tradisional, jamu dan obat herbal lainnya.

Yesi berpesan agar masyarakat memperhatikan kemasan produk tersebut, kemudian memeriksa nomor izin edarnya apakah telah terdaftar atau tidak di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Jamu yang tidak ada Nomor Izin Edar (NIE) itu berbahaya. Bisa saja jamu tersebut mengandung bahan kimia obat (BKO), yang merupakan senyawa sintetis atau bisa juga produk kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern. Akibatnya menyebabkan efek samping yang berat," kata Yesi Desmiaty dalam webinar, Selasa.

Jika tidak membeli, melainkan meracik tanaman obat untuk dikonsumsi sendiri, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Prof. Dr (Cand.) dr. Inggrid Tania, M.Si berpesan agar ramuan tersebut hanya digunakan sebagai pencegahan bukan sebagai penyembuhan.

Ia menegaskan, masyarakat harus berkonsultasi dengan dokter jika menggunakan obat herbal atau ramuan sebagai opsi penyembuhan penyakit.

"Banyak ramuan sederhana yang bisa diracik sendiri oleh masyarakat, dan ini memang untuk upaya promotif dan preventif. Sehingga, di luar itu, kita perlu hati-hati," kata dr. Inggrid.

"Ada bebrapa ramuan juga yang dokter ajarkan, misalnya untuk menurunkan tekanan darah, turunkan lemak darah, gula darah.. itu kita bisa mengajarkan ke masyarakat, tapi, memang dengan ketentuan bahwa harus konsultasi dengan dokter masing-masing," ujarnya menambahkan.

Lebih lanjut, dr. Inggrid mengatakan bahwa bahan dari alam bekerja tidak secara instan, namun bertahap menyeimbangkan dengan minimal efek samping.

"Sehingga, obat herbal dengan bahan alam menjadi pilihan yang baik untuk memelihara kesehatan, kecantikan, imunitas, kebugaran, dan mencegah penyakit, serta mengatasi gangguan kesehatan ringan," kata dia.

Ia juga mengajak masyarakat untuk lebih teliti dalam mempelajari tanaman obat dan alternatif pengobatan herbal, terlebih di masa pandemi. 

"Di masa pandemi ini kita sering dibanjiri hoaks yang merugikan jamu maupun masyarakat itu sendiri. Misalnya seperti hoaks tentang temulawak dan kunyit yang berbahaya untuk dikonsumsi, dan lainnya," kata dr Inggrid.

Ia melanjutkan, "Masyarakat bisa mencari informasi dari mana? Kami sebagai perkumpulan dokter punya media sosial seperti Instagram, di mana masyarakat bisa bertanya melalui pesan atau komentar di sana."

"Selain itu, masyarakat bisa menambah literasi melalui web atau media sosial Kemenkes dan BPOM. Mereka juga mereka sering buat rilis klarifikasi hoaks yang beredar. Literasi masyarakat harus baik dengan lebih memberi kepercayaan kepada sumber-sumber yang valid," imbuhnya.
 

Pewarta : Arnidhya Nur Zhafira
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024