Biak (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak Numfor, Papua, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) melibatkan Duta GenRe melakukan pencegahan pernikahan usia dini pada anak perempuan orang asli Papua di kampung.
"Untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur dengan optimalisasi kapasitas anak, menciptakan lingkungan yang sehat, serta meningkatkan aksesibilitas dan perluasan layanan," ujar Kepala DP3AKB Biak Numfor Johanna Nap di Biak, Selasa.
Upaya lain, lanjut Johanna, melakukan penguatan regulasi aturan kelembagaan serta penguatan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
Ia mengatakan perkawinan anak di bawah umur memiliki dampak yang sangat besar, misalnya terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Untuk itu, menurut menurut Johanna, diperlukan sinergi dari seluruh pihak baik pemerintah pusat, daerah, keluarga, maupun keterlibatan dari anak-anak itu sendiri, dalam mencegah terjadinya perkawinan anak usia dini di Biak.
"Melakukan pernikahan usia dini bagi perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan serta berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia," ujar Johanna.
Karena itu, lanjutnya, diperlukan kepedulian dan komitmen bersama dari para orang tua untuk patuh dengan ketentuan syarat pernikahan yang diatur pemerintah supaya kehidupan anak berkeluarga akan lebih baik dan sehat.
"DP3AKB dibantu Duta GenRe terus menerus menyosialisasikan pencegahan pernikahan usia dini di kalangan anak perempuan di Kabupaten Biak Numfor," imbuh Johanna Nap.
Sementara itu Duta GenRe Biak Meiselin AM Wonsiwor mengimbau kalangan remaja perempuan orang asli Papua untuk tidak melakukan pernikahan dini karena dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi.
"Usia yang matang bagi perempuan Biak untuk menikah pada 21 tahun dan laki-laki 25 tahun. Ya, ini sesuai dengan anjuran pemerintah untuk pernikahan yang ideal bagi calon pasangan suami isteri," ujarnya.
Meiselin mengatakan perlindungan anak tentunya menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk negara, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
"Untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur dengan optimalisasi kapasitas anak, menciptakan lingkungan yang sehat, serta meningkatkan aksesibilitas dan perluasan layanan," ujar Kepala DP3AKB Biak Numfor Johanna Nap di Biak, Selasa.
Upaya lain, lanjut Johanna, melakukan penguatan regulasi aturan kelembagaan serta penguatan koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
Ia mengatakan perkawinan anak di bawah umur memiliki dampak yang sangat besar, misalnya terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Untuk itu, menurut menurut Johanna, diperlukan sinergi dari seluruh pihak baik pemerintah pusat, daerah, keluarga, maupun keterlibatan dari anak-anak itu sendiri, dalam mencegah terjadinya perkawinan anak usia dini di Biak.
"Melakukan pernikahan usia dini bagi perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan serta berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia," ujar Johanna.
Karena itu, lanjutnya, diperlukan kepedulian dan komitmen bersama dari para orang tua untuk patuh dengan ketentuan syarat pernikahan yang diatur pemerintah supaya kehidupan anak berkeluarga akan lebih baik dan sehat.
"DP3AKB dibantu Duta GenRe terus menerus menyosialisasikan pencegahan pernikahan usia dini di kalangan anak perempuan di Kabupaten Biak Numfor," imbuh Johanna Nap.
Sementara itu Duta GenRe Biak Meiselin AM Wonsiwor mengimbau kalangan remaja perempuan orang asli Papua untuk tidak melakukan pernikahan dini karena dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi.
"Usia yang matang bagi perempuan Biak untuk menikah pada 21 tahun dan laki-laki 25 tahun. Ya, ini sesuai dengan anjuran pemerintah untuk pernikahan yang ideal bagi calon pasangan suami isteri," ujarnya.
Meiselin mengatakan perlindungan anak tentunya menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk negara, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.