Jayapura (Antara Papua) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura Victor Mambor mengatakan, intimidasi terhadap wartawan saat melakukan peliputan aksi demo, pada Jumat pagi, di Gapura Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), menunjukkan bukti polisi tidak profesional dalam bekerja.
"Polisi harus bisa membedakan jurnalis dan demonstran. Sudah beberapa kali polisi melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan," kata Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor dalam rilis yang diterima Antara Jayapura, Jumat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh AJI Kota Jayapura menyusul intimidasi yang dilakukan oknum polisi Jayapura terhadap dua orang wartawan yakni Aprila Wayar dan Oktovianus Pogau saat membubarkan aksi demo salah satu kelompok mahasiswa di depan gapura Uncen.
"Intimidasi itu paling sering dilakukan terhadap jurnalis asli Papua. Ini menunjukkan ketidakprofesionalan polisi dalam menghadapi aksi demonstrasi Rakyat Papua. Mereka tidak bisa membedakan," katanya.
Disisi lain, kata pemimpin redaksi Tabloidjubi.com itu polisi seharusnya bisa bertindak lebih bijaksana karena telah mendapat dukungan dari beberapa negara untuk meningkatkan professionalisme mereka, termasuk pendekatan berbasis masyarakat, komunitas dari Pemerintah New Zealand.
"Semestinya polisi lebih professional dalam menangani demonstrasi dan bisa membedakan wartawan dengan demonstran. Inilah yang harus digaris bawahi," katanya.
Dua wartawan di Kota Jayapura, Papua, pada jumat pagi sekitar pukul 10.20 WIT diintimidasi oleh oknum polisi setempat saat meliput aksi demo dari Gerakan Aksi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (Gempar) Papua di depan pintu masuk Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura.
Aprila Wayar wartawan dari Tabloidjubi.com, Jumat siang mengaku jika dirinya sempat dicekik dibagian lehernya oleh salah satu dari lima oknum polisi berpakaian dinas dan preman.
"Tiba-tiba ada satu polisi yang datang ke saya ingin merampas `gadget` saya karena foto-foto aksi demo. Kemudian ada lima lagi oknum polisi pakaian dinas menghampiri saya, salah satunya cekik bagian belakang leher saya," kata Aprlia yang juga penulis novel itu.
Sementara itu, Ocktovianus Pogau wartawan dari Suarapapua.com mengaku hampir mendapat perlakuan yang sama dari oknum polisi yang berencana membubarkan aksi demo Gempar Papua yang dianggap ilegal karena tidak terdaftar di Kesbangpol setempat.
"Foto-Foto dari kamera saya sempat mau dihapus jika saja mereka tidak melihat kartu pers saya," katanya menyesalkan tindakan oknum polisi tersebut. (*)
"Polisi harus bisa membedakan jurnalis dan demonstran. Sudah beberapa kali polisi melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan," kata Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor dalam rilis yang diterima Antara Jayapura, Jumat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh AJI Kota Jayapura menyusul intimidasi yang dilakukan oknum polisi Jayapura terhadap dua orang wartawan yakni Aprila Wayar dan Oktovianus Pogau saat membubarkan aksi demo salah satu kelompok mahasiswa di depan gapura Uncen.
"Intimidasi itu paling sering dilakukan terhadap jurnalis asli Papua. Ini menunjukkan ketidakprofesionalan polisi dalam menghadapi aksi demonstrasi Rakyat Papua. Mereka tidak bisa membedakan," katanya.
Disisi lain, kata pemimpin redaksi Tabloidjubi.com itu polisi seharusnya bisa bertindak lebih bijaksana karena telah mendapat dukungan dari beberapa negara untuk meningkatkan professionalisme mereka, termasuk pendekatan berbasis masyarakat, komunitas dari Pemerintah New Zealand.
"Semestinya polisi lebih professional dalam menangani demonstrasi dan bisa membedakan wartawan dengan demonstran. Inilah yang harus digaris bawahi," katanya.
Dua wartawan di Kota Jayapura, Papua, pada jumat pagi sekitar pukul 10.20 WIT diintimidasi oleh oknum polisi setempat saat meliput aksi demo dari Gerakan Aksi Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat (Gempar) Papua di depan pintu masuk Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura.
Aprila Wayar wartawan dari Tabloidjubi.com, Jumat siang mengaku jika dirinya sempat dicekik dibagian lehernya oleh salah satu dari lima oknum polisi berpakaian dinas dan preman.
"Tiba-tiba ada satu polisi yang datang ke saya ingin merampas `gadget` saya karena foto-foto aksi demo. Kemudian ada lima lagi oknum polisi pakaian dinas menghampiri saya, salah satunya cekik bagian belakang leher saya," kata Aprlia yang juga penulis novel itu.
Sementara itu, Ocktovianus Pogau wartawan dari Suarapapua.com mengaku hampir mendapat perlakuan yang sama dari oknum polisi yang berencana membubarkan aksi demo Gempar Papua yang dianggap ilegal karena tidak terdaftar di Kesbangpol setempat.
"Foto-Foto dari kamera saya sempat mau dihapus jika saja mereka tidak melihat kartu pers saya," katanya menyesalkan tindakan oknum polisi tersebut. (*)